logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

7.Perkelahian Part 1

"Hai Johan! Apa mau lo?!" tantang Beno.
"Gue akan membuat lo ama sahabat lo yang kampungan ini menyesali apa yang telah lo berdua lakukan pada Risol!"
"Oh, Jadi lo ama teman-teman lo nggak terima begitu?" tanya Beno.
"Ya!"
"Baik! Lalu lo ama teman-teman lo mau apa?!"
"Beno... sudahlah, tidak usah ribut," kata Rendy berusaha menengahi dan menenangkan sahabatnya. Kemudian dia berkata pada Johan dan teman-temannya. "teman-teman, saya kemari bukan untuk mencari ribut. Kalau memang kalian menganggap apa yang telah saya lakukan merupakan kesalahan, saya mohon maaf. Sungguh, saya tidak bermaksud
cari masalah... Saya hanya ingin meyakinkan saja, kalau gadis itu adalah Risol teman kecil saya saja. Jadi Sekali lagi, saya mohon kiranya Kalian mau memaafkan kesalah pahaman ini..."
"Salah paham!" dengus Johan.
"Ya. Kalau memang dia tidak mau mengakui kalau dia pernah menjadi teman dekatku semasa kami masih kecil, ya sudah itu artinya aku telah salah menduga, dan bukankah itu artinya cuma salah paham?"
"Gue nggak perduli lo salah paham atau enggak. Yang jelas, lo ama Beno membuat Risol menangis. Dan itu enggak bisa gue terima, ngerti?!"
Rendy hanya menghela nafas panjang mendengar penuturan Johan yang terkesan mengancam. Sebenarnya, dia tidak ingin ribut. Dia tidak ingin hal seperti ketika dia masih
di SMA Negeri 2 Brebes terulang lagi. Namun rupanya, Johan melebihi Handika, mantan temannya di SMA Negeri 2 Brebes yang cemburu kepadanya karena dia dekat dengan
Ambarwati. Dan sepertinya, orang seperti Johan memang harus disadarkan sebagaimana saat dia membuat Handika menyadari kesalahannya mengeroyok dia dan Reza bersama
dua orang teman bayarannya.
"Terserah kamu, Johan. Aku sendiri merasa tak ada urusan dengan kamu serta teman-temanmu. Dan aku sendiri tak ingin cari masalah. Tapi kalau kamu tetap dengan
keinginanmu, aku tak bisa berkata apa-apa lagi."
"Baik! Kalau lo benar jantan, kita selesaikan urusan kita seoulang sekolah nanti!" tantang Johan.
"Oke! Siapa takut!" sambut Beno sembari tersenyum kecut. Sudah lama dia memang tidak adu jotos. Sehingga tangannya jadi terasa gatal. Dan sekarang, ada orang yang mengajaknya beradu jotos ria, jadi merupakan hal yang menyenangkan tersendiri bagi Beno. Selain itu, dia juga pengen tahu sekaligus ini membuktikan sendiri, seberapa hebatnya sahabat barunya Rendy yang katanya sewaktu masih di Brebes dikenal sebagai preman SMA." Dimana lo pengen nyelesaiin masalah ini?!" tanya Beno kemudian sembari memandang kearah Rendy.
Yang dipandang cuma bisa geleng-geleng kepala.
"Perkebunan samping jalan tol," kata Johan.
"Baik. Gue ama Rendy akan kesana. Ayo Rendy, kita pergi," ajaknya kemudian sembari membimbing Rendy meninggalkan kantin. Sementara Johan dan teman-temannya
dengan wajah menunjukkan kegeraman mendengus dan memandangi kepergian Beno dan Rendy.
"Beno..." kata Rendy setelah keluar dari kantin.
"Ya?"
"Kenapa kamu terima tantangannya?"
"Kenapa memangnya? Takut?"
"Tidak. Cuma, kupikir untuk apa ribut dengan teman satu sekolah?"
"Gue juga sebenarnya enggak mau ribut sama Johan dan teman-temannya. Tapi lo tahu sendiri, mereka tetap ngotot ngajakin ribut. Mereka enggak terima karena
cewek Pujaan mereka telah kita buat menangis," tutur Beno.
"Gue jadi ingat dengan teman salah seorang teman sekelas gue sewaktu di SMA 2 Brebes," ucap Rendy.
"Kenapa memangnya?"
"Ya, seperti Johan..."
"Maksud lo?"
"Namanya Handika. Dia suka sama seorang cewek sekelas kami, namanya Ambarwati."
"Tentunya tuh cewek cakep dong."
"Ya, lumayan. Meski tidak secantik Risol, tetapi boleh dikata Ambarwati cukup menarik."
"Lalu, apa yang terjadi?" tanya Beno ingin tahu.
Sesaat Rendy menghela nafas panjang. Kemudian dia pun menceritakan apa yang dialaminya dengan Handika sewaktu dia masih di SMA
Negeri 2 Brebes.
Selama Aditya menceritakan kejadian saat dia masih di SMA Negeri 2 Brebes, Beno cuma melongo bengong dengan wajah menunjukkan kekaguman. Sehingga meski Rendy telah selesai menceritakan kisahnya, Beno tampak masih terlongong bengong sembari memandang wajah Rendy dengan pandangan semakin kagum.
"Begitulah ceritanya," desah Rendy mengakhiri penuturan kisahnya saat dia masih di SMA Negeri 2 Brebes.
"Wow...! Ternyata lo juga guru karate, sobat?" gumam Beno
"Bukan. Belum bisa dibilang guru."
"Kenapa?"
"Karena aku belum mendapatkan sertifikat untuk menjadi guru."
"Lalu, apa namanya yang lo lakuin?"
"Simpe..."
"simpe?"
"Ya."
"Artinya?"
"Kakak Pembina."
Beno manggut-manggut mendengar penuturan Rendy.
"Gue makin kagum ama lo, Rendy."
"Tidak usah. Aku juga manusia biasa seperti mu, Beno. Jadi, tak pantas kamu kagum padaku," tutur Rendy.
"Boleh dong gue latihan karate ama lo?"
"Buat apa?"
"Ya, buat bela diri."
"Insya Allah, kalau kamu memang berminat Aku akan berusaha membantumu. Kapan dan di mana kamu mau latihan?"
"Hmm... sebentar, Rendy."
"Apa?"
"Lo mau dapat duit enggak?"
"Maksud kamu?"
"Dengan keahlian yang dimiliki, gue yakin lu bisa menghasilkan uang."
"Ah, aku jadi tak mengerti akan maksudmu, Beno?"
"Kamu kan jago karate? Kenapa kamu tidak menjadi peltih atau simpe saja?" tutur Beno.
"Dengan menjadi pelatih atau pembina karate, kaku kan akan mendapatkan bayaran..."
Rendy menggeleng-gelengkan kepala.
"Kenapa?"
"Aku tidak ingin orang menilaiku sombong tapi kalau untuk membimbingmu, aku tak keberatan. Lagi pula, aku juga sudah bisa mendapatkan uang dengan cara lain, kok..."
"Cara apa?"
" menulis cerita," jawab Rendy.
"Wah, benar juga. Ah, dasar gue emang dodol..."
" apa?"
"Dodol."
"Ah kamu ini, Beno. Masak kamu manusia menyebut dirimu dodol?"
"Lah, memangnya apa itu dodol?"
"Kue yang terbuat dari beras ketan dan gula, kan?"
Beno tertawa gelak, membuat Rendy harus mengerutkan kening.
"Kenapa kamu tertawa?"
"Rendy...Rendy...dodol yang gue maksud itu, bukan jenang seperti dugaan lo."
"Lalu apa?"
"Dodol Itu Ungkapan anak-anak untuk menyebut orang yang otaknya lembek atau bodoh atau Tulalit atau IQ Jongkok," tutur Beno memberitahu.
"Ooo..." Rendy manggut-manggut mengerti, untuk kemudian ikut-ikutan tertawa gelak sebagaimana Beno. "Ah, bahasa anak Jakarta aneh-aneh..."
"Ah emang sahabat aku ini masih lugu dan polos sampai bahasa anak Jaman sekarang pun tidak tahu," ucap Beno yang masih tertawa gelak.
"Rendy hanya tersenyum."
"Udahlah, enggak usah lo pikirin. Nanti juga lo bakal terbiasa. Yuk ke kelas. Sebentar lagi masuk..." ajak Beno.
"Ayo..." sambut Rendy.
Kedua sahabat baru namun sudah tampak begitu sangat akrab itu pun melangkah beriringan sambil bercanda
menuju ke kelas mereka.
Tak lama Bel tanda masuk waktu pelajaran kedua pun berdering, sehingga membuat para siswa yang semula masih ramai dan semerawut tak karuan, ada yang masih makan di kantin,lari-lari menuju ke kelas agar tak telat masuk. Dan ada juga yang santai walau bel sudah berdering.
Siswa yang sudah menuju kelas langsung menuju ke bangku masing-masing.
Next Bab....

Book Comment (1223)

  • avatar
    EgiivrzMhmd

    baru pertama kali baca keren

    3d

      0
  • avatar
    Dedi Alfito

    bagus jg ceritanya smoga semua yg membaca bisa terhibur

    12d

      0
  • avatar
    UserMela

    bagus

    21d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters