logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Narasi 07

"Den, gue udah bilang deh perasaan. Ini kantor bukan punya bapak lo," Dzaki berbicara dengan nada bersungut melihat kawannya lagi-lagi menggunakan kaos saat bekerja.
"Entar gue pake kemeja lagi, Jek. Cuaca panas banget, mumpung bos gak di meja."
Dzaki duduk di kursi depannya, terhalang satu meja besar diantara dia dan Raden. "Yeuu, suruh siapa lo kerja di outdoor gini. Anak kecil juga tau cuaca panas diluar gini. Heran."
Raden melirik pada Dzaki yang sudah memegang satu barang rokok di sela jarinya yang ia ambil di kotak rokoknya. "Basi, lo kesini mau ngrokok juga sok-sokan bijak."
"Dih, pasangan homo gue baperan ah gak asik."
"Najis, YaTuhan, Jek."
Dzaki tertawa lebar, "Masih gak bisa diajak bercanda lo."
Raden diam saja tak menjawab kelakar kawannya, menurutnya itu sama sekali tidak lucu. "Ngomong-ngomong proyek ya-,"
"Gak usah bahas kerjaan, gue disini mau istirahatin kepala."
"Liat jam lo, masih jam kerja," jawab Raden gak selow, tapi pada akhirnya ia ikut mengambil satu batang rokok dan duduk di depannya.
Dzaki melirik ke arah Raden, ia mencibir pelan karena pada akhirnya memilih duduk santai dengannya.
Cuaca sudah tak seterik tadi untuk duduk manis di outdoor, lagipula disini tak benar-benar panas karena ada atap untuk menghalangi sinar langsung menebus kulit. Dzaki memilih mengambil handphonenya dan memutar lagu acak di spotify.
Iya, Raden tidak terlalu menyukai musik, ia hanya mendengarkan ketika ia mau namun karena teman sekampus, sekelas, sekos, dan –naasnya teman kerjanya juga, sangat menyukai musik hingga ia terbiasa dengan musik.
"Gimana hubungan lo sama Diandra?" tanya Raden memecah keheningan.
Dzaki menengok pada asal suara, salah satu alisnya menukik. "Gak salah lo nanya?"
Raden berdecak.
"Hahaha, gue sama Diandra biasa aja. Dia masih sibuk sama studinya dan gue masih sibuk cari duit."
"Lama gue gak ketemu dia."
Kebiasaan Raden memang kalo jawab suka gak nyambung.
"Terus apa kaitannya sama hubungan gue sama lo gak pernah ketemu Diandra?"
Raden melihat Dzaki, "emang harus ada kaitannya? gue penasaran aja sama dia sekarang kaya apa."
"Dia masih manis dan cantik."
"Itu kata lo," sarkas Raden.
"Terus kalo Kalya apa?"
Raden menyipitkan mata menatap kedua mata Dzaki, "dia cantik, lo tau. Dia cerdas, lo tau."
Dzaki berdecak, "Tai."
"Lagian ngapain sih nanya-nanya."
"Gak tertarik lo sama dia?"
Raden melirik mata Dzaki, meletakkan puntung rokoknya di pinggiran asbak, "Jek, kalo gue gak suka sama dia, ah, maksud gue gak tertarik sama dia gue ga akan ngajak dia ketemu."
"Gue udah bilang seringkali ya, Den, jangan jadikan cewek sebagai tolak ukur pencapaian hidup lo. Mereka bukan objek."
Raden diam saja tak membalas, ia mengambil rokok yang baru saja ia taruh. Raden terkadang tak suka dengan Dzaki, berbicara tidak jelas dan tak tentu arah membuatnya memikirkan apa yang harus tak ia pikirkan.
Raden menatap langit, matanya mengamati pergerakan lambat awan yang tertiup pelan. Ia jadi teringat saat ia berkencan dengan wanita yang sesuai dengan keinginan ayahnya. Wanita dengan IPK mendekati angka empat, memiliki latar belakang yang bagus, dan wajah yang tidak bisa dikatakan jelek di segala lapisan masyarakat.
"Lo inget gak pas gencer banget deketin cewe tajir si siapa namanya ya, si Pin siapa ya... lupa gue."
"Pinakesti," jawab Raden membenarkan, "Ya kali gue lupa dia, Jek."
"Nah, lo udah dapetin si Pina tapi ujung-ujungnya lo buang karena bokap lo gak suka cara dia pake baju."
Raden mengingat semua kejadian yang berhubungan dengan ayahnya. Raden mengingat setiap ayahnya menuntut untuk selalu jadi pusat perhatian, menjadi pemenang, dan menjadi satu-satunya.
Raden mengingat saat ayahnya mengatakan hal buruk padanya saat mendapatkan rangking 20 besar. Raden mengingat saat ayahnya menyuruhnya mendapatkan medali di turnamen Pencak Silat se-Kabupaten. Raden juga mengingat saat ayahnya mencela cinta pertamanya karena memiliki kepintaran rata-rata.
"Tapi yang udah berlalu yaudah. Gue juga ngapain dah ngungkit."
Raden menatap sinis, "lah elo dasar, gak jelas."
"Dikurangi itu mata sinisnya, pengen gue cium muka lo."
"Ya Tuhan, najis, Jek! Yang bener itu bacot kalo ngomong."
Dzaki hanya tertawa dan Raden hanya mendengus melihat tingkah laku kawannya yang ngeselin. Dari zaman megalitikum si Raden memang susah diajak bercanda, liat muka dia senyum pas rampung garap proyek sama liat muka Okta doang.
"Eh, gue tau kabar baru tentang Kalya."
Kedua mata Raden teralih sepenuhnya pada Dzaki, "ternyata si Kalya tu-,"
"Guys, kabar gembira. Terutama buat lo, Jek!" Okta datang dengan nafas tersengal, kegiatan Raden dan Dzaki terhenti.
"Take a breath, girl."
Okta mengangkat satu tangannya, "hah... hah... sorry, gue terlalu excited." kemudian satu senyuman lebar menghias wajah cantiknya. "Duta bakal pake jasa Farmasi kita buat dekor kamar anak sulungnya dan si bos lagi cari kandidat buat handle projek ini. Dan Jek gue rekomendasiin lo buat handle this project. I know really you love band music, include Sheila On7."
Senyum lebar Dzaki terukir, ia berdiri dari duduknya dan berlari memeluk Okta. "Okta, Ya Tuhan gue sayang sama lo." Okta juga membalas pelukan singkat Dzaki. Beruntung tinggi badan mereka tidak jauh berbeda, jadi tidak ada sesi pelukannya diangkat oleh Dzaki.
Dzaki melepas pelukannya, "gue ke bos dulu deh, mau negosiasi. Bos udah balik kan?"
Okta mengangguk sebagai jawaban, "buruan ya keburu dia pergi lagi." Dzaki mengiyakan lalu pergi meninggalkan Raden dan Okta disana.
Okta mengamati Raden, "kok lo gak excited gitu sih, Den?"
Kedua mata Raden menatap Okta dengan balutan setelan kerja, Raden tersenyum, "of course, I'm very excited about this news."
"Your face doesn't seem to say that," jawab Okta diikuti gestur kedua tangannya.
"Am I? I'm happy too, baby, like you too." Raden mendekat pada Okta lebih dekat, "but I interesting to take this chance," ujar Raden dengan nada berbisik namun Okta dapat mendengarnya dengan jelas.
Okta mendekat dan memukul pundak Raden, "don't dare to do that!! It's time to Jek took this opportunity."
"Okay, okay," jawabnya sembari memasukkan kedua tangannya dalam saku.
Suara telepon menginterupsi obrolan keduanya, handphone Raden berbunyi diatas meja. Raden mengulurkan tangan mengambil handphonenya. "Iya, halo."
"Halo, Mas, maaf ganggu." Kedua alis Raden mengernyit, melihat layar handphonenya. Nama Kalya Haru tertera di layarnya, namun itu bukan suaranya.
"Siapa, Den?" tanya Okta melihat perubahan raut wajah Raden. Raden hanya melirik dan berkata tunggu lalu menjauh dari Okta.
"Ini hape temen saya, kenapa ada suara mbak ya?"
"Ah, maaf, mas. Saya pembantu di rumah mbak Kalya. Mbak Kalya sakit dari tadi pagi, mau saya bawa ke dokter tapi saya bukan orang sini."
"Lah, orangtua dia dimana? Kenapa telfon ke saya?"
"Orangtua mbak Kalya lagi gak di rumah, Mas. Bapak lagi di luar kota, Ibu ada dinas luar kota."
Raden menghela nafas.
"Saya telfon mas ada di chat teratas. Kalo masnya gak bisa antar mbak Kalya ke dokter, gakpapa."
Raden terdiam sejenak, chatnya teratas? Terakhir ia chat dengan Kalya tiga hari lalu, Kalya pamit akan ke Yogyakarta karena ada pekerjaan disana.
"Saya kesana satu jam lagi, saya belum pulang kerja."
"Iya, mas, gakpapa."
"Share location aja."
"O-oke, Mas, tapi... saya gak tau cara share location. Hehe."
Raden meraup nafas banyak-banyak. "Yauda kasih alamat setau kamu aja." dan Raden memutuskan sambungan teleponnya.
Selesai menerima panggilan, Raden kembali dan Okta sudah tidak ada disana. Raden berdecak. Ia memilih menggunakan kemejanya dan merapikan meja.
"Mau kemana lo?"
"Gue mau balik duluan."
"Kesambet setan apa lo?"
Raden tak menjawab dan memilih meninggalkan Dzaki disana.
.baekharuu.
"Alhamdulillah, udah dateng, Mas. Itu badan mbak Kalya makin panas padahal udah minum paracetamol," ujar wanita kepala dua pada Raden yang suda berada di ambang pintu.
"Kalya dimana sekarang?"
Hasna, pembantu Kalya menunjukkan kamar Kalya Haru. "Masuk aja, Mas, saya ambilkan jaketnya."
Raden segera masuk ke dalam kamarnya, seperti kamar wanita pada umumnya di dominasi warna terang, merah muda dan hijau. Kamarnya berisi tempat tidur tipe single bed, satu meja rias, satu lemari besar, cermin ukuran orang dewasa, dan ada satu meja yang menarik perhatian Raden. Sebuah meja besar yang penuh dengan alat tulis, ada dua kalender –kalender duduk dan kalender dinding, satu komputer, mereka semua tertata rapi meski catatan tertempel disana sini.
"Lo kuat berdiri gak?"
Kalya sayup-sayup mendengar suara Raden, mengedipkan mata. Ia menggunakan baby doll panjang, rambut berantakan, dan Kalya yakin mukanya sangat jelek. Alih-alih melebarkan mata, Kalya memilih memejamkan matanya lagi karena ia yakin sedang berhalusinasi.
Raden menyetuh tangan Kalya beberapa kali guna membangunkannya, "Kalya, badan lo panas banget, Ya Tuhan. Kita ke dokter sekarang." Raden mengulurkan tangannya menyentuh jidatnya.
Hasna kembali membawa jaket tebal dan sandal rumahan. Ia mendekati Kalya, "Mbak, pake jaket dulu ya biar gak dingin." Hasna membantu Kalya berdiri dan memakaikan jaketnya. Raden mundur dua langkah dan mengamati kegiatan keduanya.
"Papah udah pulang ya, Has?"
"Ya belum, Mbak."
"Lah, siapa dah yang nganterin gue?"
Hasna menunjukkan eksistensi Raden melalui gerakan isyarat dagunya. Kalya melirik arah yang ditunjukkan Hasna, menajamkan matanya dan siluet Raden makin nyata.
"OH GOD, HE'S HERE! WHY YOU DIDN'T TALK TO ME, HASNA!!"
"Mbak, ngomong opo seh? Aku ndak paham."
Kalya berbalik badan mengabaikan kepalanya yang minta ribut, membetulkan tatanan rambutnya menggunakan jari tangannya. Oh GOD, bahkan ia tak menggunakan skin care atau make up apapun dari semalam.
"Udah deh, Ya, gak usah mikirin penampilan sekarang yang penting kesehatan lo. Gue nunggu di mobil." Raden berbalik keluar dari kamar Kalya menuju mobilnya.
"Has, gue udah cantik belum?" tanya Kalya saat Raden benar-benar sudah keluar.
"Ha? Pucet buanget, mbak."
Kalya bercermin memang wajahnya pucat sekali. "Yauda, gue sikat gigi dulu," ucap Kalya pasrah dengan keadaan.
.baekharuu.
"Inget kata dokter jangan terlalu capek. Gue paham lo sibuk tapi bukan berarti lo gak ada waktu buat makan." Raden melirik Kalya yang duduk di sebelahnya, ia tengah memandangi jendela. "Kasian cacing lo mati di lambung karna lo gak pernah kasih makan."
"Pala gue pusing."
Raden menggumam dan membiarkan Kalya memejamkan matanya.
Lima belas menit perjalanan. Raden sudah berada di rumah Kalya, rumah Kalya memang tergolong hunian kelas atas namun sangat disayangkan tidak ada siapapun disana. Berbanding terbalik dengan rumahnya yang selalu ramai.
"Ya, ayok bangun udah sampe rumah nih," ujar Raden guna membangunkan Kalya. Kalya mengedipkan matanya.
Raden keluar dari mobil dan berpindah di sisi mobil tempat Kalya duduk, ia membukakan pintu mobil. "Bisa jalan kan lo?"
Kalya yang masih kesal dengan perkataan Raden tadi menjawab dengan nada lirih, "gue gak cacat." Kalya keluar dari mobil, berjalan menuju pintu masuk namun belum sampai pintu masuk badannya sudah ambruk.
Raden berdecak, beruntung ia tepat persis di belakangnya. "Ratu drama banget emang lo."
Raden menjujung badannya ke dalam kamarnya. Berhubung kamar Kalya ada di lantai dua dan sangat tidak memungkinkan dirinya untuk menginjakkan kedua kakinya hingga lantai dua.
Jadi, Raden memutuskan untuk meletakkan Kalya di sofa ruang tamu, "Has, Has." ia ingat bagaimana Kalya memanggil wanita yang membukakan pintunya.
Hasna keluar dari salah satu pintu dengan tergesa-gesa, "Iya, Mas, Mbak Kalya gimana?"
"Pingsan dia."
"WEALAH, Mbak Kalya malah pingsan. Saya ambil minyak kayu putih dulu." Hasna memandang Raden, "Mas, kalo bisa pindahin kamar sebelah sana." Hasna menunjukkan salah satu dua pintu di sebelah utara, Raden mengangguk menurut.
Raden mendekati Kalya, meletakkan tangan kanannya di tengkuk dan tangan kirinya di bawah lutut. Raden sempat terkejut, suhu badan Kalya lebih tinggi dari sebelumnya. Dengan tergesa-gesa ia membawa Kalya ke kamar yang ditunjukkan Hasna.
Rampung meletakkan Kalya, Hasna memasuki kamar dengan membawa minyak kayu putih. Dengan telaten Hasna mengoleskannya di bagian leher, perut, dan telapak kaki. "Mas, tolong deketin di bagian hidungnya sambil urut kepalanya pelan." Raden menurut lalu Hasna sibuk menaruh bantal di telapak kakinya.
"Lo udah biasa ngadepin orang pingsan atau gimana?" Raden tak habis pikir pada Hasna yang sangat cekatan mengurus orang pingsan.
"Mbak Kalya langganan pingsan, Mas, saya kerja disini belum ada sebulan baru tiga minggu tapi Mbak Kalya udah pingsan sampe empat kali. Pertama saya bingung terus dibilang Ibuk suruh jangan panik dan perhatiin beliau saja."
"Dia punya riwayat penyakit?"
Hasna mengangkat kedua bahunya, "gak tau, Mas, yang jelas kalo Mbak Kalya kecapean ya gini. Dua minggu lalu Mbak Kalya juga masuk rumah sakit, di opname, cuma sehari terus keluar."
Raden mengerutkan dahi. "Lah gue kok gak dikasih tau," ucapnya pelan pada dirinya sendiri.
"Saya ambil air dingin dulu ya, Mas, bentar lagi Mbak Kalya juga bangun."
Raden memandangi wajahnya, pucat, dan tidak ada semangat. Raden mengamati Kalya, ia merasa ada yang janggal. Lama berpikir ia baru menyadari rambut Kalya sudah berubah menjadi cokelat. Raden tersenyum masam, sangat menyayangkan rambutnya yang sudah berubah.
Hasna datang membawa air es dalam wadah serta handuk kecil di dalamnya. "Mas, kalo mau pulang gak papa, biar saya aja yang urus Mbak Kalya."
"...."
"Maaf ya, Mas, telfon masnya saya gak tau harus telfon siapa lagi, saya panik." Hasna berbicara lagi sembari mengompres wajah Kalya, "Saya udah telfon ibuk, katanya Mbak Kalya dua hari juga sembuh."
"...."
"Ibuk sering cerita tentang Mbak Kalya, Mas. Saya pertama kenal Mbak Kalya juga kaget, keliatan tegar diluar aja," sambung Hasna, "Eh eh, Mas ini bukan pelanggannya Mbak Kalya kan? Mas temen deketnya atau bukan? Duh, saya lupa gak tanya sebelumnya."
"Wajar kok, lagi panik. Panggil Raden aja, calonnya Kalya."
Hasna melirik Raden lalu menutup mulut, "Gusti Agung, ternyata ini Mas Raden yang diceritain Ibuk."
Raden mengangkat salah satu alisnya.
"Pantes kok mau dateng kesini, kata Ibuk temen yang bener-bener deket sama Mbak Kalya sejak kejadian itu gak banyak."
"Kamu kaya udah tau semuanya."
Hasna tertawa, "Gimana gak tau, Mas, tiap detik Bu Helmi cerita tentang Mbak Kalya terus kalo di rumah. Eh, tapi saya serius kalo Mas mau pulang gakpapa biar Mbak Kalya saya yang jagain."
Raden menggeleng, "gue balik entar aja. Mending siapin makanan buat dia aja."
Hasna menurut, ia memilih keluar dari kamar memberi mereka berdua privasi dan membuatkan makanan untuk Kalya.
"Hasna bacot banget," ujar Kalya dengan suara lemah.
Raden tersenyum kecil banget, "kepala lo gimana? masih pusing?" tanya Raden dengan nada sarat akan rasa khawatir. "Muka lo pucet banget, gak makan dari kapan taun sih lo?"
Kalya melirik, "gue kecapean aja, Mas, badan gue remuk rasanya."
"Ngapain sih lo di Jogja?"
"Mainan cangklok."
Raden berdecak. "Kalo udah baikan, mendingan gue balik aja."
"Dih, Abang ngambek. Gue ngurus proyek event kok, satu sebelum emang udah gak sehat jadi gak heran sekarang drop."
Raden memutar bola mata, sebal mendengar pernyataan Kalya. Dimana ia sudah tahu akan ambruk karena kesehatan yang menurun tapi tetap datang ke Jogja.
Raden tak menjawab pernyataan Kalya, ia sibuk mengambil alih tugas mengompres kepala Kalya.
Kalya ikut membisu, ia memejamkan mata karena kepalanya yang sukar diajak kompromi.
"Gue mau ke toilet bentar," ujar Raden yang dijawab gumaman dari Kalya.
Raden berjalan keluar kamar, melewati ruang tengah. Terdapat televisi berukuran besar, satu lukisan besar tepat di belakang televisi, dan satu yang menarik perhatian Raden. Kumpulan foto dalam figura kecil tertata rapi di dalam lemari kaca tak jauh dari televisi.
Raden mendekat, mengamati setiap foto. Sebagian besar foto Kalya bersama ayah ibunya yang tengah berlibur di luar negeri.
Satu gambar mengambil atensi Raden, ia melihat ada anak batita laki-laki di sebelah Kalya. Mereka berdua tersenyum di depan kamera dengan lebar. Dan di ujung bawah sebelah kanan gambar ada tulisan kecil bertuliskan tempat dan tanggal, Singapore, 22th Desember 2014.
Raden berdiri tegak, berpikir. Apa dia keponakan Kalya atau sepupu atau adik? Setahu Raden, Kalya tidak memiliki saudara kandung.
Raden mengamati kembali gambar tersebut. Mereka berdua mirip, mata dan bibirnya.
Raden menggedik kedua bahunya mencoba tak peduli, lalu meninggalkan gambar di dalam lemari tersebut. 

Book Comment (3)

  • avatar
    KeysaAmalia

    sangat baguss

    16/02/2022

      0
  • avatar
    Ferry Septiardy

    mantul

    25/01/2022

      0
  • avatar
    Setiawan

    bagus sekali

    25/01/2022

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters