logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

6. Kecurigaan Arina

Keputusan Arina sudah bulat untuk tidak menghadiri reuni kelasnya. Tia sudah mencoba berbagai cara agar Arina ikut reuni, tapi semua usaha Tia gagal.
"Tuh, kan. Si gentong itu nggak mungkin datang. Pasti semua fotonya itu palsu. Pasti dia malu. Dasar gentong, cari sensasi doang," umpat Bobby.
"Yaudah, sih. Kalau nggak percaya biasa aja. Nggak usah emosi nggak jelas gitu," sinis Tia.
"Fel, emang kamu nggak pernah ketemu Arina?" tanya Rio pada Feli.
"Nggak. Ngapain juga ketemu dia? Males mau keluar. Lebih baik rebahan di rumah," jawabnya dengan memutar bola mata malas.
"Betah amat nganggur?" Kali ini Daffa yang bertanya pada Feli.
"Duit orang tuaku banyak. Jadi, untuk apa aku harus bingung kerja? Mau kuliah juga males, capek mikir." Feli memang berasal dari keluarga berada dan sangat dimanja.
"Itu kenapa wajahmu jadi ada jerawatnya?" tanya si Bobby.
"Mungkin karena aku jarang olahraga. Gampanglah, nanti bisa disembuhin."
"Lah, situ sendiri kenapa jadi gemuk? Kebanyakan ngehina si Arina, kali, ya?" Pertanyaan Feli diiringi gelak tawa dari teman-temannya. Tia yang mendengar itu hanya bisa menahan tawa.
****
Saat pulang kerja, Arina iseng membuka grup alumni kelasnya. Selama ini, ia tak pernah membuka pesan dari grupnya itu sama sekali. Semua foto yang dikirim Diva kemarin, diamatinya satu per satu. Semua hadir dalam reuni itu, kecuali dirinya. Kali ini ia fokus pada foto Feli. Arina memperbesar foto Feli, dan benar saja wajah Feli banyak ditumbuhi jerawat.
'Bukannya ia sering perawatan?' tanyanya dalam hati.
Fokus Arina tertuju pada foto Bobby sekarang. Bobby terlihat sedikit gemuk. Arina buru-buru menghapus semua foto itu. Tak penting bagi dirinya. Untuk apa juga mengurusi hidup orang lain yang nggak ada manfaatnya sama sekali bagi dirinya.
Satu pesan muncul dari Tia saat ia memainkan aplikasi hijau itu.
[Dicariin Bobby]
[Nggak penting, ah.] balas Arina.
[Kayaknya dia mulai suka, deh. Dia penasaran banget sama kamu sekarang.] balasan dari Tia ini membuat Arina geleng-geleng kepala.
[Hahaha, jangan ngadi-ngadi] balasnya.
Merasa letih, Arina menghubungkan ponselnya pada pengisi daya dan segera pergi menuju alam mimpi.
****
"Arina, dipanggil Pak Broto di ruangannya," ucap salah satu teman kerjanya.
Tiba-tiba Arina teringat akan sesuatu. Ia ingat saat pergi bersama Fina dan menghabiskan uang jutaan rupiah untuk dirinya. Arina berpikir jika Pak Broto akan memarahinya atau bahkan memberinya surat peringatan.
"Ada apa, ya?"
"Habis ada masalahkah?"
"Kenapa, ya?"
Bisik-bisik dari pekerja lain menambah debaran dalam dada Arina.
"Selamat pagi, Pak," ucap Arina di ambang pintu.
"Masuk!"
"Duduk!" imbuhnya lagi.
Tak lama kemudian, Fina masuk dan menutup pintu rapat-rapat.
"Sudah tahu kenapa saya panggil kamu kesini?" tanya Pak Broto.
"Maaf, saya tidak tahu, Pak," jawab Arina gugup.
"Mulai besok, kamu berhenti bekerja di area pabrik saya."
Deg! Arina berpikir bahwa ia diberhentikan dari pekerjaannya. Wajahnya mendadak pucat.
"Kenapa kamu tegang sekali?" tanya Pak Broto sambil tertawa kecil.
"Sa—saya diberhentikan? Sa—saya dipecat?" tanya Arina polos.
Pak Broto dan Fina pun tertawa mendengar pertanyaan Arina.
"Siapa yang mau mecat kamu? Mulai besok, kamu saya pindahkan ke area kantor. Nanti biar Fina yang memberitahu tugas-tugas kamu."
Arina masih mematung mendengar penuturan Pak Broto. Dalam hati ia ingin bersorak gembira. Tapi, ia juga masih tak percaya. Ia masih bertanya-tanya kenapa Pak Broto memindah posisinya secepat ini.
"Arina? Kenapa diam?" tanya Pak Broto.
"Maaf, kenapa saya dipindahkan tiba-tiba? Belum genap dua tahun saya bekerja disini. Ijazah saya juga cuma SMA. Maaf apabila pertanyaan saya lancang," tutur Arina berhati-hati.
"Semua karena kerja kerasmu. Selamat, ya?" Pak Broto menyalami Arina.
"Selamat." Fina ikut menyalami Arina dengan senyum yang mengembang.
"Terima kasih," ucap Arina pada mereka.
"Ya, sama-sama. Sekarang kamu boleh kembali ke area kerjamu. Besok masuk ke kantor. Ingat! Ke kantor. Jangan ke pabrik," tegas Pak Broto.
"Baik, Pak."
***
Arina sangat menikmati kerjanya di kantor. Ia sangat senang. Ia lebih bersungguh-sungguh dalam bekerja karena tak mau mengecewakan Pak Broto dan Fina yang mempercayainya begitu saja.
Setiap disuruh apapun, Arina bergegas mengerjakannya tanpa menunda. Dengan dipindahkannya posisi Arina, tentu saja hal itu menambah rasa iri para pekerja lain, terutama mereka yang sudah lama bekerja disana.
Fina juga sering mengajak Arina bepergian sekedar untuk belanja, perawatan, dan makan. Pernah Arina mengganti uang perawatan yang dibayarkan oleh Fina. Memang diterima, tapi Fina justru mendatangi rumah Arina dan memberikannya pada Bu Anna tanpa sepengetahuan Arina.
Semakin lama, Arina mulai sedikit curiga dengan perlakuan baik Fina. Mungkinkah ada alasan lain mengapa Fina sangat baik pada dirinya? Arina akan mencari tahu lebih lanjut. Ia akan menyelidikinya sendiri. Pasti ada alasan lain, pikirnya.
Saat Arina ingin mengantar berkas ke ruangan Pak Broto, ia tak sengaja mendengar pembicaraan Pak Broto dan Fina saat ia sudah berada di depan pintu yang sedikit terbuka.
"Gimana kerja Arina beberapa bulan ini setelah dipindah ke kantor?" tanya Pak Broto pada Fina.
"Sangat bagus, Pa. Dia sangat cekatan," jawab Fina antusias.
"Bagaimana kondisi keluarganya sekarang? Terutama Pak Fajar?"
"Fina udah sering ke rumah Arina, tapi nggak pernah ketemu Pak Fajar. Pernah sekali lihat Pak Fajar saat akan pergi. Begitu Fina turun, Pak Fajar sudah berlalu dengan motornya," jelas Fina.
"Pa, Fina takut kalau Arina tahu hal ini. Fina benar-benar merasa bersalah."
"Sehebat apapun kamu menyembunyikan kesalahanmu, pasti nanti terungkap juga. Tunggulah waktu yang tepat untuk memberitahu semuanya," ujar Pak Broto.
Arina masih bergeming di depan pintu. Ia masih bingung apa maksud semua ini. Ia berpikir pasti ini semua ada hubungannya dengan kebaikan Fina selama ini. Arina berbalik dan berencana akan menemui Pak Broto setelah makan siang.
****
"Pak? Arina mau tanya." Arina duduk di samping Bapaknya yang sedang meminum kopi.
"Tanya apa, Nduk?"
"Bapak kenal sama Pak Broto?" tanya Arina.
Pak Fajar masih mengingat-ingat.
"Nggak kenal."
"Teman masa kecil Bapak nggak ada yang namanya Pak Broto?" tanyanya lagi.
"Nggak ada, Nduk. Emang siapa dia?" kali ini Pak Fajar balik bertanya.
"Em. Mbak Fina kenal?" tanya Arina tanpa menjawab pertanyaan Bapaknya.
"Siapa itu, Nduk? Bapak nggak kenal semuanya."
"Nggak apa-apa. Itu temanku, Pak. Sering main kesini," jelas Arina.
Kini Arina bertanya pada Ibunya yang sedang mempersiapkan bahan-bahan kue.
"Apa Ibu pernah ketemu Mbak Fina sebelumnya?"
"Kayaknya enggak, Nduk."
"Coba Ibu ingat-ingat dulu," pinta Arina.
"Enggak pernah, Nduk. Ada apa memangnya?"
"Nggak apa-apa, Bu. Sini aku bantu, Bu." Arina mengalihkan pembicaraan. Sambil membantu Ibunya, ia juga masih bertanya-tanya kenapa Pak Broto tahu nama Bapaknya. Arina akan mencari tahu lagi besok.
Arina tak bisa tidur malam ini memikirkan pembicaraan Pak Broto dan Fina.
"Ada hubungan apa mereka sama Bapak?" Arina bertanya pada dirinya sendiri sambil memandangi foto-foto yang menempel di dinding.
Salah satu foto itu ketika Arina masih SMP, berfoto dengan Bapaknya yang saat itu duduk di kursi roda. Pak Fajar pernah disrempet sebuah mobil saat itu sehingga membuat kakinya cedera dan membuatnya tak bisa bekerja selama beberapa minggu. Sayang sekali, mobil itu malah melaju semakin kencang dan meninggalkan Pak Fajar sendirian.
****
Seperti biasa, saat pagi hari warung Bu Anna selalu ramai pembeli.
"Bu Anna, dengar-dengar si Arina kerja di kantor ya, sekarang?" tanya Ibu-ibu pembeli.
"Iya, Bu," jawab Bu Anna singkat sambil tersenyum.
"Enak, dong! Seharusnya Bu Anna nggak perlu bekerja lagi. Kan, gajinya Arina udah banyak," sahut Ibu-ibu yang lain.
"Selagi saya masih kuat, saya ingin terus berdagang. Dari dulu saya juga gemar memasak dan membuat kue. Jadi, ya.. saya teruskan saja usaha kecil saya ini. Daripada nggak ada kegiatan apa-apa," ujar Bu Anna.
Arina bersiap untuk berangkat kerja diantar Pak Fajar. Ia dipuji oleh para pelanggan Ibunya. Arina sangat berbeda.
"Wah, Arina! Sibuk kerja terus jadi nggak pernah lihat," ujar salah satu dari mereka.
"Iya, sekarang jadi beda banget. Cantik dan langsing. Kulitnya mulus sekarang," imbuh yang lain.
"Masih sama seperti dulu, Bu," ujar Arina dengan melempar senyum. Arina teringat dengan Fina. Ini semua terjadi karena kebaikan Fina, pikirnya.
"Uang udah banyak, beli motor sendiri, dong, Rin," ujar Ibu-ibu itu lagi.
"Ehe, belum kepikiran," jawabnya.
Arina tak terpikir untuk membeli motor. Ia ingin mengumpulkan uangnya untuk membangun sebuah rumah makan terlebih dahulu untuk Ibunya. Biarlah ia sering jalan kaki, kantornya juga dekat, begitu pikirnya. Jika jalanan sepi, ia akan memilih untuk naik ojek.
Sebetulnya, bisa saja menghubungi Bapaknya untuk menjemputnya, tapi ia tak mau menambah lelah Bapaknya. Tak jarang teman Arina ingin mengantarnya pulang, tapi Arina selalu menolak.
****
Arina bekerja seperti biasa. Sikap Pak Broto dan Fina juga tetap hangat seperti biasanya.
"Kamu kenapa betah banget jalan kaki? Nggak mau beli kendaraan?" tanya Fina tiba-tiba.
"Em, nggak dulu, Mbak."
"Kenapa?"
"Masih digunakan untuk hal lain, Mbak."
"Untuk apa?" Fina menggeser posisinya agar lebih dekat dengan Arina.
"Saya ingin buatkan Ibu rumah makan."
"Oh, begitu? Em," ucap Fina sambil manggut-manggut.
"Yaudah, dilanjut saja kerjanya," ujarnya lagi sambil berlalu.
Ting!
Sebuah pesan masuk ke ponsel Arina. Ia terbelalak ketika membaca pesan yang berisi transferan uang sebesar puluhan juta. Tak lama kemudian, ia mendapat pesan agar segera ke ruangan Pak Broto.
"Maaf, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Arina.
"Sudah terima uangnya?"
Ia teringat transferan uang beberapa menit yang lalu.
"Uang puluhan juta itu? Itu uang siapa, Pak?"
"Gunakan untuk membangun rumah makan," pinta Pak Broto.
"Ti—tidak, Pak. Saya ada tabungan sendiri untuk hal itu," ujar Arina dengan gugup.
"Kalau kamu menolak, berarti kamu membantah perintah saya!" ancam Pak Broto.
"Tapi, Pak—"
"Sudahlah, gunakan saja uang itu. Jangan sampai tidak. Kalau kamu nggak segera menggunakan uang itu untuk tujuanmu, kami akan kecewa," timpal Fina yang tiba-tiba berdiri di belakang Arina.
"Tapi, kenapa? Ini sangat banyak jumlahnya, Mbak. Berapa lama saya harus mengganti ini?" tanya Arina.
"Nggak perlu diganti. Gunakan saja! Saya akan melihat beberapa bulan nanti. Apakah kamu menghargai pemberian saya atau tidak. Jika benar kamu menggunakan uang itu untuk membangun rumah makan, berarti kamu menghargai pemberian saya," ucap Pak Broto.
"Sudah, ayo kerja lagi!" pinta Fina menggiring Arina agar tidak terus menerus bertanya.
"Terima kasih, Pak, Mbak."
Arina bingung, alasan apa yang akan ia ucapkan pada Bapak dan Ibunya. Bagaimana jika Bapak dan Ibunya tak mau menerima uang ini? Arina masih bingung harus mengatakan apa nantinya. Kecurigaan Arina semakin besar. Pasti ada sesuatu dibalik kebaikan mereka selama ini. Ini terlalu berlebihan menurut Arina.

Book Comment (347)

  • avatar
    CuteAulia

    fina sangat amat baik

    12/06

      0
  • avatar
    MaulidtaLutfi

    suka sama ceritanya seru nyambung dari awal smpe akhir👍

    29/05

      0
  • avatar
    TariganOktania

    ceritanya seru sekali seperti jaman saya masih SMP

    28/04

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters