logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

8 - Mereka Tak Sepenuhnya Berbeda

Pepatah mengatakan bahwa semua perkataan orang tua adalah doa. Baik itu adalah pernyataan, dugaan, bahkan umpatan, akan terjadi cepat atau lambat. Hampir semua anak di dunia, walaupun tidak semuanya, berusaha menjalani hidup dengan ‘perkataan orang tua’. Mereka berusaha menjadi yang dibanggakan, bahkan paling dibanggakan. Entah apakah itu harus bersaing dengan saudaranya.
Daniar merasa bahwa ia juga patut dibanggakan.
“Masa aku nggak ngapa-ngapain dituduh ngelapor, Ma?” kata Daniar yang bercerita kepada Bu Ajeng yang sedang memasak.
“Yaudah, fokus sama kuliahmu saja. Katanya pingin kayak Kak Dina? Kalau kamu pingin kayak Kak Dina, kamu harus lulus tujuh semester!”
Dina, lagi? Astaga! Daniar sedang merasa membutuhkan semangat untuk bisa melanjutkan hidup di kampus. Tetapi, lagi-lagi, ia harus mendengar ia dibandingkan dengan Dina?
“Tapi, Ma. Kalau aku nggak bisa masuk ormaju, aku nggak bisa dapet beasiswa,” ujar Daniar yang menginginkan respon yang lain dari mamanya.
“Masa nggak ada beasiswa yang lain, sih?” tanya Bu Ajeng.
Daniar menghela nafas. Respon dari Bu Ajeng seperti masalah yang harus dihadapi solusi, padahal manusia juga perlu didengar dan divalidasi dulu perasaannya. Daniar melihat tanggapan mamanya hanya sebatas tanggapan saja, tidak ada empati. Ia pun memutuskan untuk tidak meneruskan pembicaraannya dengan Bu Ajeng dan berjalan menuju ke kamarnya.
“Aku mau ke Maya saja,” katanya dalam hati sambil merencanakan alasan apa yang akan ia katakan kepada Bu Ajeng.
Daniar kembali ke dapur, tempat Bu Ajeng masih mengolah bumbu untuk dimasak. “Ma, aku mau pergi ke Kampus. Ada persiapan buat praktikum besok.”
“Hari minggu, gini?” Bu Ajeng bertanya dengan tangan yang masih mengaduk masakan dan tatapannya tidak memandang Daniar.
“Iya. Mama kan denger sendiri dari tante Lila kalau kampusku emang ada praktikum bahkan kegiatan kampus pas malam hari.” jawab Daniar.
“Oke,” kata Bu Ajeng, Tatapannya hanya sesekali menghampiri anaknya yang kedua itu.
Daniar berjalan menuju kamar untuk menyiapkan barang-barang yang diperlukan. “Coba kalau Mama ngizinin aku main, aku nggak bakalan bohong kayak gini.” Gerutuan Daniar hanya terdengar olehnya sendiri. Sebelum berangkat, tidak lupa ia menghubungi Maya. Ia menduga Maya sedang tidur.
“Halo, May?” sapa Daniar kepada Maya lewat telepon.
“Hmmm –“ suara Maya terdengar seperti baru bangun tidur.
“Aku ke tempatmu, ya?”
“He – emh.”
Seperti dugaannya, Maya memang masih tertidur. Terdengar dari suaranya bahwa pasti Maya mengangkat panggilan dalam keadaan mata tertutup.
“Maya emang bisa melakukan apa saja walaupun matanya merem,” kata Daniar sambil cekikikan. “Kugodain aja lah pas sampai di sana.”
Daniar segera berangkat menuju apartemen Maya yang tempatnya tidak jauh dari kampusnya. Perasaannya bahagia karena ia bisa menghabiskan hari minggu tidak di rumahnya.
Tidak bertemu dengan Dina, Tidak pula mendengar tuntutan Bu Ajeng yang sering dilontarkan kepadanya. Dia merasa menjadi Daniar yang utuh ketika tidak berada di rumah. Sebelum ia menyalakan motor matic-nya, notifikasi ponselnya berbunyi, Pesan dari Maya.
[Aku titip ayam goreng. Pakai e-wallet aja bayarnya, nanti aku transfer. Hati-hati di jalan. Oh ya, kalau ada sisa kamu beli kopi apa yang kamu pingin. Makasih :*]
Beberapa detik kemudian, pemberitahuan transfer uang dari Maya sudah masuk. Daniar melihat nominal uang yang masuk ke e-walletnya. “Maya emang Sultan. Duit segini kayak receh buat dia.”
Daniar mulai menyalakan motornya namun masih memegang ponsel yang ada di sakunya. “Maya nggak ngirim pesan lagi ‘kan?”
Kali ini Daniar benar-benar berangkat, ia pergi dari rumah dengan kecepatan sedang.
“Home sweet home? Apaan tuh? Di aku adanya home bitter home.”
***
Ayam goreng favorit Maya tidak jauh dari kawasan kampusnya. Bahkan Kampus Maya juga tidak jauh dari Kampus tempat Daniar menimba ilmu. Dan, kampus mereka juga sangat dekat dengan apartemen yang dihuni oleh Maya. Bisa dikatakan, kawasan ini adalah kawasan serba ada. Dari makanan ringam hingga restoran ala Eropa juga tersedia di sini. Apartemen mewah hingga rumah susun milik pemerintah pun juga berdiri tegak di kawasan yang sama.
Walaupun dekat dengan aneka kuliner yang menggoda, sebagian besar teman-teman kuliah Daniar memilih untuk berhemat. Mereka harus bertahan dengan uang yang diberikan oleh orang tuanya setiap bulan. Beberapa mahasiswa pun bahkan harus menerima dan memanfaatkan dengan baik beasiswa yang diberikan oleh institut yang jumlahnya sangat pas-pasan untuk biaya hidup. Tidak heran jika ‘jajan’ tidak masuk dalam skala prioritas bagi mereka.
Daniar menghentikan motornya, namun tidak mematikan mesin. Ia memesan secara drive-thru ayam goreng pesanan Maya, di sana juga menjual kopi yang juga menjadi kesukaan Daniar. Ia menekan beberapa titik di layar sentuh untuk memesan makanan, kemudian ia mendapatkan struk yang berisi daftar pesanan dan permintaan untuk dibayar di pos selanjutnya.
Daniar berhenti untuk mengambil posisi antre sambil mengangkat telepon dari Maya.
“Apa, May?”
“Kamu di mana?”
“Di tempat aygor. Kenapa?” aygor adalah singkatan ayam goreng yang sering dipakai oleh Maya dan Daniar
“Aku pikir kamu nggak jadi ke sini. Aku laper banget.”
“Udah mau nyampe. Ini tinggal bayar.”
“Oke, buruan.”
Setelah mendapatkan giliran untuk membayar, Daniar mendapatkan pesanannya. Agar tidak terlalu lama Maya menunggu, Daniar langsung tancap gas menuju tempat Maya yang mungkin masih terlentang dan bermalas-malasan di kasur.
***
Daniar telah sampai di tempat motornya harus diparkir. Ia turun dari motor dan berjalan menuju lobby. Ia berjalan seakan-akan menjadi pemilik salah satu unit di sini. “Enak kali, ya, punya apartemen.”
Lift berjalan melambat karena sering terhenti di berbagai lantai. Daniar mulai merasa lapar karena mencium aroma ayam goreng yang sangat menggoda. “Untung tadi Maya ngasih uangnya banyak, bisa beli ayam banyak sekalian.”
Pintu lift akhirnya terbuka tepat di lantai yang Daniar tuju. Ia menuju unit milik Maya yang ada di ujung, dekat dengan tangga darurat.
“Ma..ya..!” Daniar memanggil Maya dari luar sambil mengetuk pintu. Tidak mendengar respon apapun, Daniar mengetuk kembali pintunya.
“Woi!” Maya membuka pintu. “Aku lagi di kamar mandi.”
“Sorry, ini ayam kesukaanmu.”
“Makasih, ya.”
“Makasih juga mengizinkanku kabur dari rumah.”
“Ya, udah biasa ‘kan? Haha.” Maya menggoda Daniar sambil tertawa cekikikan.
“Iya, deh.” Daniar mengiyakan apa yang dikatakan Maya. Memang benar, ia selalu kabur dari rumah dan pergi ke Maya. Memang sudah biasa. Ia selalu merasa aman ketika bersama Maya. Lebih tepatnya, Daniar merasa dirinya utuh dengan berbincang atau hanya sekadar bersama Maya.
“Aku tadi beli kopi,” kata Daniar.
“Nggak apa-apa. Uangnya habis?”
“Nggak, ini ada sisa sepuluh ribu,” jawab Daniar.
“Buat kamu aja, deh.”
“Songong banget sih anak sultan!” Kini giliran Daniar yang menggoda Maya.
“Ya udah, mana kembalian uangnya!”
“Eh iya deh, buat aku aja -- hehe.” Daniar kalah telak.
“Ngomong-ngomong, besok kamu ada kuliah?”
“Apa? Kuliah? Inginku tidak ada perkuliahan. Aku ingin di rumah saja,” jawab Daniar.
“Di rumah yang ada Dina juga?”
“Bukan lah! Aku nggak mau kuliah tahu nggak sih?”
“Masalah pelaporan itu belum kelar?” tanya Maya.
“Ya, dan kayaknya nggak bakalan dikelarin. Para senior menjadikanku kambing hitam supaya ada cerita untuk mahasiswa baru tahun depan. Selain itu, teman-teman angkatanku nggak ada percaya sama aku.”
“Kata siapa itu?”
“Kataku. Tapi, teman-temanku nggak percaya sama aku itu kenyataan,” jawab Daniar.
Maya menghela nafas. Ia melihat sahabatnya sedang gelisah. “Kita makan ayam dulu aja, biar nggak pening.”
Daniar setuju. Tapi yang pertama kali ia masukkan ke dalam mulut adalah kopi.
***
“Sab, kamu jadi jemput aku, ‘kan?”
Raya menghubungi Sabda yang masih berada di tempat kos untuk menanyakan kelanjutan pertemuan mereka hari ini.
“Sab!” Raya meneriaki Sabda lewat telepon yang masih tersambung. “Sab! Kamu masih tidur?”
“He – em.” Sabda hanya menjawab dengan deheman.
“Masih tidur kok bisa ngangkat telepon?”
“Hmmm –“ Sabda masih membalas dengan deheman.
“Sabda! Kita udah janjian dari beberapa hari yang lalu buat nemenin aku nonton!” Teriakan Raya kali ini benar-benar membuat Sabda membuka matanya, walaupun sedikit.
“Kita hmmm janjian hmmm jam dua hmmm belas ‘kan?” Deheman Sabda belum benar-benar hilang walaupun ia sudah berusaha terbangun.
“Menurutmu sekarang sudah jam berapa?” Suara Raya terdengar tidak ramah.
Sabda pun memaksakan diri untuk membuka mata untuk melihat waktu yang ada di layar ponselnya. “Ini masih jam setengah sebelas, Ray.”
Raya menghela nafas. Ia tahu ini akan terjadi, Sabda selalu menunda-nunda jika sudah berjanji dengannya. Padahal, Raya hanya mengatakan bahwa jadwal penayangan film adalah pukul dua belas. Sedangkan untuk berangkat dari tempat Raya adalah pukul sebelas siang.
“Iya, aku tahu kamu bakalan ngomong gini. Kamu pasti nggak inget kalau janji jemput aku jam sebelas siang. Makanya, aku telepon lebih awal.”
Sabda, di kamarnya, menyunggingkan bibir untuk tersenyum. Raya memang tahu polanya walaupun berteman selama tiga tahun.
“Iya, deh.” Sabda pun menurut. “Aku makan dulu, ya.”
Tarikan nafas yang berat dari Raya terdengar sampai ke Sabda. “Aku tahu kamu pasti belum makan jam segini kalau hari minggu. Kamu jemput aku sekarang aja!”
Tapi, Sabda belum mandi.
“Nggak usah mandi! Dari dulu kamu juga udah bau! Langsung ke sini biar kita makan di warung sebelah kosanku!” Raya menutup teleponnya.
Kali ini, Sabda yang menarik nafas dalam. Raya memang baik, bahkan sangat baik. Banyak teman-teman yang mengenalnya menganggap bahwa Raya adalah kekasihnya. Dan beberapa kali juga Sabda mengatakan bahwa dia dan Raya hanya berteman.
Sabda tahu, pertemanan mereka terlihat tidak normal untuk ukuran tersebut. Tetapi Sabda tidak sanggup menyakiti hati Raya.
Telepon dari Raya muncul kembali. Sabda mengangkatnya, “Halo?”
“Udah ngelamunnya?”
“Aku lagi pakai baju.” Sabda menyembunyikan apa yang terjadi sebenarnya.
“Kalau kamu pakai baju, kamu nggak bakalan angkat teleponku secepat tadi.”
“Kalau kamu telepon terus, aku kapan ke sananya?”
“Aku memastikan kalau kamu beneran ganti baju, ngelamun, atau tidur lagi.”
“Ray, udah deh! Kayak gini malah nyebelin tahu nggak!” Protes Sabda kepada Raya pun akhirnya dilayangkan.
“Hahahahaha! Kamu nggak sadar kalau kamu juga nyebelin? Udah! Buruan ke sini!”
Sabda menggelengkan kepala sembari menutup telepon. Di hatinya, ia mengakui bahwa apa yang dikatakan Raya benar adanya. Dan ia pun juga mengakui, hanya Raya yang bertahan untuk berteman dengannya selama ini.

Book Comment (411)

  • avatar
    Aulia pratiwiNikens

    sangat keren😍🤩

    26/06

      0
  • avatar
    AnjainiAndita

    sangat keren

    14/06

      0
  • avatar
    MeliaAmel

    bgusss crtanya

    18/04

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters