logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

8. Mencari pelarian

"Tentang sikapnya yang terlalu dingin terhadap dunia, mungkin adalah topeng yang kini sedang dipertontonkannya. Tapi ingatlah Bahwa ada sisi lain yang kini sedang menggerogoti dirinya, sebagian dunia yang seharusnya indah tanpa cacat yang mengusik jiwa."
-Dhuha-
.
.
.
.
.
Happy reading!
Drttt ... Drttt
Terdengar bunyi ponselku berteriak nyaring, aku mengalihkan pandanganku kearah lantai. Terlihat handphone ku terkapar di sana, aku hanya meliriknya malas lalu melanjutkan lamunanku kembali.
Hari ini adalah hari terakhir masa skorsing yang diberikan kepada, walaupun hukumannya sudah dicabut aku tetap memilih untuk tidak masuk sekolah. Hari ini aku tidak ingin pergi kemana-mana, aku hanya ingin istirahat didalam kamar.
Drtt ... Drtt..
Untuk kedua kalinya handphone ku berbunyi kembali, dengan malas aku berjalan mengambil handphone tersebut. Namun ketika melihat nama Papa, aku menjadi malas mengangkatnya. Setelah pertengkaran kami tadi malam aku tak melihat keberadaan Papa, Papa pun tidak peduli dengan apa yang aku lakukan semalam. Aku melemparkan kembali handphone tersebut keatas kasur, lalu di ikuti dengan tubuhku yang ikut jatuh keatas kasur.
Drtt ... Drttt
Untuk ketiga kalinya handphone ku berbunyi kembali. Dengan kesal aku mengangkat panggilan tersebut.
"Ada apa lagi Pa!" Teriakku dengan suara keras, "aku udah bilang, lakukan semuanya sesuai dengan apa yang papa mau aku ngak akan mencegahnya lagi. Tapi papa juga harus tahu, aku bakalan melakukan apapun juga sesuai dengan kemauanku." Ujarku dengan tegas kembali.
"Gue Dhuha, bukan bokap Lo Raina."
Suara ini, bukankah suara ... Sebentar. Kupastikan lagi nomor yang tercantum di handphone.
Pupil mataku melebar sempurna.
Bodoh, Dara!
Bukan Papa tapi Dhuha!
"Khem, why?" Tanyaku berusaha bersikap seperti biasa saja.
"Lo beneran ngak masuk sekolah hari ini? Hukuman Lo udah dicabut, setidaknya Lo hargain perjuangan gue dan Dinda supaya hukuman Lo di cabut!" ujar Dhuha dengan nada yang sedikit kesal.
"Gue ngak minta Lo dan kembaran Lo buat bantuin gue. Jadi biarin gue menikmati masa liburan tiga hari ini dirumah." Ujarku mengakhiri panggilan tersebut secara sepihak.
*****
Alarm handphone ku kini berbunyi nyaring, aku menggeliat pelan lalu membuka mataku pelan. Dengan enggan aku bangkit dari tempat tidur, lalu masuk ke kamar mandi. Saat tanganku menyentuh air rasanya sangat dingin sekali, aku tetap memaksakan diri untuk mandi karena hari ini aku akan pergi ke sekolah.
Tanganku dengan cepat memasukkan beberapa buku dan handphone kedalam tasku. Kini kakiku berjalan menuju dapur, aku mengambil bekal yang sudah disiapkan oleh bik Inah di atasi meja belajar. Lalu mataku mencari-cari keberadaan bik Inah, tapi sayangnya bik Inah sudah pergi ke pasar.
Entah kenapa setelah mandi tadi tubuhku sangat dingin, kepalaku pun sedikit pusing. Aku memutuskan untuk berjalan kembali ke kamarku lalu mengambil Hoodie hitam polos yang tergantung dilemari pakaian.
Setelah tujuh menit berjalan dari rumah ke sekolah, akhirnya Raina sampai. Lalu matanya menengadah keatas, ia melihat langit pagi ini seakan sedang berduka. Angin pun berhembus kencang menusuk kulit, aku semakin merapatkan Hoodie ku.
Aku memijat kepalaku pelan, lalu melanjutkan perjalananku ke kelas. Rasanya tubuhku sedang tidak baik-baik saja, tapi aku akan berusaha kuat menahan semuanya.
"Wah akhirnya musuh bebuyutan gue masuk sekolah juga, kemana aja 3 hari ini? Cari uang di klub ya Lo?" Ujar Rena menyambutku dengan omongan tak berfaedah nya.
"Minggir, gue lagi ngak mood ngeladenin orang kayak Lo!" Ujarku tak ingin memperpanjang urusan dengan Rena.
"Cihh! Lo pasti capek abis servis pelanggan Lo yang bejibun itu ya? Terakhir Lo main berapa ronde?" Ujar Rena kembali dengan perkataan tak kalah pedasnya.
Ah, sekarang Raina sudah sangat kesal. Raina menjambak rambut Rena dengan tangan kirinya, lalu mendorong tubuhnya kelantai. "Udah gue bilang gue lagi ngak mood, tapi Lo masih aja cari masalah sama gue!" Raina berjalan kearah Rena lalu berjongkok untuk mensejajarkan tubuhnya dengan Rena, lalu Raina berbisik dengan suara yang terdengar seperti seorang psikopat, "bukannya Lo yang sering keluar masuk klub? Jangan pikir gue ngak tahu apa yang sering Lo lakuin di sana!" Akhirku sambil tersenyum miring, lalu pergi meninggalkan Rena dengan segala keterkejutannya.
Ah, kenapa kepalaku semakin pusing. Aku langsung berjalan cepat menuju kelas lalu menenggelamkan diri di atas meja belajar.
Tiga puluh menit setelah itu kelas sudah ramai, aku mengangkat kepalaku dan memperhatikan seisi kelas. Ah, aku lupa hari ini pelajaran matematika rasanya sangat malas sekali mendengan ocehan guru yang sangat lama. Menjelaskan berbagai macam rumus untuk mencari jawaban dari soal yang panjangnya innalilah, padahal ada rumus yang mudah untuk menyelesaikan soal dengan cepat. Tapi guru tetap saja menjelaskan rumus itu satu persatu, membuat aku semakin malas menyimak pelajarannya.
Aku kembali menenggelamkan kepalaku dilipatkan tangan saat guru matematika memasuki kelas. Seperti biasa guru akan mengabsen lalu menjelaskan materi hari ini.
"Jadi anak-anak ibu akan memberikan 20 soal untuk kalian jawab, karena hari Rabu nanti ibu tidak bisa masuk, jadi kalian langsung kumpulkan bukunya di meja ibu saja ya. Untuk meringankan tugas kalian, kalian bisa buat kelompok yang terdiri oleh dua orang. Boleh bersama teman sebangku ataupun dengan teman kalian lainnya. Kalian mengerti?" Tanya Ibu guru kepada seisi kelas.
"Mengerti buk!" Jawab kami serentak.
"Baik, sekarang kalian bisa duduk dengan partner tugas kalian karena ibu akan membagikan lembar soalnya."
Mendengar itu aku hanya menghela nafas pelan, lalu memilih mencoret-coret buku belakangku dengan pena. Tapi tak lama dari itu aku dikejutkan dengan kehadiran Dhuha yang kini sudah duduk disampingku.
Bukan hanya aku yang terkejut, tapi seisi kelas pun terkejut melihat Dhuha yang memilih satu kelompok denganku yang notabennya terkenal sebagai peringkat satu dari belakang. Sedang Dhuha adalah juara satu kelas yang kepintarannya tidak bisa diragukan lagi.
"Ngapain Lo duduk disini, pergi sana cari kelompok lain," Ujarku dengan sinis.
"Gue ngak mau, gue maunya satu kelompok sama Lo." Jawab Dhuha dengan tegas disertai dengan senyum simpulnya. Entahlah sejak dihadapkan dengan Raina sikap Dhuha berubah jadi keras kepala seperti ini, Dhuha yang biasanya dingin dan irit bicara kini mulai berubah menjadi orang yang sangat cerewet.
"Baik karena sudah terbagi semua, ibu akan membagikan lembaran soalnya." Ujar Buk Guru sambil berjalan membagikan lembaran soal.
"Sebelum semuanya terlambat, mending Lo cari kelompok lain deh. Gue juga ngak perlu orang kayak Lo di kelompok gue!" Ujar Raina sakarstik. Tapi naas hanya dibalas dengan gelengan kepala oleh Dhuha.
"Kalian boleh mengerjakannya sekarang," sambil melihat jam ditangannya," masih tersisa satu jam lagi, ingat terakhir pengumpulan hari Senin. Oke, ibu pamit pergi kekantor dulu karena ada urusan."
*******
Setelah kepergian ibu guru matematika, seisi kelas tampak sibuk mengerjakan soal. Tapi tidak dengan Raina dia memilih menenggelamkan kepalanya lagi dilipatkan tangannya, entah sudah berapa kali dia melakukan hal itu selama dirinya berada di dalam kelas.
Saat diriku berada didalam mimpi, Dhuha membangunkan ku secara paksa. "Jangan tidur dong Lo, bantuin gue kek atau apaan gitu!"
"Apaan si Lo! Ganggu aja tahu." Ujarku dengan suara yang sedikit serak. "Lo kan pintar, pasti bisa dong kerjain semuanya. Gue capek tahu ngak!" Sambungnya lagi.
"Pintar dari mana coba, ngerjain soal yang ginian aja butuh waktu puluhan menit! Mangkanya Lo jangan tidur, gue kesel kalau ngak ada teman bicara." Modus Dhuha supaya Raina tidak terus tidur.
Dengan kesal Raina menarik lembar soal ditangan Dhuha, lalu mengerjakan beberapa soal sekaligus. Dengan kepala yang sedikit pusing Raina mengerjakan soal tersebut dalam diam.
Melihat Raina bersikap seperti itu, Dhuha sangat terkejut. Tapi dia mencoba bersikap seperti biasa saja, lalu memandang wajah serius Raina yang sedang mengerjakan soal.
Kalau dalam mode kalem kayak gini Raina terlihat sangat cantik, apalagi saat dia menguncir rambutnya asal begini. "Apan si gue!" Ujar Dhuha menyadarkan dirinya.
Sepuluh menit sebelum bel istirahat berbunyi, Raina menyelesaikan lima soal sekaligus. Jadi sekarang total sepuluh soal yang sudah mereka selesaikan.
"Udahkan, sekarang Lo puas!" Kata Raina yang langsung berlalu pergi.
Melihat sikap Raina yang begitu, Dhuha hanya tersenyum simpul. Lalu dia memberikan perlengkapan belajarnya dan milik Raina juga. Saat tangannya memegang pena yang dipakai Raina, dia dikejutkan dengan noda dara yang melekat juga ditangannya.
"Raina," ujar Dhuha sambil berlari pergi dengan sangat cepat.
*********
Yeyy, akhirnya kita update lagi!
Jangan lupa tinggalkan jejak vote dan Komennya.
.
.
.

Book Comment (454)

  • avatar
    MonicSulaiman

    bagus

    19d

      0
  • avatar
    Posco

    lumayan buat aku sihh

    24d

      0
  • avatar
    SafitriSafitri

    Bagus

    14/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters