logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Bab 4 - Makanan Kesukaan Bintang

Bintang baru saja pulang, jam menunjukan pukul enam malam lewat beberapa menit. Dia langsung menuju ke dapur, semua masakan sudah matang dan tertata rapi di meja makan.
"Tisya mana?" gumam Bintang sambil melihat aneka masakan kesukaan dia.
Sebelum memasak, Tisya sempat ke rumah mertuanya. Bertanya tentang makanan kesukaan Bintang, Mardina yang sedang duduk di ruang tamu dengan bahagia menjawab.
"Bintang itu suka ayam laos, cah kangkung sama tempe mendoan yang digoreng setengah matang," ujar Mardina kepada Tisya yang duduk di dekat dia.
Setelah mendapatkan informasi dari Mardina, Tisya langsung kembali ke rumah dan mulai memasak. Mardina bisa memaklumi kalau Tisya belum mengerti lebih jauh tentang Bintang.
"Masakannya sudah matang, tapi orangnya gak ada. Ke mana sih?" ucap Bintang sambil berjalan ke atas seraya melepaskan beberapa kancing kemeja.
Samar-samar di ruang salat, Bintang mendengar suara perempuan yang sedang mengaji. Bintang melangkahkan kakinya ke ruangan yang berada di samping kamar mereka.
Pintu bercat putih itu terbuka sedikit, Bintang bisa melihat Tisya yang masih mengenakan mukena membaca Al-Qur'an dengan sangat merdu.
Kenapa Bintang? Kenapa kamu belum bisa menerima dengan penuh Tisya sebagai istrimu? Batin Bintang sambil berdiri menatap ke dalam.
Tisya tidak mengetahui kalau di pintu ada seseorang yang sedang melihat dia mengaji, dengan pelan Bintang menutup pintu hingga tidak ada celah.
Bintang kembali berjalan ke kamar, untuk sekadar membasuh tubuh dia yang lengket karena keringat. Sebelum dia makan hasil masakan Tisya.
Tidak butuh waktu lama, Bintang sudah selesai mandi dan telah berganti pakaian santai. Laki-laki itu kemudian berjalan turun, alangkah terkejutnya melihat Tisya tidak mengenakan penutup kepala.
"Ke-kerudungmu mana?" ujar Bintang dengan nada sedikit gugup seperti melihat setan.
"Ya, gak masalah dong. Lagian sudah resmi menjadi suami istri," ujar Tisya sambil menekan kata suami istri.
"Kalau misalnya Mas Arvin atau Mas Agam ke sini gimana?"
"Ya, aku tinggal pakai kerudung kemudian buka kunci pintu, sudah."
Hati Tisya masih mendidih sebenarnya, mengingat kejadian di pagi hari tadi. Dia kemudian melirik Bintang yang dalam diam masuk ke dapur dan mulai mengambil piring.
Tisya masih berada di tempat tavoritnya yaitu ruang televisi, dengan tayangan dari YouTube sudah terputar di sana. Bintang juga sekilas memandang Tisya yang masih anteng di sofa.
"Ayo, makan sekalian," tanya Bintang dengan lirih.
"Enggak, nanti aja, nunggu kamu selesai makan," ucap Tisya sambil tetap menatap layar televisi.
"Nurut dong sama aku," ujar Bintang sambil mencoba tersenyum ke Tisya walau masih kaku.
Tisya akhirnya mengikuti ucapan Bintang, benar kata Miftah, dia harus sabar sementara untuk menghadapi permainan Bintang yang tidak bisa ditebak.
Perempuan itu kemudian berjalan ke rak piring dan mengambil piring berwarna putih, dan duduk berhadapan dengan Bintang yang menunggu Tisya mengambilkan nasi miliknya.
"Banyak atau sedikit?" tanya Tisya dengan raut muka datar.
"Sedang saja," jawab Bintang sambil melihat ke arah Tisya.
Tisya dengan telaten mengambilkan nasi sesuai perkataan Bintang, laki-laki itu hanya diam saat Tisya juga mengambilkan aneka lauk kesukaan dia.
Seandainya kamu masih hidup, Sayang. Kamu pasti di posisi ini sekarang. Batin Bintang seraya menerima piring yang sudah lengkap isinya.
Tisya langsung mengisi piring milik dia, kemudian memasukan lauk-lauk hasil masakan Tisya sendiri. Lalu mulai ikut makan dengan diam.
Untungnya masakan Tisya memiliki rasa yang pas, jadi dia tidak perlu khawatir dengan komentar-komentar pedas yang tidak mungkin keluar dari mulut Bintang.
Bintang melirik Tisya, sekelebatan bayangan Deffi muncul dalam pandangan Bintang. Dia melihat kekasihnya itu makan dengan sedikit pelan.
"Kamu kenapa makannya pelan seperti itu sih Def? Mau aku suapin?" tanya Bintang dengan tanpa sadar.
Deg! Hati Tisya sakit, setelah mengetahui kalau Bintang sedang membayangkan tengah makan bersama mendiang Deffi. Perempuan itu langsung meletakan dengan kasar sendok dan garpunya lalu menuju ke kamar.
"Astaga, bodoh! Lu bodoh banget sih, Tang," ujar Bintang ketika dia tersadar.
Bintang kemudian berlari mengikuti Tisya yang mulai berderai dengan air mata, laki-laki itu bisa mendengar isak tangis yang keluar dari bibir Tisya yang berjalan menunduk di depannya.
"Sya, Tisya, tunggu. Kita belum selesai mak---" kata yang keluar dari mulut Bintang terhenti saat pintu kamar mereka ditutup dengan kencang oleh Tisya.
Bintang langsung mencoba membuka pintunya, namun sangat disayangkan Tisya menguncinya dari dalam. Laki-laki itu mengetuk pintu berkali-kali, berharap segera dibuka.
"Sya, Tisya, bukain pintunya! Aku mau ngomong!" ucap Bintang seraya berteriak sedikit keras.
Tidak ada jawaban. Bintang masih terus mencoba mengetuk pintunya berkali-kali, tetapi masih sama. Tidak ada reaksi dari Tisya. Padahal, perempuan itu terduduk lesu pada balik pintu.
Bintang akhirnya memutuskan untuk kembali turun, berjalan menuju meja makan. Dia hanya duduk sambil menatap kosong ke arah makanan yang dia makan beberapa suap saja.
"Sesulit ini aku melupakan kamu, Def? Sesulit ini kamu masih belum bisa pergi dari ingatanku. Padahal, aku sekarang sudah mempunyai istri,
atas janjiku kepadamu sebelum kamu pergi. Aku belum bisa bahagia, Sayang. Karena kebahagiaanku sudah ikut terpendam bersama jasadmu," ucap Bintang seraya menatap ke depan, seakan Deffi sedang duduk di depannya.
Bintang mencoba menyentuh makanannya lagi, mengambil satu sendok nasi berikut lauknya yang sudah dia potong dalam porsi yang kecil. Kemudian memasukan ke mulut---mengunyahnya dengan kasar.
Melupakan seseorang yang sangat kita cinta itu susah, terlebih banyak suka duka yang telah terjalin berdua. Tetapi mengikhlaskan orang yang kita cinta itu semakin susah---tanpa ada kekuatan dari dalam diri.
Semua itu tergantung dengan yang melakukan. Apa mau berada dalam kubangan luka atau memilih bahagia walau bukan dengan seseorang yang dia cinta.
Bintang melirik ke arah luar dapur, tidak ada tanda-tanda Tisya yang kembali turun, sedangkan dia juga merasa bersalah pada perempuan itu.
"Maafkan aku, Sya. Maafkan aku, karena aku masih belum bisa mencintaimu," ucap Biru.
Selepas makanan habis, dengan tempo yang pelan. Bintang langsung menaruh piring-piring kotor di dalam wastafel, termasuk piring Tisya.
Laki-laki itu memutuskan untuk duduk di ruang televisi, sambil menunggu Tisya yang dia yakini akan turun lagi.
"Nonton film saja deh," ujar Bintang seraya mengetikan sesuatu di layar televisi.
Namun sayang, tidak ada film yang menarik bagi Bintang sekarang. Laki-laki itu memilih merebahkan diri sambil menunggu azan tiba. Sambil memutar musik luar yang menjadi kesukaan dia.
"Cinta itu memang lucu ya, ketika sudah serius ternyata dipisahkan oleh maut," gumam Bintang sambil menatap ke langit-langit rumah dengan kedua tangan sebagai bantal.
Lagu milik Alan Walker sudah mengalun merdu dan masuk ke dalam ruang dengar Bintang, laki-laki itu ikut bersenandung dengan lagu yang bertajuk Faded.

Book Comment (156)

  • avatar
    Rafa Kusnaedi

    Sangat bagus ceritanya saya suka banget

    2d

      0
  • avatar
    AdrianFatah

    Ceritanya sangat bagus!

    28d

      0
  • avatar
    PutriFadila

    crta ny sgt menarik

    15/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters