logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 10 Berbunga-bunga

Keterlaluan! Kak Aldin benar-benar marah, dan berubah sangat posesif. Tidak mau dibantah, tidak menerima alasan apa pun serta membentak sesuka hati. Dikira aku ini Nadea yang bisa diatur-atur kali, ya!
Beruntung tidak jauh dari mobil, Kak Arhan duduk di motor menungguku. Ah, laki-laki itu selalu mengerti apa yang kubutuhkan.
Segera kupasang ekspresi semenyedihkan mungkin, dengan harapan besar kakak baikku itu segera turun tangan membebaskan. Sayangnya, nggak peka. Kak Arhan justru berbincang sebentar dengan pelukis terkenal itu, seolah keadaan baik-baik saja. Habis sudah aku malam ini tanpa superhero penyelamat.
"Icha pulang sama kamu, nih, Din?" tanya Kak Arhan. Turun dari motor, membetulkan jaket hitam yang dipakai.
"Iya, pinjam adek kamu bentar, ya!"
Kak Arhan mengangguk, tersenyum simpul, bahkan. Dua sahabat baik itu kemudian tos, berpisah dan mengemudikan kendaraan masing-masing. Tanpa banyak bicara lagi, Kak Aldin mengantar aku pulang. Cowok emang gitu ya kalau sahabatan?
Pasrah, aku hanya bisa mengutuk dalam hati atas kesialan malam ini. Kenapa harus ketemu Kak Aldin? Kenapa dia selalu ikut campur urusanku dengan Revi, bukannya memperbaiki hubungan sama Nadea yang mungkin saja kurang baik. Dasar laki-laki sok paling bener!
Mobil meluncur membelah jalanan malam ibu kota. Tidak ada perbincangan di antara kami, hingga getar hape dari tas kecil yang kubawa memaksa untuk dilihat.
Telepon dari siapa, sih? Nambahin badmood aja! Semoga dari seseorang yang mau ngasih duit. 7 M dalam satu menit, misalnya.
"Halo," sapaku begitu tombol warna hijau logo telepon menyambungkan dengan seseorang di sebrang sana. Nomor WhatsApp tanpa nama.
"Icha, maksud Lo ngrayu pacar gue di pesta tadi apa? Tega banget Lo sama teman!"
Ternyata Revi yang menelpon. Pakai nomor baru, sudah gitu langsung ngamuk pula. Oke, waktunya bermain cantik. Aku harus terlihat tenang, santai dan elegan. Apalagi ada Kak Aldin di sini.
"Kenapa lo marah? Biasa aja kali, Vi, nggak perlu ngegas. Lagi pula, namanya pesta wajar dong kalau lirik orang, nyapa orang. Pacar Lo itu yang nggak bisa nahan diri terhipnotis sama gue," balasku santai. Kemudian tertawa.
"Keterlaluan! Awas Lo, Cha!" umpat Revi.
Aku tertawa mendengar ancaman Revi. "Gue yang nama baiknya Lo acak-acak di hadapan keluarga, biasa aja tu. Giliran tadi nggak sengaja, marah!"
Terdengar umpatan dari sebrang sana, Revi sepertinya kelewat kesal. Namun, isyarat tangan Kak Aldin membuatku menoleh, berhenti mendengar apa saja ocehan gadis agak laen itu. Kayaknya dia mau ikut campur lagi.
Entah apa maksudnya, Kak Aldin tiba-tiba menepikan mobil dan meminta hapeku. Segera dimatikan saat benda pipih itu sudah berada di tangannya.
"Kakak nggak mau kamu jadi pendendam!" tukasnya datar.
Aku hanya menghela napas berat, malas menanggapi semua ucapannya yang berubah posesif. Rasanya, aku menjadi Cinderella yang hidup sehari bersama ibu tiri. Begini tidak boleh, begitu salah. Serba salah.
°°°°
Kendaraan roda empat yang membawa aku dan Kak Aldin dari rumah Rena, akhirnya sampai di depan rumahku. Masih tanpa sepatah kata maupun ucapan terima kasih, aku bergegas turun. Setengah berlari menuju teras rumah, kemudian membuka pintu.
Rupanya Kak Aldin menyusul, dia menghalangi langkahku yang hendak masuk rumah.
"Tunggu, Kakak bawa masuk hadiah kamu dulu." Lembut diucapkan kalimat itu sambil menyentuh pundakku.
Aduh, kenapa aku bisa lupa tentang hadiah itu!
Aku mengangguk, malas tersenyum apalagi bicara. Berjalan mundur sedikit untuk menghindar, lantas memilih bersandar di tiang dekat bunga hias. Kak Aldin menghampiri aku yang masih berdiri tanpa memperdulikannya.
"Maafin Kakak, Cha. Maaf banget sudah membuat kamu marah," mohonnya saat kami berhadapan.
Sebenarnya dalam hati aku bersorak gembira karena laki-laki angkuh ini pada akhirnya mau meminta maaf secara langsung. Namun, demi menjaga harga diri, aku ya harus kuat memasang ekspresi kesal seperti di perjalanan pulang. Anggap saja belajar casting drama viral.
"Cha, maafin Kakak. Jangan diemin Kakak seperti ini," pintanya semakin mengiba.
Rasain kamu, Kak. Memangnya nggak frustasi apa sama sikap kamu selama ini!
"Ya sudah kalau nggak mau maafin Kakak," ucapnya setengah putus asa sambil mengacak rambut. "Hadiah kamu saya taruh di sofa.
Nggak usah ke mana-mana, Cha. Langsung istirahat aja."
Kak Aldin menyentuh kepalaku lembut, menatap mataku dalam dengan pandangan sulit diartikan. Haduh, begini caranya pasti luluh nggak jadi marah. Pantas, pacar Kak Aldin banyak. Seratus persen so sweet dia itu bikin melting.
Untung jantungku bukan benda bongkar pasang. Kalau iya, entah bagaimana nasibnya.
Aku mengangguk, memaksakan tersenyum sebagai formalitas ucapan terima kasih saja. Jatuh cinta? No! Kak Aldin bukan tipe aku.
"Nah, gitu. Kamu cantik kalau lagi senyum," ucap Kak Aldin sebelum tawa pelan.
Hah, gimana gimana? Nggak salah dengar, ya? Emang iya aku cantik?
Bagi orang yang berbunga-bunga hatinya, sedikit pujian akan terasa sangat indah, dan itu wajar. Tapi, kan, aku enggak. Jangan sampai juga aku jatuh cinta sama Kak Aldin, meski suasana sangat mendukung.
"Terus, Kakak mau pulang apa tetap di sini?" tanyaku tegas.
Kembali ke setelan awal, hati penuh dendam karena Kak Aldin terlalu banyak ikut campur. Aku tidak boleh menikmati sikap manis laki-laki ini, ogah cosplay jadi Nadea.
"Galak amat sama calon Kakak sendiri!" sungut Kak Aldin.
Iyalah!

Book Comment (665)

  • avatar
    ZᴇʀᴏKɪɴɢ

    nice app

    1d

      0
  • avatar
    RayraChrisyra

    lucuu bingitt

    2d

      0
  • avatar
    Lilis Liss

    baukk

    12d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters