logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

9. Mencair

"Pengeran katamu? Aku hanyalah awan yang berusaha menampung hujan, lewat sajak-sajak yang sedikit tertahan."
—Dhuha—
"Jangan mengetuk rumahku jika hanya menghadirkan semu, sebab bekas luka tak akan bisa disembuhkan oleh waktu."
—Raina—
.
.
.
.
.
.
Happy Reading!
Dengan langkah cepat dan sangat tergesa-gesa Dhuha berlari keluar dari dalam kelas, ia mencari-cari keberadaan Raina keseluruh penjuru sekolah. Hingga pandangannya jatuh pada sosok gadis yang berjalan sendiri menuju Wc wanita dengan sedikit sempoyongan.
Kembali Dhuha berlari ke sana, "Raina, tangan Lo?" Ujar Dhuha sambil menarik tangan Raina cukup kuat, hingga membuat kepala Raina membentur dada Dhuha dengan sangat cepat.
"Gila ya Lo!" Umpat Raina sambil mendorong tubuh Dhuha sangat pelan, sebab sekarang dia sudah kehilangan tenaganya. Tapi Raina masih saja berusaha kuat, ia masih memberikan tatapan sengitnya kepada Dhuha.
"Ngak usah urusin hidup orang kalau hidup Lo aja masih belum bener!" Ujar Raina lagi dengan sakarstik. Lalu berjalan lagi dengan sangat lambat.
"Kalau nunggu hidup gue bener dulu baru boleh ngurusin hidup orang, maka keduluan ajal jemput gue Raina." Dhuha masih kekeh membawa Raina ke UKS untuk mengobati lukanya. Karena dia tahu, luka ditangan gadis itu sangat dalam. Ditandai dengan daranya yang mengotori lantai selama perjalan.
Aku tidak bisa mendengar suara Dhuha dengan jelas, matakupun kini sudah tidak waras. Hingga tubuhku kehilangan keseimbangannya, tapi untuk yang keberapa kalinya Ia mencoba menahan rasa pusingnya. Ia menundukkan kepalanya sambil memejamkan matanya berulang kali, tapi ternyata usahanya sia-sia. Pandangannya bertambah buram dan tubuhnya sudah tak sanggup menahan beban hingga tak sadarkan diri lagi.
Samar-samar saat tubuhnya sedikit lagi menyentuh lantai tubuhnya ditahan oleh seseorang yang dengan sangat cepat menggendongnya ke suatu tempat.
******
Mata hitam milik Raina mengerjap pelan beberapa kali, menyesuaikan dengan penerangan di ruangan ini. Saat matanya sudah terbuka sempurna, pandangannya menangkap Dhuha yang sedang menatapnya tanpa berkedip dengan tangan yang berlipat di dada. Ia seakan sedang mengawasi pencuri yang tinggal di rumahnya. Ya walaupun ia sadar, tatapan yang ditunjukkan Dhuha barusan adalah tatapan khawatir.
"Gimana keadaan Lo?" Tanya Dhuha. Aku tidak menjawab pertanyaan nya, tapi aku berusaha duduk dan menyandarkan tubuhku di kepala ranjang.
"Suhu tubuh panas, tangan dan kaki luka semua. Selama ngak sekolah Lo kerja apaan? Jadi pemain sirkus atau pemain kuda lumping, sampai banyak luka begitu." Tanya Dhuha kembali tanpa berharap gadis dihadapannya ini merespon ucapanya.
"Cerewet banget si Lo! Mending ambilin kotak nasi dalam tas gue deh. Dengerin Lo ngoceh perut gue jadi paper," Usirku.
Dengan wajah yang ditekuk Dhuha berjalan keluar, lalu mengambil kotak makan Raina di kelas. Setelah Dhuha hilang dari pandangannya, Raina tersenyum sangat tipis hingga dia sendiripun tak mungkin menyadarinya.
Hari ini adalah hari terberat bagi tubuhnya, hingga ia harus menunjukkan kelemahannya lewat acara pingsan barusan. "Entah berapa banyak pasang mata yang melihat semuanya," ia mengusap kepala dengan tangan kiri. Merasa ada yang aneh, pandangannya tertuju pada tangan yang sudah dililit kain kasa. Dengan kesal ia melepaskan lilitan kain itu di tangan dan kakinya, sebab ia tidak terbiasa dengan hal tersebut. 
"Loh, ngapain dilepas nanti ngak cepet sembuh!" Teriak Dhuha dari depan pintu UKS yang baru saja dia bukak. Dengan cepat dia menaruh kotak nasi di atas meja, lalu memasangkan kembali kain kasa di tangan Raina.
Raina berontak, dia mencegah Dhuha tak kalah cepat. "Ini luka gue, hak gue buat obatin atau ngak. Toh, nanti bakalan sembuh sendiri." Ujarku menatap tajam wajah Dhuha. Kini posisi kami sedikit lebih dekat dan saling berhadapan karena Dhuha kini sudah duduk ditepian ranjang Raina.
"Pletak,"
Dhuha menjitak kepala Raina pelan yang langsung mendapatkan ringisan pelan dari sang empunya.
"Sakit kan? Mangkanya jadi orang jangan keras kepala gini, kalau sakit bilang jangan ditahan kayak gini. Nanti gue beneran suka sama Lo." Ujar Dhuha sambil mengusap kepala Raina pelan, ia sedikit merasa bersalah dengan sikapnya barusan yang menjitak kepala gadis dihadapinya saat ini.
Jantung Raina berdegup cukup kencang, bukan berarti dia mulai menyukai laki-laki dihadapannya ini. Tapi lebih kearah keterkejutannya atas perlakuan Dhuha yang berubah secara tiba-tiba.
"Apaan si Lo, jangan mo ..." Ucapan Raina terpotong karena ada seseorang yang mengetuk pintu UKS.
"Assalamualaikum, epribadeh. Pasangan romantis Genta dan Dinda menyapa parah jomblo abad ini." Ujar Genta yang mendapat jitakan keras dari Dinda.
"Malu-maluin banget si Lo, tahu gini ngak bakalan gue ngajak Lo kesini." Kata Dinda sewot.
"Lo berdua bisa diem? Ini si Rainanya lagi sakit." Teriak Dhuha marah.
"Santai beruang kutub, kok Lo sensian gitu si. Orang Rainanya aja ngak ribet kayak Lo."  Tanya Genta menyelidiki karena dia merasakan perubahan sikap yang ditunjukkan sahabatnya hari ini.
"Kalian ganggu! mendingan kalian semua cepat pergi deh Raina nya butuh istirahat." Dengan sangat cepat Dhuha mendorong kedua orang yang baru saja menginjakkan kakinya di dalam UKS.
"Lo apaan si, mending Lo juga ikut keluar. Gue juga butuh istirahat!"
Tanpa memperdulikan omongan Raina barusan, Dhuha menyodorkan kotak nasi kehadapan Raina. "Makan, dari kemaren Lo belum makan. Kalau Lo ngak bisa menyanyangi diri Lo sendiri apalagi sama pacar Lo nanti."
"Lo abis jatuh dari lantai berapa? Kenapa Lo jadi gini,"
"Gara-gara sikap Lo yang terlalu dingin gini gue jadi berubah. Jadi mulai hari ini dan seterusnya gue bakalan terus ada disekitar Lo. Walaupun Lo ngak suka gue berhak melakukan hal yang membuat gue seneng, seperti selalu didekat Lo." Sepertinya es dikutub Utara sedang mencair, lihat ternyata Dhuha bisa bersikap romantis begini.
"Terserah, tapi gue peringatin sama Lo. Semakin Lo masuk ke dunia gue, maka semakin besar Lo bakalan kecewa. Dan perlu Lo ketahui juga, dunia gue ngak seindah ekspektasi yang Lo bayangkan. Dunia gue cuma menyajikan warna abu-abu dan warna hitam, tanpa ada cela hanya untuk menarik nafas sejenak." Jelas Raina sambil menyantap makanannya.
"Maka dengan kehadiran gue akan memberikan warna baru yang mematahkan semua perkataan Lo barusan. Jadi siap-siap ya!" Akhir Dhuha sambil mengelap sisa nasi yang menempel dibibir merah Raina.
"Pelan-pelan makannya, setelah Lo selesai makan baru gue pergi."
"Khem ..." Kini Raina tidak mampu untuk berkata-kata, ia hanya berdehem pelan berusaha untuk menghabiskan makanan nya secepat yang dia bisa. Andai saja tubuhnya tidak lemah seperti ini, dia akan memukul kepala laki-laki di hadapannya dengan keras. Tidak tahu apa, ia merasa sangat tidak nyaman dengan perlakuan Dhuha barusan.
"Selesai, mending Lo pergi. Gue mau Istirahat!"
Sambil membaringkan tubuh lalu menyelimuti sampai menutupi sebagian kepalanya.
Dhuha tersenyum, "gue pergi, baik-baik ya di sini. Nanti pulangnya gue anter." Kata Dhuha sambil mengusap kepala Raina pelan.
*******
Jangan lupa tinggalkan jejak vote dan Komennya!
.
.
.
.
.
.

Book Comment (454)

  • avatar
    MonicSulaiman

    bagus

    19d

      0
  • avatar
    Posco

    lumayan buat aku sihh

    24d

      0
  • avatar
    SafitriSafitri

    Bagus

    14/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters