logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

5. Bukan Keluarga Impian

Di dalam kamar mandi, Megan beradu tatap dengan pantulan dirinya sendiri di cermin, memindai setiap inci raut wajahnya yang sembab berbekas air mata.
Lamat memandangi manik matanya, tak ada semangat ditemukannya disana.
Dia memang ada disini, tapi hatinya masih tertinggal di rumah Mayang. Rumah dimana dia tumbuh besar dan melalui berbagai suka dan dukanya.
Entah kemana arah pikirannya saat ini hingga ketukan di pintu menariknya kembali dari lamunan.
Gadis itu lantas bergegas membasuk muka.
"Kak ...! Cepetan turun, ayok ...!" Tak ayal Megan tersentak. Tubuhnya berjengit, bereaksi saat Marsha memanggilnya dari luar kamar mandi.
Megan keluar dengan permukaan wajah yang basah setelah mencuci muka. Lalu berhenti di ambang pintu kamar mandi, tepat di depan Marsha yang menatapnya heran.
"Apa?" tanyanya datar tanpa melihat ke arah Marsha.
"Kakak, kok, belum siap? Buruan, semua orang udah nungguin tuh," Marsha merengek gemas. Yang ditunggu bukannya bergegas justeru lambat sekali pergerakannya. Seolah tak ada grusah-grusuhnya sama sekali.
Kini, menarik pergelangan Megan tiba-tiba saja menjadi hobynya.
Tanpa peduli rambut Megan yang acak-acakan, gadis itu terus menariknya turun ke bawah. Megan bahkan belum sempat mengganti bajunya sejak datang di ke diaman keluarga Vederick. Tapi Marsha terlalu tak sabar menahan lapar untuk memperhatikan penampilan Megan yang lusuh berantakan khas bangun tidur itu.
Megan melangkah canggung mendekati meja makan. Dimana disana telah duduk empat anggota keluarga. Berbincang santai. Tampak begitu hangat dan bahagia tanpa ada masalah.
Keluarga yang lengakap, dalam hati Megan berujar kecut.
Jadi, seperti inilah kehidupan Ibunya selama bertahun-tahun. Sedangkan dirinya?
Ditekannya kuat-kuat rasa iri dalam dirinya agar tak begitu kentara di gurat wajahnya. Megan tak ingin kembali menangis.
"Hah, akhirnya makan juga," Marsha mengesah setelah menghempas tubuhnnya di kursi. Tak menunggu lagi mengerjai nasi dengan semur ayam kecap di depan matanya.
"Akhirnya, lo, turun juga. Udah mau meninggal nungguin, lo," Tak ada nada sinis di dalamnya, tapi tak juga terdengar ramah. Seolah Saka sedang bicara santai seperti biasa.
Megan hanya melirik sekilas menanggapi.
"Saka, adik kamu ini kan, baru dateng setelah perjalanan jauh, wajar dong kalo capek," Sandiego Vederick. Sosoknya memang selalu bijaksana. Selain itu, Sandiego termasuk sosok yang sangat tegas dalam memperhitungkan kedisiplinan anak-anaknya. Dia selalu adil mempertimbangkan kesalahan putera-puterinya. Sebab itu, baik Saka maupun Marsha tak ada yang berani membantah Ayahnya. Daripada rasa takut, rasa hormat mereka terhadap Ayahnya jauh lebih besar.
Saka diam tak menyahut. Memilih berkutat dengan Piring dan sendok di depannya.
Saat dengat khitmatnya Megan menyantap makanan, gadis itu berjengit yang reflek menjauhkan kepala saat Nadine menyentuhnya.
Melihat reaksi puterinya, Nadine tertegun beberapa saat. Tapi Nadine lantas tersenyum menyembunyikan hatinya yang meringis lantaran puterinya tak bisa tersentuh olehnya. Niatnya hanya ingin merapikan anak rambut di kepala Megan. Namun siapa sangka jika puterinya bereaksi seperti itu.
Senyum yang dia paksakan di bawanya melanjutkan makan dalam diam.
Hening. Hanya suara sendok yang beradu dengan piring yang terdengar. Begitulah suasana dalam kediaman keluarga Vederick saat di meja makan. Tak ada yang bersuara satu katapun kecuali setelah acara makan-makan sudah selesai.
Megan sendiri diam bukan karena sudah tau kebiasaan keluarga Vederick. Dia tidak tertarik membahas apapun dengan orang-orang di depannya. Semakin cepat selesai, semakin cepat dia enyah dari sana. Gadis itu tak ingin lebih jengah lagi melihat kebersamaan mereka.
----
Di taman kecil, di halaman belakang rumah Megan duduk terpekur di atas ayunan. Pilihannya jatuh di tempat ini sejak selesai acara makan malam pertamanya bersama keluarga barunya tadi.
Meratap seorang diri, dalam hati merutuk bertanya pada langit malam. Tak ada jawaban. Awan hitam yang berarak pertanda mendung, seolah menatapnya sendu. Tak ada suara dari awan, hanya bahasa kalbu yang diartikan Megan bahwa awan turut berduka dengan suasana hatinya yang merasakan pedih.
Lagi-lagi hatinya merintih. Bulir bening yang lolos dalam diamnya, diusapnya cepat saat sudut matanya menangkap siluet seseorang sedang berjalan mendekat ke arahnya. Tanpa melihat Meganpun tau siapa seseorang itu.
Saka kini berdiri di depan Megan, berjarak hanya dalam hitungan jengkal. Saka meraih sisi tali ayunan. Menghentikan Megan yang sejak tadi mengayunkannya pelan.
Tak ada kata-kata yang keluar darinya. Hanya berdiri menatap Megan dengan tatapan tanpa arti, menunggu gadis itu bertanya padanya ada apa?
Sayangnya, beberapa detik berlalu, tak ada sambutan sama sekali dari Megan.
Megan hanya meliriknya sekilas, lalu membuang pandangan tak suka sebelum akhirnya mengedikan bahu tak peduli dengan keberadaan dirinya.
Melihanya, Saka terkekeh sinis.
"Gue pikir, gue terlalu cepet menyimpulkan, karena lo baru bergabung disini. Tapi gue tau, lo, nggak begitu suka sama keluarga gue. Seburuk itu di mata, lo?"
Hening. Hanya suara angin yang mulai terasa menyapa keduanya.
Saka memang benar, tapi juga tak sepenuhnya benar. Karena bukan hanya keluarganya saja. Bahkan Nadine pun, Megan juga tak suka padanya. Ibu kandungnya.
Kalau boleh jujur, tak ada alasan yang mendominasi. Megan hanya benar-benar tak siap dengan semua ini. Dia hanya ingin hidup damai dengan Mayang tanpa ada yang mengganggu ketenangan dan kebahagiaannya disana. Tapi Nadine, wanita itu telah mengusik. Sosok yang sudah tak dia butuhkan lagi kehadirannya, dengan lancangnya membawa dirinya pergi. Terlebih-lebih wanita itu membawanya kepada seorang lelaki yang sudah memiliki putera dan puteri.
Megan tak sanggup membayangkan. Seberapa banyak kasih sayang Nadine yang dicurahkan untuk Saka dan Marsha. Sedangkan dirinya yang sejak kecil sudah ditinggalkan, sama sekali Nadine tak mau tau.
Bagaimana keadaannya. Seperti apa kondisinya. Bagaimana tumbuh kembangnya. Nadine melewatkan semua itu tentangnya, tapi justeru memilih melihat dan menyaksikan keadaan dan tumbuh kembang anak orang lain.
Hanya itu. Hal itu yang membuat Megan merasa jika Nadine tak membutuhkannya, maka dia juga tak akan membutuhkan Nadine.
Mengingat semua itu, netra yang tadinya sudah sempat mengering, kini kembali berembun. Kaca-kacanya sangat kentara disana yang membuat Saka tertegun seketika saat melihatnya.
Bersamaan dengan jatuhnya rintik hujan di bumi tempat mereka berdua kini berpijak, saat itu juga air mata luruh kembali.
Megan memilih beranjak sebelum benar-benar menangis. Berlalu pergi meninggalkan Saka yang masih mematung.
Tak ada yang tau apa yang sedang dipikirkannya saat ini tentang Megan. Yang jelas laki-laki itu masih bergeming mengikuti kepergian Megan dengan pandangannya. Bahkan rintik hujanpun tak kunjung mengusik diamnya.
Ah, Megan. Gadis itu baru menyadari kebodohan yang dilakukannya di depan seorang Saka. Apa yang akan Saka pikirkan tentangnya nanti?
Megan mengerang tertahan saat menaiki anak tangga.
Saat tiba di depan pintu kamar Marsha yang kini juga menjadi kamarnya, Megan menghela napas dalam. Mengusap wajahnya yang penuh air mata bercampur hujan saat menerjang masuk ke dalam rumah. Lalu dalam satu hentakan pada knop, pintu terbuka memperlihatkan Marsha yang berbalut selimut membelakangi pintu. Gadis itu tak biasa tidur jam 9 ke atas. Satu fakta yang kelak Megan ketahui tentang Marsha.
Megan beranjak membersihkan diri setelah menutup pintu. Mulai saat ini dia juga harus membiasakan diri tidur lebih awal . Entah apa alasannya, Megan juga tidak tau. Dia hanya mengikuti kata hatinya saja. Itupun kalau dia bisa tidur nyenyak di tempat ini.
----
Paginya, Megan baru bangun saat sudah pukul 8.05. Alisnya bertaut heran saat tak mendapati Marsha di ranjang tidurnya. Pandangannya beredar, di kamar mandi juga tak ada. Sudah jelas dari pintu kamar mandinya yang terbuka. Tak ada suara gemericik air atau tanda-tanda adanya orang di dalam sana.
Gadis itu baru sadar setelah melihat jam di ponselnya. Megan membelalak kaget. Setelahnya dia beranjak, berjalan pelan menuruni anak tangga sebelum sempat membasuh mukanya.
Lagi-lagi alisnya bertaut heran saat netranya memindai ruangan. Sepi. Tak ada orang sama sekali disana. Rumah terlihat begitu lenggang tanpa adanya pergerakan dari seorangpun.
"Eh, non, udah bangun. Mau, Mbok siapain sekarang makanannya, atau non, mau bersih-bersih dulu?" Megan menoleh ke asal suara. Dari arah pintu dapur Mbok Sayem keluar saat mendengar langkahnya menjejaki tangga. Megan lalu mengangguk.
"Yang lain, kemana ya, Mbok?" Mbok Sayem berhenti saat hendak melangkah kembali ke dapur.
"Bapak, sama Ibu sudah pergi, non,"
"Pergi?"
"Iya, non. Pagi-pagi sekali tadi mereka berangkat, katanya ada meeting,"
"Yang lain, Mbok?"
"Non Marsha, sudah berangkat sekolah. Tadi katanya mau bangunin, non, mau ngajak sarapan bareng, tapi nggak tega,"
Megan mengangguk paham. Satu lagi yang harus dia pastikan keberadaannya, yaitu Saka.
"Den Saka, ada, non. Dia di atas, lagi mandi. Dia baru pulang lari pagi." pungkas Mbok Sayem setelah Megan bertanya keberadaan Saka.
Saka ada di rumah. Itu berarti selain Mbok Sayem, hanya ada mereka berdua di rumah ini.
Jujur saja Megan sedikit merasa gugup, tapi seorang Megan tetaplah Megan. Dia tetap pada pendiriannya tak mau peduli dan acuh dengan seisi rumah ini. Sudah tentu termasuk seorang Saka, yang telah dia pastikan beberapa detik lalu bahwa keberadaan Saka tak akan mengusik dirinya.
----
Di meja makan yang hanya berisi dua orang saja, lagi-lagi hanya suara sendok yang beradu dengan piring. Baik Saka maupun Megan tak ada yang berniat membuka suara. Tak ada basa-basi di antaranya, terlebih setelah kejadian semalam. Mengingatnya, Megan tertunduk dalam sambil mengunyah. Gurat rasa malu samar kentara di wajahnya.
Sedangkan di seberangnya, Sudut bibir Saka terangkat sebelah saat menangkap gelagat Megan. Aneh, pikirnya.
----

Book Comment (84)

  • avatar
    MeilinaRadinka

    buku yang baik dan sangat mudah untuk dibaca sangat di mengerti

    17d

      0
  • avatar
    แย่มาก

    ihhh ceritaa nyaa baguss, sukaaaa🖤

    14/08

      0
  • avatar
    Fyra Azzahra

    Ceritanya sangat menarik dan bagus

    08/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters