logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Narasi 06


Hari ini adalah hari tersibuk di bulan Oktober karena bulan depan, bulan November atau bulan Rajab yang Kalya tahu ini adalah bulan yang menurut tanggalan jawa cocok untuk menikah. Bulan ini tercatat ada tujuh acara pernikahan yang menggunakan jasa WO-nya.
Kalya sudah bolak balik kesana kemari mengurus dua klien. Biasanya Kalya tidak sampai turun lapangan –ia hanya mengawasi, namun karena pengguna jasanya membludak ia jadi mau tak mau harus ikut berpartisipasi.
Kalya menghembuskan nafas lega karena kelar mengurusi satu klien –yang sialnya cerewet tujuh turunan karena masalah baju pengantin. Calon pengantin, Nurmalitasari yang biasa dipanggil Lita, sedang hamil lima bulan, ia meminta desain gaun khusus agar nyaman digunakan saat hari pernikahan.
Kalya mengorbankan seluruh tenaga untuk memenuhi keinginan Lita, mencari gaun yang longgar bagian perut di tiga butik kenalannya. Beruntung, Lita dapat gaun yang cocok sebelum sore. God bless. Tinggal rapat mengurus satu event yang diadakan di area lokasi pariwisata dekat kaki Gunung Slemet. Kalya sungguh merutuki si owner event, banyak tempat yang nyaman kenapa memilih tempat diskusi jauh dari kota.
Sekarang Kalya tengah melajukan mobilnya ke Rumah Makan Omah Kayu, butuh waktu tiga puluh menit. Kurang dari dua kilometer ia sudah sampai, namun ditengah perjalanan Kalya merasa ada yang aneh dengan mobinya.
Kalya menilik speedometer bahan bakarnya, "Bensin masih full kok," dan detik limapuluh kecepatan mobil melemah meski ia sudah menginjak gas. Dengan gerakan reflek Kalya meminggirkan mobilnya di tepi jalan.
Kalya menghembuskan nafas kesal, ia mencoba menyalakan mesinnya lalu menginjak pedal gas dan mobilnya hanya maju beberapa centimeter saja.
Kalya melihat sekeliling jalan, sekitar lima belas menit ia sudah sampai tujuannya tapi apa yang bisa ia buat, meninggalkan mobilnya dan memilih menaiki Grab atau Gojek sangat mengambil resiko.
Kalya keluar dari mobil sembari berpikir siapa orang yang bisa dihubungi dalam keadaan darurat seperti ini. Menelfon Papahnya dan menunggu montir langganan datang akan memakan waktu. Kalya mendesah, sebal dengan situasi seperti ini.
"Ada yang rusak, Mbak?" tak lama ada seorang lelaki yang datang padanya dan ada satu orang lelaki di belakangnya.
Kalya tersenyum canggung, "ah nggak kok, saya lagi nunggu suami saya."
"Oh, mau aku anterin ke bengkel gak?" tawarnya dengan nada sok ramah. Sorry, bukan berprasangka buruk tetapi di situasi seperti ini bertemu dengan orang baru lalu menerima tawarannya bukan ide yang baik.
Kalya menggeleng, "Makasih, Mas, gak usah suami saya lagi ke sini kok." Kalya mengangkat tangan kanannya untuk menyisir rambutnya dan memperlihatkan cicin di jari manisnya.
Si lelaki tersenyum masam dan tanpa berkata lagi, ia pergi meninggalkan Kalya.
Kalya menghembuskan nafas lega. Tidak sia-sia menggunakan trik murahan yang diajarkan Intan saat dipepet cowok kardus.
Namun, layaknya pepatah gugur satu tumbuh seribu, tetap saja Kalya di cuat cuit oleh orang-orang yang tak bertanggungjawab karena warna rambutnya yang terang dan ia menggunakan blouse pendek berwarna hitam.
Kalya menutup matanya, mengatur nafas. Dikira Kalya objek sejenis burung kakak tua apa disiul sampe mampus.
Kalya tidak habis pikir dengan lelaki yang daritadi usil padanya. Ia menggunakan baju sewajarnya dan tidak terbuka bahkan ia tidak menggunakan celana pendek atau rok pendek.
Cat calling masih saja berlaku di era modern seperti saat ini.
Kalya memilih memasuki mobilnya dan menelfon Intan.
"Halo,Tan."
"Apaan? Gue gak bisa jemput lo, lagi sama Osby."
Kalya berdecak sebal, "gue gak minta jemput. Mobil gue mogok di Jalan Panjaitan depan cucian mobil."
"Kok bisa mogok? Bensin abis kali."
"Enggak, bensin gue masih setengah kok, tadi tuh tiba-tiba gas mobil gue gak berfungsi."
"Oh, gak pernah di servis itu mah."
"Ha? Iya kali ya, terakhir servis tiga empat bulan lalu. Eh, apa setengah tahun ya. Tau deh bodo amat, ini gue gimana?"
"Yaaa jelas balik lah terus telfon kang bengkel langganan lo su-," jawaban Intan terinterupsi oleh suara suaminya, "Gimana, Yang?" kemudian sayup-sayup Kalya mendengar suara Osby. "Oh, Kalya mogok di Jalan Panjaitan, Yang."
Keduanya, Osby dan Intan berbicara entah apa ia tak dengar hingga suara Intan dengan lantang memenuhi gendang telinganya lagi. "Nih, suami gue mau ngomong."
"Halo, Ya," suara Intan berganti dengan suara berat khas Kelvindha Osby.
"Gimana, By?"
"Tempat mobil lo mogok deket rumah si Raden. Tinggal lurus dikit ada perumahan kiri jalan."
"Lah, emang kenapa dah? "
"Bego dipiara gak bakal jadi anak. Gue tebak deh, sekarang disana lagi mendung banget."
"Kok tau sih lo!? Iya ini mendung banget, udah gitu gue di cuat cuit mulu sama gondes."
Osby tertawa, "I think you don't have choice, Kalya. Udah biasa daerah lereng sore bakal ujan, jadi anggap aja ini bonus karena lo udah handle event besar di Yogyakarta."
"Terus hadiahnya si Mas Raden?"
"Yaampun, manis banget lo manggilnya pake Mas. Gue jadi merestui."
"Bacot lo, By!! Kalo Mas Raden gak di rumah?"
Osby tertawa kecil, "hehe, lo belum coba gak bakal tau Kalya. Atau mau gue telfonin aja?"
"Gausah aneh-aneh, gue aja. Makasih."
Kemudian Kalya menutup sambungan telefon dan Kalya yakin kedua sejoli itu sedang menertawakannya. Jujur, semenjak lontaran kalimat Raden satu minggu lalu membuat ia sering berpikir tentang Raden Bayu Lesmana.
Kalya melihat langit yang kian mendung dan terpaksa ia tidak bisa mengikuti rapat event. Mungkin ia akan meminta notula dari salah satu koleganya disana.
.baekharuu.

Kalya mengikuti langkah kaki lelaki di depannya yang sudah berada di daun pintu, satu langkah lagi ia tepat berada di belakangnya namun ia mengurungkan niat.
"Lo kenapa berenti di situ deh? Buruan masuk atau minat main air ujan?"
Suara lelaki di depannya menginterupsi lamunannya. Kalya ragu apa ia perlu memasuki rumah Raden atau tidak. Meski Kalya percaya diri dengan gaya rambutnya sekarang namun jika ia dihadapkan situasi seperti ini –bertemu calon mertua, ehem, ia memilih pulang saja atau menunggu montir langganannya datang. First impressions adalah peraturan nomor pertama.
"Oh, nyokap bokap gue gak ada lagi belanja bulanan," ujar Raden sembari memasukkan salah satu tangannya di saku celana pendeknya.
Kalya mendengus sebal, darimana Raden mengetahui apa yang ada dalam kepalanya. "Gue gak mikir gitu kok!" sewot Kalya lalu mendahului Raden memasuki rumahnya. Raden hanya tersenyum kecil melihat responnya, padahal tadi ia asal bicara saja tentang orangtuanya.
"Lo mau minum apa?" tanya Raden saat melihat Kalya sudah memasuki ruang tamunya.
Kalya duduk di salah satu sofa, "apa aja asal jangan teh." Raden mengangguk lalu berjalan ke arah dapur.
Raden kembali dari dapur membawa satu gelas jus dingin dan kue kering kemasan. "Sorry, cuma bisa buat jus kemasan."
"Itu sih bukan buat jus, Mas, tapi tinggal tuangin jus. Tapi lagi gue gak masalah kok, Mas." Kalya meminum jus jeruk kemasannya.
"Lo gak diusilin kan di jalan sama orang lewat?"
Kalya tertawa garing, "ya kali deh, Mas, dengan warna rambut seterang ini gue gak diusilin di pinggir jalan."
"Gak kena cat calling secara non verbal kan?"
"Syukurnya engga, gue juga gatau mobil gue bakal mogok si."
"Lain kali mobil di servis minimal dua bulan sekali, Kalya. Ini montir langganan gue udah ke lokasi buat benerin. Sementara lo disini aja dulu. Ada acara gak?"
Kalya tampak berpikir sejenak karena sebenarnya ia ada jadwal rapat tapi ia ingin disini bersama Raden. "Gak ada kok. Gue disini dulu ya? Capek juga abis kerja dari pagi," jawab Kalya dengan senyum manisnya.
Raden mengangguk, mengambil sebatang rokok dari tempatnya.
Raden yang Kalya tahu sekarang adalah tipikal lelaki yang tidak banyak bicara, bukan cuek atau sombong. Dia hanya diam dengan sibuk merokok, sesekali memainkan handphone.
Dan di pertemuan pertama hingga sekarang, selalu ada sela keheningan mengisi keduanya. Tak lama akan ada suara pemantik yang dinyalakan dua tiga kali. Ketika rokok menyala Raden akan diam dan memandang langit-langit.
"Lo sesuka itu sama rokok?"
Raden menggumam sebagai jawaban.
"Sehari abis berapa batang?" tanya Kalya dengan rasa penasaran.
Raden menatap mata Kalya, memfokuskan arah pandang padanya. Kebiasaan Raden yang Kalya tak suka, ditatap dengan intens yang membuatnya menjadi kikuk mendadak. "Dulu abis sampe dua bungkus tapi gue mulai mengurangi karena gue mau sehat sampe kakek-kakek. Paling cuma sebungkus."
"Cuma sebungkus? Itu aja udah banyak, Mas."
"Terkadang gue butuh buat begadang, jadi bisa abis sebungkus bahkan lebih. Lo ada masalah sama cowo ngrokok?"
Kalya menggeleng, "nggak lah, ngrokok gak merugikan orang lain tapi merugikan diri sendiri. Walau ada kasus orang lain kena imbas asap atau abu rokok orang perokok."
"Kalo kasus yang dimaksud lo bayi kena asap rokok kemudian meninggal karena sesak itu jelas kesalahan orang tua. Tapi kalo orang dewasa kena dampak dalam artian dia kena abu rokok, berati dia sendiri yang salah."
Kalya mengerut alis, "bentar-bentar, lo nyalahin orang yang kena abu rokok?"
Lagi, Raden hanya menggumam. Ia sibuk menghisap nikotinnya lalu menghembuskannya ke udara.
"Misal ada cowo naik motor ngrokok dijalan dan dibelakangnya ada pengendara motor juga tapi kaca helm dalam kondisi terbuka. Terus ga sengaja pengendara motor dibelakang kena abu rokok di depannya itu salah si pengendara yang dibelakang," sanggah Kalya lagi karena tak ada respon dari lelaki dengan celana pendek di depannya.
Raden melirik Kalya lalu menghembuskan nafas, "iya salah dia karena apa? Dia udah tau ada pengendara di depan lagi ngerokok tapi dia malah stay dibelakang daripada nyalip. Itu pilihan dia, dia sakit mata bukan karena si perokok."
"Hell." Kalya memutar alis, "mana bisa itu pilihan. Jelas banget si perokok salah, bisa jadi pengendara motor bisa bawa bayi atau anak-anak. Dia gak sadar lingkungan namanya."
"Kalya, Kalya. Lo gak bisa menyalahkan perokok, dia merokok di tempat umum yang jelas gak ada larangan merokok. Gak usah skeptis gitu."
"Dasar gak mau disalahin."
Raden tertawa, "bukan gak mau disalahin tapi statement lo gak masuk akal buat nyalahin perokok. Perokok yang memikirkan lingkungan bakal mikir dimana tempat yang pas buat ngrokok."
"Udah lah bodo amat gue bete. Lo susah diajak diskusi," sambung Raden guna menyudahi pembicaraan ini. Bisa gak kelar tujuh hari tujuh malem kalo diladenin diskusi bahaya merokok.
"Lo aja yang gak logis," sahut Kalya kesal, ia meminum minuman yang di bawa Raden hingga tandas. "Rumah lo gak ada orang sama sekali apa?" Kalya mengikuti arah pembicaraan Raden, berupaya mengalihkan topik.
"Iya, yang biasa bantu tiap minggu libur. Adek gue lagi di kamar, gatau lagi ngapain."
"Lo gak pergi?" tanya Kalya asal karena dia malas dilanda keheningan lagi. Raden juga tak berupaya mencari topik untuk dibincangkan.
"Gue disini sama lo artinya gak pergi, by the way," Raden menaruh puntung rokoknya di pinggir asbak karena ada panggilan masuk di handphonenya, "bentar gue angkat telefon."
Kalya mengangguk mengiyakan kemudian Raden berlalu meninggalkan ia sendirian di ruang tamu.
Kalya mengambil handphonenya guna mengusir rasa bosan.
Hingga lima belas menit Raden tak kunjung kembali, ia tak menyangka Raden akan selama ini mengangkat telefon hingga ia tak sadar saat rasa kantuk menyergapnya perlahan.
Kalya lelah menghabiskan waktu akhir-akhir ini untuk bekerja sampai ia kurang waktu untuk tidur. Bahkan ia berusaha keras agar bisa bergabung dengan event besar di Yogyakarta.
Event Festival Property se-Indonesia dan ia mendengar desas desus jika Farmasi Arsitek Raden juga bergabung saat festival.
Tiga puluh menit lewat dua belas detik Raden mematikan sambungan telefonnya dan kembali ke ruang tamu.
Kalya disana duduk bersandar dengan posisi kepala menengadah dan salah satu tangannya masih dalam keadaan menggenggam handphone.
Raden menaruh handphonenya, mendekati Kalya, mengamati wajah lelahnya. Sepertinya ia sudah berusaha keras sampai mobilnya saja lupa untuk di servis.
Raden tersenyum kecil, ia mengubah posisi tidur Kalya menjadi berbaring menggunakan ujung salah satu sofa sebagai bantalnya.
Lalu Raden mengamati wajahnya lagi.
Ada sisi gue yang tertarik sama elo, tapi di sisi lain gue gak benar-benar serius dalam hubungan ini. Sorry, Kalya, I'm so sorry. Jadi gue mohon berhenti bikin gue tertarik sama lo.

Book Comment (3)

  • avatar
    KeysaAmalia

    sangat baguss

    16/02/2022

      0
  • avatar
    Ferry Septiardy

    mantul

    25/01/2022

      0
  • avatar
    Setiawan

    bagus sekali

    25/01/2022

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters