logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

4. Kenapa Disini?

Aku yang memang gak hobi masak, dan masuk jurusan boga karena terpaksa, akhirnya cuma bisa ongkang-ongkang di saat yang lain sedang sibuk-sibuknya. Menyerahkan panci dan wajan yang berada diatas kompor kepada emak-emak di sana.
Menebar pandang ke seluruh penjuru kelas yang isinya orang mondar-mandir membuatku mengantuk. Aku bisa saja ikutan berdiri di samping Mbak Rita, menemaninya yang sedang menggoreng Ayam Bumbu Rempah. Tapi, melihat Bu Anik selaku guru pembimbing gak ada di kursinya, membuatku ingin melancarkan aksiku untuk tidur sebentar saja.
Harusnya aku menikmati momen terakhir bersama mereka hari ini. Hari terakhir masa-masa pelatihan yang kuakui, aku gak rela kalo harus berakhir sampai disini.
Tapi mustahil. Seseorang mengatakan kalo setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Walaupun pahit, tapi ini bukan kopi, melainkan selembar dari berlembar-lembar cerita kehidupan. Skenario Tuhan yang manusia gak bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya.
Memulai aksi tidurku, kepalaku kutumpu di atas meja. Mulai memejamkan mata lalu kembali terbelalak karena melihat Barikli yang lewat di depanku. Rasa kantuk yang tadi menyerang, langsung menghilang. Aku menegakkan tubuh, membenahi dudukku, dan menatap dia yang juga sedang menatapku dengan wajah datar. Seketika jantungku berdebar, aku mengalihkan pandang, merasa salah tingkah, kuputuskan untuk menghampiri Mbak Rita yang tengah meniriskan ayam yang tadi digorengnya.
Mungkin efek dari salah tingkah yang mendadak, langkahku terburu, dan bawah sepatuku tersendat di lantai. Alhasil aku terjatuh, dan langsung menjadi perhatian emak-emak.
"Melamun apa gimana sih Ca? Gak ada batu juga, kok bisa jatuh," celetuk salah seorang emak disana.
Aku meringis getir, menepuk-nepuk lututku yang sedikit linu, sebelum akhirnya berdiri dan duduk kembali di kursiku.
Menahan malu, karena sepertinya Barikli hingga kini masih menatapku, aku membalikkan tubuhku membelakanginya.
Sepertinya rasaku ada untuknya. Bukan sembarang rasa. Bisa jadi aku benar-benar jatuh dalam pesonanya, atau hanya rasa kagum untuknya. Tapi sepertinya tidak. Sepertinya aku sudah jatuh cinta.
Dia adalah satu-satunya cowok dengan gaya chatting yang gak alay di antara cowok lain yang pernah kukenal lainnya. Termasuk juga mantan pacarku. Salah satu alasan kenapa sampai kini aku masih setia membalas setiap pesan yang dia kirim. Dia sama sekali gak membosankan. Gak membuatku bergidik karena bahasa yang alay, ataupun cara penulisan yang terlalu lebay, seperti 'cyang' padahal penulisan yang benar adalah 'siang'. Dia juga gak pernah menanyakan 'kamu lagi ngapain?' padahal jelas tau kalo aku sedang chattingan. Dia berbeda.
Aku tersenyum lega saat mengetahui dirinya jomblo menahun sepertiku. Kutau dari ceritanya kepadaku saat chatting waktu lalu. Kami akrab, tapi hanya di dunia maya. Di dunia nyata, kami layaknya orang asing yang baru kenal, yang obrolannya hanya sebatas tanya, jawab, tanya balik, jawab balik. Jarang, bahkan aku ingat hanya tiga kali kami saling melemparkan kalimat.
Entah ada apa. Aku yang ingin mengakrabkan diri di dunia nyata, selalu urung karena mendapat kondisi yang tidak pernah tepat. Disisi lain, aku canggung, karena gak terbiasa berinteraksi dengan cowok. Dan aku malu juga, kalo dilihat peserta satu kelas, yang nyatanya mereka biasa-biasa saja.
Barikli pun sepertinya juga gak akan melakukan hal yang sama.
Tapi, diluar itu semua, dia bisa membuat orang lain tertawa. Membuat gurauan lucu saat para peserta sedang mempraktekkan resep baru lalu mereka tertawa, termasuk aku.
Memandanginya dari jauh adalah hobiku. Melihat profilnya dari samping membuatku ingin menyentuh garis rahangnya yang tercipta kokoh. Dagunya yang belah dua, menciptakan pesona tersendiri. Aku sama sekali gak bosan saat mataku menelusuri sampai bagian itu, hingga menciptakan kehaluan dimana andai saja aku bisa menyentuhnya. Jambang halus belum nampak disana, menandakan kalo masa pubertas belum sepenuhnya merubah fisiknya.
Menyadari kalo itu hanya bisa kuangan-angan saja, alhasil aku membelai daguku sendiri yang untungnya gak beda jauh dari miliknya. Dari sini, otakku mulai menyimpulkan, kalo bisa saja kami berjodoh.
Masuk akal bukan? Hanya karena dagu kami yang sama-sama belah dua, aku sudah membuat kesimpulan kalo kami berjodoh.
Karena katanya, kalo jodoh itu mirip. Jodoh itu cerminan diri.
Pelatihan hari ini ditutup dengan acara makan bersama. Para peserta duduk melingkar sambil menikmati menu terakhir selama empat minggu pelatihan. Menikmati kebersamaan sebelum besok kembali ke rutinitas masing-masing.
Aku menghela nafas. Mengerucut kan bibir, tanda bersedih. Karena mulai besok aku akan kembali ke dunia pengangguran.
Gak ada usaha yang kulakukan selama mengikuti pelatihan. Karena fikirku aku akan fokus dulu dengan apa yang kulakukan sekarang, sementara untuk kedepannya itu urusan nanti. Akibatnya saat masa kedepannya mulai datang, aku gelagapan karena sama sekali belum ada yang kurencanakan.
"Ngedahuluin aja kamu Ca," tanggap Mbak Intan saat aku kembali ke posisiku setelah mengambil es buah dari meja prasmanan. Aku nyengir, "Kepedesan Mbak,"
Para staff kedinasan yang diundang untuk ikut makan-makan di acara perpisahan ini satu persatu pergi setelah perut mereka terisi. Tinggal beberapa guru pembimbing dari jurusan lain, dan juga para peserta di kelas ini.
Nggak punya malu, aku sudah menghabiskan sepiring nasi, delapan tusuk sate ayam, juga dua paha ayam goreng, ples semangkok es buah.
"Eh gais, lupa belum selfie. Selfie yuk," Ajak Mbak Intan tiba-tiba saat aku akan beranjak berdiri.
"Foto dulu Ca, mau kemana sih, " Protes Mbak Intan begitu melihat aku hendak pergi. Perutku kenyang sekali, rencanaku aku akan berselonjoran dulu di pojokan kelas sambil menanti yang lain selesai makan.
Aku meringis, nggak jadi pergi dan kembali duduk bersila. Ilham yang berada di sana mengayunkan kamera handphonenya, mengatur agar kami semua masuk ke frame, memberikan aba-aba untuk bergaya, dan satu jepretan berhasil di dapat. Juga jepretan lain, karena emak-emak nggak terima kalo hanya sekali.
Aku menilik Barikli dari ekor mataku. Gak sanggup jika harus menatapnya terang-terangan, sementara posisinya hanya terhalang satu orang dari tempatku. Cowok itu makan dengan lahap, sesekali merespon gurauan Bagus yang ada disebelahnya.
Kok bisa anak manusia bisa semempesona itu? Tatapan matanya yang sayu membuat dia berbeda dari cowok lain yang ada di kelas ini. Juga suaranya yang terdengar lembut, sangat langka untuk manusia berjenis kelamin laki-laki seperti dia.
"Mau lagi Ca?" Tino mendadak muncul di sebelahku, yang kusadari Andri yang tadi berada disampingku sudah lenyap entah kemana perginya. Dia mengulurkan semangkok es buah kepadaku, yang langsung kutolak dengan gelengan disertai raut mukaku yang kesal.
Entah mengapa aku semakin benci dengan perlakuan manisnya kepadaku. Jujur aku nggak suka, meskipun aku tau dia melakukan itu karena pada dasarnya dia suka cari perhatian.
"Ya ampun Ca, biasa aja mukanya. Kalo gak suka yaudah. Kasihan lo Tino nya," Ujar Mbak Wulan yang menangkap raut kekesalan tampak diwajahku gara-gara kehadirannya Tino.
"Aku kan gak bermaksud gitu Mbak," tuturku. Raut ini refleks muncul saat Tino hadir, respon kilat yang ditunjukkan wajahku saat aku nggak suka kepadanya. Tapi maksudku bukan seperti yang mereka tangkap dari mimik ketidaksukaanku.
Nggak enak karena bisa saja Tino tersinggung dengan perbuatanku, aku memutuskan untuk menghampirinya.
"Maaf Mas," kataku singkat. Dia mengernyit, mungkin bingung dengan perkataan maafku yang tiba-tiba. Nggak menunggu balasan darinya, aku berkata lagi, "Maaf untuk yang tadi," Setelah itu aku pergi.
###
Memgapa penyesalan selalu datang kemudian? Karena kalo awalan namanya pendaftaran. Gurauan yang gak lucu itu yang ku ingat saat Ratna menasehatiku setelah aku curhat masalahku dengannya.
Penyesalan, aku merasakan itu sekarang. Gak enak sekali, bahkan untuk melampiaskannya aku sering menangis tersedu di kamar mandi.
Seminggu setelah pelatihan berakhir, rasanya kenangan itu semakin tajam membekas. Semuanya yang ada di kelas itu, termasuk dia, Barikli.
Cowok itu hingga kini masih berbalas pesan denganku. Semakin membuatku menyesal mengapa nggak dari dulu aku memberanikan diri untuk lebih akrab dengannya. Kini, saat kami terbentang jarak, barulah aku merutuk dan ingin sekali bisa mengulang kembali masa masa itu.
Aku ingin bertanya, mengapa sampai sejauh ini dia masih setia chatting denganku. Ingin mendengar alasannya, siapa tau kalo alasannya adalah karena dia tertarik kepadaku. Kalo benar, maka aku sangat senang bukan kepalang. Perasaanku akan terbalas, dan tidak bertepuk sebelah tangan.
Cukup lama aku berfikir, menimang, rencana apa yang kubuat untuk hubungan kami. Aku gak ingin kehilangan sosok seperti dia yang menurutku sangat langka. Aku ingin memilikinya tapi aku gak mungkin membawanya dalam ikatan pernikahan. Yang jelas itu kejauhan.
Mengajaknya pacaran? Apa dia mau pacaran dengan seorang Caca yang sangat menyebalkan ini?
Dering handphone menyadarkanku. Bukan chat dari Barikli, tapi pesan dari nomor tak dikenal.
'Besok pagi masuk training ya Mbak. Jam 8 sampe jam 5,"
Yang jelas itu pesan dari pekerjaan yang kulamar tadi pagi. Aku harus senang karena mendapat kerja, apa harus bersedih karena harus meninggalkan zona nyaman?
Rencananya setelah mengikuti program pelatihan tata boga, aku akan melamar ke kafe-kafe, agar sesuai dengan skill yang kudapat. Tapi nyatanya, aku gak mendapat kabar kalo mereka menerimaku sebagai karyawan baru. Malah, konter pulsa yang kulamar tadi pagi yang langsung menyuruhku training besok pagi.
Aku perlu menguatkan tekat untuk mengambil pekerjaan yang sangat keluar dari kemampuanku. Memikirkan apa nantinya aku bakalan bisa bekerja dengan tenang disana, memikirkan, apa aku akan disambut dengan baik oleh para karyawan disana. Jangan sampai kejadian dulu terulang lagi, dan membuatku trauma dengan yang namanya bekerja.
Ya Allah. Kalo aku menolak, aku gak tau harus mencari kerja dimana lagi. Ujungnya aku akan menganggur dan tambah menjadi beban keluarga.
Merasa galau, aku memutuskan untuk pergi ke luar, mencari ketenangan di malam yang sedikit dingin ini.
Ibu pun dengan berat hati mengizinkanku keluar dari rumah malam-malam. Sepertinya Ibu tau kalo anak gadisnya sedang dirundung gegana yang mengharuskan untuk memenangkan diri dengan keluar di malam hari.
"Jangan pulang malam-malam," Pesan Ibu saat aku mulai memutar gas motor matic milikku.
"Jam delapan, paling telat setengah sembilan," Ujarku.
"Anak cewek gak pantas keluar malam-malam begini,"
Aku tau apa yang akan diucapkan Ibu selanjutnya. Sebelum perkataaannya semakin panjang, dan fikirannya belum berubah, aku segera pergi, setelah mengucap salam.
Ibu adalah wanita satu-satunya yang ku miliki, dengan sifat paling protektif. Beliau akan mencariku kalo aku belum berada di rumah saat waktunya ada di rumah.
Saat aku masih sekolah, Ibu paling repot mengirimiku sms menanyakan aku dimana saat waktunya pulang sekolah tapi aku belum tiba di rumah.
Beliau juga rela menungguku di pinggir jalan menuju rumah, saat aku pulang larut malam waktu masih psg dulu. Segitunya aku dijaga olehnya.
"Mbk, kertas pesanannya mohon dibawa," Pelayan cafe langsung menyambutku saat aku masuk di sebuah cafe paling dekat dari rumah, tentunya juga dekat dari alun-alun kota.
Aku langsung meraih kertas yang diulurkan seorang pelayan cowok, dan mencari tempat duduk ternyaman, yaitu di tempat paling pojok cafe.
Aku sudah lumayan sering kesini. Karena cafe ini yang paling dekat dari rumahku.
Rumahku tak jauh dari pusat kota. Salah satu keberuntungan, karena aku bisa dengan cepat menuju ke pusat kota, tanpa harus naik turun gunung seperti daerah pelosok lainnya. Mereka yang terlahir bebas tanpa banyak aturan, dan gak sepertiku pasti sangat bahagia karena bisa setiap sore bersepeda mengelilingi alun-alun kota. Mencari santapan mata yang dapat ditemuinya di lapangan dalam alun-alun. Tentu banyak cowok ganteng di dalam sana, yang dengan keren menggiring bola untuk dimasukkan ke ring basket.
Gak berlaku untukku, yang hidup dengan penuh kekangan seperti ini.
"Kalo gak penting, gak usah keluar. Apalagi malam-malam,"
Itu amanat dari Bapak, setiap kali aku ketauan pergi di malam hari. Setelah itu aku akan merengut, kesal dan membanting pintu kamar dengan keras, bukti bahwa aku benar benar kesal. Agendaku keluar malam pun gagal.
Sebab itu, kalo aku terpaksa keluar malam, aku memilih untuk keluar saat waktu sholat maghrib di masjid baru saja selesai. Dimana Bapak belum ada di rumah, dan masih dzikiran di masjid. Bapak gak akan melihatku dan aku bisa lolos.
"Sabrina,"
Panggilan itu membuatku mendongak dari keterpakuanku pada selembar kertas berisi menu. Mataku terbelalak melihat siapa sosok yang kini ada di depanku, diiringi detak jantungku yang mulai naik.
Dia kenapa ada disini?

Book Comment (854)

  • avatar
    Puspita SariAlisa

    cerita ini sangat ser

    10d

      0
  • avatar
    Ivan Vandex

    ok ok ok ok ok ok ok

    11/08

      0
  • avatar
    RhmdtyScy

    menurut ku ini bagus tapi lebih ke terlalu panjang karna susah untuk di ikuti

    31/07

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters