logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

5. Sebelas Duabelas

"Beneran kamu ternyata," katanya kemudian, sementara sosoknya dengan tenang menggeser kursi di depanku untuk didudukinya.
Jungkir balik dengan keadaanku sekarang. Tanganku mendadak dingin, jantungku pun semakin naik frekuensi detaknya.
"Sendirian?" tanyanya. Aku merespon hanya dengan anggukan, membuatnya mengernyitkan kening, dan fokus menatapku dari kedua matanya yang bersorot sendu.
"Aku tadi disitu," katanya lagi dengan jemari menunjuk ke sebuah kursi yang berada tak jauh dari tempat kami. "Gak terlalu yakin kalo kamu sih, tapi ternyata beneran kamu," Lanjutnya.
Yang jelas aku malah gak tau kalo ada Barikli disitu. Dengan tatapan lurus tanpa menoleh kanan kiri, aku melangkah begitu saja menuju tempat tujuanku.
Kami dipertemukan disini, kebetulan atau memang takdir? Bolehkah aku menyerukan kesenangan, karena rindu yang kupendam akhirnya terkuakkan? Siapa yang mengira kalo kami akan dipertemukan disini, malam ini? Tepat, disaat aku gegana dan butuh sosok yang kurindukan datang.
"Kamu ngapain kesini?" Aku bersuara setelah daritadi hanya diam saja.
"Nungguin temen, tapi kayaknya mereka gak jadi datang," jawabnya dengan mata berkelana.
"Enak ya jadi cowok. Bisa nongkrong malam-malam," Salah satu hal yang ku sayangkan, mengapa gak sejak lahir, aku ditakdirkan sebagai cowok saja.
"Dari dulu aku pengen banget terlahir sebagai cowok," kataku lagi.
Cowok di depanku ini tersenyum. Mengambil kertas menu yang tadi kupekuri tapi belum kucentang menu mana yang akan kupilih.
"Kenapa? Jadi cowok tuh berat loh,"
katanya. Pulpen yang berada dibawah telapak tanganku, diambilnya, tanpa seizinku hingga jemarinya menyentuh jemariku.
Menciptakan desiran halus yang membuatku refleks menarik tanganku dan menyembunyikannya dalam pangkuan.
"Aku belum pesen Ki, kamu mau pesen apa? Sekalian biar aku yang ngasih ke sana," kataku untuk meredakan rasa grogiku.
"Oke. Kamu pesan apa, biar aku centang sekalian,"
Ada rasa janggal saat menyadari bahwa Barikli yang kukenal saat pelatihan dulu, berbeda dengan yang sekarang. Membuatku hanya bisa menerka, ada niat apa dibalik perubahan sikapnya. Aku sudah pernah bercerita, kalo selama tiga minggu pelatihan, interaksi diantara kami bisa dihitung jari. Dari itupun aku menyimpulkan bahwa dia adalah type orang yang gak banyak tingkah berbanding terbalik dengannya saat di dunia maya.
"Kamu beneran sendirian?" tanya Barikli saat aku kembali ke kursiku. Matanya berkeliling seperti mencari seseorang, lalu berhenti tepat di manik mataku.
"Sendiri kok," jawabku dan secepat kilat mengalihkan pandang.
"Udah biasa nongkrong sendirian?" tanyanya lagi.
Menggeleng pelan, aku menjawab, "Jarang. Ibuku gak semudah itu buat ngizinin aku pergi, apalagi malam-malam begini," Seharusnya aku gak sejauh ini bercerita. Seharusnya derita ini kupendam saja sendiri tanpa harus membaginya ke orang lain terutama pada Barikli.
Dengan mata bersorot sendu, dia merespon kalimatku, "Bagus. Emang seharusnya begitu.  Cewek gak baik kalo keluar malam malam,"
Aku menelisik manik matanya, lalu satu lengkungan senyum terukir, menampakkan sederet giginya yang putih. Satu hal yang menarik perhatianku saat senyumannya terkembang adalah dua gigi atasnya yang tertanam agak berjarak. Sedikit menggelitik batinku, membuatku tersenyum karena lucu.
Cowok ini mempesona dengan segala ciri khas miliknya. Lalu kusadari, bahwa segala kegundahan yang menjadi alasanku datang kemari, kini sudah pergi. Meninggalkan sebuah jawaban atas apa yang tadi kupertimbangkan, bahwa aku harus keluar dari zona nyaman.
"Kamu dulu SMP nya dimana?" Agak kaget mendapati pertanyaan itu keluar darinya. Gak pernah sekalipun pertanyaan itu menjadi bahan obrolan kami saat di dunia perchattingan. Menunjukkan bahwa dia ingin tau latar pendidikanku dulu.
"Darunnajah, Kelutan. Aku dulu mondok," Jawabku jujur.
Keningnya berkernyit, sepertinya jawabanku membuat dirinya melakukan itu. Entah apa yang difikirankannya saat ini, saat yang ada difikirankannya akan dilontarkan, bibir tipisnya seketika mengatup, gak jadi.
Kami terdiam sejenak ketika pelayan tiba-tiba datang mengantarkan pesanan kami.
"Dimananya?" tanyanya begitu pelayanan telah pergi.
"SMP nya. Mondoknya di pondok putri,"
"Ibuku dulu juga mondok disitu,"
Garpu berisi gulungan mi yang sudah berada di depan mulutku berhenti, menunggu bibirku untuk bersuara, sebelum akhirnya berhasil kukunyah setelah sebuah kalimat terucap, "Ibu kamu mondok juga? Ibuku dulu juga mondok disana,"
"Iya. Hafalan,"
"Hafalan?" ulangku. "Hafalan al Quran?"
Barikli mengangguk. Lagi lagi aku terkejut, bahkan bibirku pun ternganga, gak menyangka atas kalimat yang dilontarkannya.
"Jadi, ibu kamu hafidzah?" tanyaku. Belum hilang rasa keterkejutanku, bola mataku ikut membesar. Menanti dengan antusias kalimat selanjutnya yang keluar dari Barikli.
"Aku ngerokok boleh gak? Kamu gak terganggu kan?"
Bukan pertanyaan itu yang kumau. Cowok itu dengan santainya mengeluarkan satu barang rokok dari bungkusnya, menatapku seolah meminta izin. Mendengus lirih, aku hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Jadi ibu kamu beneran hafidzah?" ulangku.
"Iya." katanya, lalu asap rokok keluar diiringi dengan raut wajahnya yang menyiratkan kelegaan.
Sebenarnya, aku gak terlalu suka dengan perokok. Bukan, maksudnya asap rokoknya. Aroma asap tembakau bisa membuatku pusing kalo kebanyakan menghirup. Dan bahayanya, akan berakibat lebih buruk daripada yang merokok.
"Apa sih enaknya rokok,"
"Biasa sih. Cuma kalo gak merokok rasanya kurang afdhol,"
"Gak bisa berhenti? Kan mayan uangnya bisa buat masa depan,"
Barikli tersenyum, menyentikkan ujung rokok di asbak, dan menatapku.
"SMK mu dulu dimana?" Dia mengalihkan pembicaraan.
"1 pogalan,"
Dia manggut-manggut, dan kembali menghisap rokok yang terselip diantara kedua jemarinya.
"Aku dulu juga mondok. Cuma SMP ku di situ," katanya sambil mengarahkan jari telunjuknya ke samping.
Mengikuti arahan jemarinya, aku menatap tempat itu dengan bingung. Hanya ada tembok di penuhi dengan tanaman merambat.
"Dimana?" tanyaku menyerukan kebingunganku.
"SMP 6,"
"Terus mondoknya?"
"Ngares."
"Hah? Serius kamu mondok?" Aku sama sekali gak menduga kalo dia dulu pernah mondok juga sepertikui. Sama sekali gak terlihat dari penampilannya yang menunjukkan bahwa dulu pernah menjadi seorang santri. Tapi, menyadari kalo ibunya adalah seorang hafidzah aku menjadi sedikit yakin.
"Serius."
"Bahagia gak sih Ki, sama kehidupanmu saat ini?" tanyaku mendadak begitu karena teringat kalo kami terlahir dari keluarga yang gak jauh berbeda. Ibunya seorang hafidzah, tentu keluarganya adalah keluarga yang taat agama, seperti keluargaku. Merasa bahwa kehidupan kami sebelas duabelas ada kesamaan, aku ingin bertukar keluh kesah dengannya.
"Bahagia atau enggak, yang namanya hidup harus kita syukuri Sab,"
"Aku baru nemu teman kayak kamu. Yang sebelas dua belas dengan kehidupanku. Harusnya tau bagaimana rasanya hidup dalam keluarga yang penuh dengan aturan agama. Paham kan gimana maksudku?"
Dia mengangguk.
"Tapi kamu sedikit lebih beruntung, karena terlahir sebagai cowok. Ibu mu gak akan seprotektif itu sama kamu, saat kamu bilang mau pergi malam-malam," lanjutku.
"Emang gak enak terlahir dari keluarga kayak gini Sab, tapi kita harus bersyukur dengan kita kayak gini, berarti Allah mau kita menjadi taat sesuai aturan-Nya,"
Aku membenarkan dalam hati. Menjadi anak Bapak, nyatanya gak membuatku bahagia di dunia. Dan aku lupa, bahwa hidup di dunia gak selamanya, yang artinya akhirat adalah tujuan dari semuanya.
Kalo aku gak terlahir menjadi anak Bapak, sudah pasti aku akan bangga menunjukkan kakiku yang jenjang kesana kemari. Menggerai rambutku yang lurus karena rebondingan, kubiarkan berkibar terkena angin saat aku melaju dengan motorku.
Tentu aku dengan bangga memakai baju dengan bahu terbuka, saat banyak orang memujiku dengan kata cantik.
Nyatanya aku gak melakukan itu, karena Bapak mengajarkanku agama. Bahwa mengumbar aurat adalah dosa. Menutup aurat adalah kewajiban. Dan tujuannya hanya satu, sebagai amal baik di akhirat kelak. Harusnya aku bersyukur, bisa terhindar dari jalan masuk ke neraka, bukannya malah menyesal karena hidup dalam kurungan atas dasar aturan agama.
Menyadari bahkan bukan hanya aku saja yang hidup seperti itu, aku merasa kalo aku gak sendirian. Aku mempunyai teman. Dengan begitu aku bisa menerima dengan lapang atas takdir yang Allah berikan.
"Gak bisa bebas ini itu. Harus berkelakuan baik di mana-mana. Sekali berbuat salah, bukan kita saja yang malu, tapi orang tua yang menjadi bahan olokan tetangga."
ceritaku sambil menerawang. Aku mengehela nafas, mengakui kalo itu memang benar adanya.
"Benar banget kamu Sab,"
"Ngerti kan Ca, jangan neko-neko. Bapakmu itu panutan. Kalo kamu jelek, Bapakmu juga ikut jelek," kataku lagi menirukan perkataan Ibu yang pernah diucapkannya padaku dulu.
"Sekalipun kita berbuat jelek, pasti tetangga udah asyik nggibahin kita," sambung Barikli.
Aku manggut-manggut membenarkan.
"Aku gak bakal cerita kehidupanku yang kayak gini ke orang awam Ki. Kecuali mereka mau memahami kehidupanku yang berbeda dari mereka. Aku cerita, karena aku menganggap kalo kamu punya jalan kehidupan yang gak jauh berbeda dari aku,"
Meletakkan rokoknya di asbak, tangannya berganti mengangkat cangkir berisi kopi hitam yang tadi dia pesan. Meminumnya lalu berkata, "Aku gak nyangka kalo kehidupan kita sama Sab,"
"Kamu ikut pencak silat kan?" tanyaku mendadak teringat dengan foto profil Facebook miliknya. Dalam foto itu dia memakai seragam pencak silat berwarna hitam dengan sabuk putih. Pasti ada maksud dari warna sabuk itu, tapi yang jelas aku gak tau.
"Iya."
"Kok boleh? Aku pernah tanya sama Bapak, kalo orang ikut begituan, pasti besok matinya sulit," Itu yang kudengar dari para sesepuh. Orang yang punya aji-aji pasti matinya akan sulit, kecuali aji-aji itu dihilangkan dulu dari tubuhnya.
Bukannya menjawab, Barikli tertawa. Membuatku bingung dengan apa yang dia tertawakan.
"Serius. Kata bapakku begitu Ki. Orang ikut bela diri pasti punya ilmu yang bisa membuat dia sakti. Dan kesaktiannya itu bisa buat dia susah mati," jelasku lagi dengan menggebu.
"Aku cuma ikut Sab. Buat olahraga, buat jaga diri. Aku gak punya ilmu-ilmu itu kok,"
Masih gak Terima, aku kembali mengeluarkan argumenku, "Tapi kata Bapak, sekalipun orang itu gak ngaku kalo punya ilmu, bisa jadi orang itu dimasukin ilmu diam-diam dari gurunya,"
Barikli tertawa lagi. "Gak gitu juga konsepnya Sab."
Aku berdecak. "Gak terlalu faham juga sih Ki. Tapi kata bapakku begitu,"
"Pulang jam berapa?" tanyanya saat matanya melihat layar handphone miliknya.
"Allahu, sekarang jam berapa?" kataku gelagapan. Tadi aku sudah janji sama Ibu, kalo aku pulang jam delapan. Melihat layar handphone ku, dan ternyata jam menunjuk pukul setengah sepuluh, aku resah dalam hati. Apakabar dengan Ibu di rumah yang sekarang pasti menungguku dengan gundah di halaman rumah. Apakabar denganku yang sampai rumah nanti pasti diceramahi habis-habisan dan yang jelas aku sudah gak diperbolehkan keluar malam lagi.
"Aku pulang sekarang," kataku sambil menyambar tasku di meja.
"Sab,"
Begitu akan melangkahkan kakiku, Barikli kembali berseru. "Aku antar ya?"
"Gak usah. Gak usah. Bisa-bisa kita mendadak dinikahkan kalo Ibuku tau kamu ke rumah,"
"Kapan gini lagi?"
"Hah? Apanya yang kapan?" tanyaku gak tau karena otakku sudah gak bisa berfikir jernih, akibat resah yang merasuk dalam jiwa. Fikiranku melayang ke mana-mana. Bayangan Ibu yang menantiku dengan raut muka resah hadir memenuhi neuronku.
Barikli bangkit, menghampiriku. "Nongkrong lagi," katanya yang langsung membuat jantungku berdebar.
"InsyaAllah Ki. Nanti aku kabarin."
Satu tangannya terulur. Terdiam aku gak tau apa maksudnya. Seiring dengan jantungku yang berdebar semakin kencang, aku sadar, dan perlahan mengulurkan tanganku, untuk menerima jabatan tangannya.
"See you next time Ki," kataku, setelah menarik tanganku dengan cepat. Aku berlari, meninggalkannya dengan diiringi jantungku yang masih yang berdebar jumpalitan di dalam sana.
###
Aku sudah membuat keputusan kalo aku akan keluar dari zona nyaman, dan membuat zona tersendiri yang semoga nyaman juga.
Menerima tawaran training dari pekerjaan yang kemarin kulamar, kini aku sudah satu minggu disini, yang artinya hari ini juga, masa trainingku berakhir.
Berkali kali ucapan syukur kulafalkan, sebagai bentuk terimakasih atas doaku yang terkabulkan. Hal-hal yang kutakutkan sama sekali gak pernah terjadi padaku. Aku nyaman, dengan pekerjaan ini, meskipun masih belum terbiasa. Aku nyaman dengan para rekan kerja, mereka baik dan mau mengajariku.
Tersenyum lega bisa mendapatkan apa yang kumau, sekarang tugasku adalah istiqomah agar aku bisa menjalankan pekerjaan ini dengan tetap, iklhas dan sabar.
"Caca, minta uang," Todongnya begitu aku baru saja memarkirkan motorku di teras rumah. Hari ini aku pulang setengah jam menjelang adzan maghrib. Sedikit capek sebenarnya, tapi beginilah yang namanya kerja.
"Minta sama Ibu sana, aku gak punya, belum gajian,"
Bocah yang kini duduk di kelas lima sekolah dasar itu seketika merengut.
"Seribu aja. Dasar pelit," Cacinya.
"Aku emang beneran gak punya Sa. Coba minta ke Ibu,"
Irsa tetap merengut, lalu tangannya menengadah. "Kalo gitu pinjam HP,"
"Buat apa? Kamu masih kecil, gak boleh main HP," Larangku. Memutuskan untuk mengabaikan bocah ini aku masuk ke rumah, bahkan belum sempat kakiku menginjak pintu rumah, sebuah suara membuatku membalikkan badan.
"Assalamu'alaikum,"
"Waalaikumsalam,"
Irsa mendadak mendekatiku. Memegang erat ujung bajuku, lalu sederet kalimat terdengar, "Kamu mau dinikahkan Ca,"

Book Comment (854)

  • avatar
    Puspita SariAlisa

    cerita ini sangat ser

    10d

      0
  • avatar
    Ivan Vandex

    ok ok ok ok ok ok ok

    11/08

      0
  • avatar
    RhmdtyScy

    menurut ku ini bagus tapi lebih ke terlalu panjang karna susah untuk di ikuti

    31/07

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters