logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

4 - Gadis dengan Bagian Hatinya

Teriakan Mama Daniar terdengar jelas, bahkan untuk tetangga sebelah rumah mereka. Suaranya memang terkenal keras dan kencang. Bahkan dari jarak beberapa puluh meter, seseorang bisa mendengar apa yang Mama Daniar bisikkan ke orang lain. Pernyataan sebelumnya mungkin terdengar berlebihan. Bagi Daniar, suara kencang sang mama selalu menimbulkan ketakutan yang membuat badannya merinding.
Daniar adalah anak yang berbakti kepada orang tuanya, ia juga ingin dibanggakan mereka. Sesekali Daniar juga bertanya pada diri sendiri, mau sampai kapan ia harus berusaha dibanggakan orang tuanya? Mengingat bahwa standar yang diberikan oleh orang tuanya adalah Dina, seorang calon dokter. Semua orang tahu, menjadi mahasiswa kedokteran kemudian menjadi dokter tidaklah mudah. Bahkan untuk anak yang selalu mendapatkan peringkat satu di kelasnya, harus berjuang keras untuk lulus dari jurusan tersebut.
Seringnya, Daniar merasa apa yang diinginkan olehnya malah didapatkan Dina dengan mudah. Daniar merasa bahwa dunia tidak adil kepadanya. Ia ingin menjadi dokter, tertapi kakaknya yang mendapatkannya. Ia ingin tulisannya dimuat di koran, dengan mudah Dina dapatkan.
“Hei!” seseorang membuka pintu kamarnya cukup keras, “Niat mau kuliah nggak sih? Mama udah siap –siap buat nganterin kamu daftar ulang, tuh! Jam segini masih molor!”
Daniar masih enggan membuka mata, karena Ia akan menghabiskan waktu seharian bersama mamanya. Tetapi ia harus melewati hari ini, ia harus menyelesaikan administrasi untuk pendaftaran mahasiswa baru. Ketika Daniar membuka mata, Dina sedang membuka lemarinya.
“Perasaan bajuku yang bagus udah pada kakak rampok, deh.” ungkap Daniar sambil mengucek matanya untuk mengumpulkan kesadaran, padahal nyawanya sudah penuh beberapa saat sebelumnya
“Aku mau pakai ini.” tanpa memandang untuk sekadar meminta izin kepada adiknya, Dina mengambil pakaian Daniar yang dapat dikatakan sebagai salah satu pakaian terbaiknya. Ingin hati tidak mengizinkan, Daniar sudah mendapati kakaknya menghilang bak senja tak berbekas ketika malam hari.
“Terus aku ke kampus pakai apa?” gerutu Daniar yang tak berguna. Beberapa saat, Daniar merasa pikirannya hampa. Ia sering merasa seperti ini. Namun tidak sempat ia memikirkannya kembali, teriakan mamanya yang cukup kencang kembali hadir tepat di depan pintu kamarnya.
“DANIAR! JAM BERAPA KAMU DAFTAR ULANG?! INI UDAH JAM SEPULUH DAN KAMU MASIH DUDUK DI KASUR!”
“Sampai kapan aku harus mendapati pagi yang menyebalkan seperti ini?” Daniar hanya sanggup menggerutu di dalam hati.
Daniar keluar dari kamar menuju kamar mandi, terdengar suara yang ramai di ruang tamu. Beberapa orang terlihat duduk di sana yang ternyata adalah tetangga sebelah sedang berkonsultasi kepada Dina mengenai gejala-gejala yang mereka alami.
“Bu Ajeng bangga banget pasti ya, punya anak dokter.”
“Halah, bukan apa-apa bu. Dina sendiri yang pingin jadi dokter. Saya hanya mendukungnya. Sebagai orang tua ‘kan tugasnya Cuma itu ya, Bu, Mendukung anak.”
“Kalau Daniar sendiri keterima di institut teknik ya bu? Jurusan apa?”
“Daniar keterima di Teknik Material, itu lho bu, kalau kerja nanti di pertambangan.” Jawab Bu Ajeng.
Para tetangga hanya menggeleng penuh kekaguman. Seakan-akan Bu Ajeng hidup dengan penuh kebanggaan. Mendengar bahwa ia dibanggakan, Daniar tersenyum. Tetapi, ia masih belum cukup puas. Ada perasaan yang mengganjak di benaknya.
Setelah mandi, Daniar bergegas memakai baju yang ada, kaos berkerah dan celana jeans. Mamanya masuk ke kamar dan berteriak, lagi, “KAMU NGGAK ADA BAJU YANG BAGUS TA? BAJU ITU TERUS YANG KAMU PAKE?!”
Belum sempat Daniar menjawab, Bu Ajeng menutup pintu dan meninggalkan Daniar dengan perasaan kesal.
“Padahal baju-bajuku pada dirampok kak Dina.” Daniar menghela nafas dan meneruskan untuk bersiap. “Mama nggak mungkin nyalahin kak Dina.”
Daniar dan mamanya masuk mobil dan berangkat menuju kampus yang jaraknya hanya sekitar delapan kilometer. Daniar hanya diam melihat ke luar jendela. Ia merenungi beberapa hal.
“Apa yang harus aku lakukan kalau ketemu Marvel?”
“Jurusanku bersebelahan dengan jurusannya Marvel, aku kudu gimana?”
“Gimana kalau aku ketemu Marvel dan Klara lagi mesra-mesraan?”
Daniar menggelengkan kepalanya cepat-cepat, “itu tidak boleh terjadi.”
“Apakah aku terlihat menyedihkan? Apakah aku memang menyedihkan?”
“Daniar!” Bu Ajeng memanggil dari kursi supir.
“Iya, ma?”
“Kamu ngelamunin apa?”
“Hmmm.. lagi mikir pingin lulus berapa tahun.. hehe.”
“Bagus. Kalau kamu bisa lulus tiga setengah tahun, berarti kamu sejajar dengan Dina.”
Daniar hanya tersenyum tipis. Di lubuk hatinya yang belum ia sadari, ia tidak ingin seperti Dina.
***
Kampus ini memang cukup megah dan sangat luas. Untuk pergi ke suatu tempat , akan lebih mudah jika menggunakan kendaraan. Walaupun dengan luas yang demikian, berjalan kaki dirasa lebih nyaman bagi Daniar. Di sana tersedia pedestrian yang aman dan nyaman. Ia berjalan-jalan untuk mengeksplorasi tempat yang akan menjadi pembelajarannya selama.. mungkin tiga setengah tahun?
Daniar telah memasang target lulus tujuh semester walaupun telah terdengar banyak rumor bahwa masuk kampus ini sulit, keluar pun semakin sulit. Daniar menganggap dirinya sama dengan Dina, pasti akan mudah baginya meraih target tersebut.
“Daniar! Kamu habis dari mana aja? Mama cariin kamu daritadi. Untung ada tante Lila di sini. Mama jadi ada temen ngobrol. Salim dulu gih!” tanpa basa basi, Daniar segera mencium tangan tante Lila dan tersenyum menyapanya.
“Aku pulang dulu ya Lil. Kita ketemuan kapan-kapan.” Tukas Mama Daniar sambil menarik lengan anaknya.
Daniar tidak pernah merasa tenang selama berada di dekat orang tuanya, mama ataupun papanya. Ia merasa tak nyaman. Jika banyak anak merasa tenteram dengan adanya kedekatan antara anak dan orang tua, Daniar tidak demikian.
“Teknik Industri sama teknik material, lebih favorit mana?” tanya Mama
“Kalau kata LBB kemarin sih, teknik industri.”
“Kenapa kamu nggak ambil teknik industri? Kerjanya lebih jelas kan, dan katanya semua lulusannya langsung terserap untuk kerja. Bukannya teknik material itu jurusan baru?”
Daniar hanya tersenyum. Baru saja tadi pagi Bu Ajeng terdengar membanggakan dirinya di hadapan para tetangga. Tetap saja, bagi mamanya, tidak cukup. Atau memang tidak akan pernah cukup?
“Tapi.. siapa yang tahu rejeki orang? Dina aja bisa keterima beasiswa di Belanda. Padahal mama kan targetnya biar Dina jadi dokter umum udah cukup.”
Daniar tidak ingin membalas pernyataan mamanya. Ia hanya menyeruput caramel latte iced yang baru ia minum setelah tak sempat meminumnya karena menyapa tante Lila.
“Eh,” Daniar terkejut dengan kopinya yang hambar. Ia membalik gelas plastik kopi tersebut dan menemukan
nama yang tertulis bukan namanya dan tertulis dengan spidol berwarna merah “Sabda”.
Sial sekali hidupku hari ini, Mana enak kopi susu tanpa gula? Pikir Daniar dengan perasaan kacau.
Ia mengingat-ingat kembali bagaimana ia membeli kopi di salah satu di kantin kampus. Saat itu, ia juga mendapati seorang pembeli laki-laki berjaket kulit yang sedang mengajak bicara baristanya.
“Apakah dia yang bernama Sabda?” tanya Daniar dalam hati.
Daniar terbayang-bayang apa yang sedang mereka berdua bicarakan. Tiba-tiba kepala Daniar terasa sakit karena meminum kopinya dengan cepat sampai habis. Jangan-jangan ini dua shot espresso? Daniar menarik nafas, sial sekali hidupku. Daniar sangat hati-hati untuk konsumsi kopi setiap harinya, ia hanya memberi jatah dua shot perhari. Itu pun tidak diminum bersamaan.

Book Comment (411)

  • avatar
    Aulia pratiwiNikens

    sangat keren😍🤩

    26/06

      0
  • avatar
    AnjainiAndita

    sangat keren

    14/06

      0
  • avatar
    MeliaAmel

    bgusss crtanya

    18/04

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters