logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

The Fake Princess of Norway

The Fake Princess of Norway

Cahaya Senin


Chapter 1 Penyerangan

Dua orang muslimah dengan penampilan anggunnya yang terbalut oleh jubah panjang dan jilbab besar nampak sedang duduk berhadapan di sebuah kafe yang nampak ramai itu. Keduanya pergi mengunjungi sebuah kafe setelah meninggalkan penjara. Sejak kepergian mereka dari tempat itu, wanita muda bernama Eiliyah hanya terus terdiam. Pikirannya kalut dan dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan sekarang.
Sementara itu sahabat karibnya Annisa hanya bisa memandanginya dengan wajah penuh tanda tanya. Dia tidak paham kenapa Eiliyah mengajaknya mengunjungi narapidana tindak pemerkosaan dan pembunuhan yang akan segera di hukum mati itu. Dia juga tidak paham apa maksud pembicaraan sahabatnya dengan kriminal itu tadi. Namun yang dia tahu, Eiliyah terlihat begitu gusar dan penuh kekhawatiran. Wanita itu tidak berhenti mengaduk minumannya yang belum sempat dia minum sama sekali.
"Sebenarnya apa yang terjadi Eil? Apa kau mengenal penjahat tadi?" tanya Annisa mengamati wajah wanita cantik di hadapannya dengan cermat. Mendengar pertanyaan itu membuat Eiliyah menghela nafas dalam sebelum akhirnya menggelengkan kepalanya.
" Aku berpapasan jalan dengannya tepat di malam sebelum dia melakukan tindakan kriminalnya itu... Saat itu... Aku pikir dia akan melakukan hal buruk kepadaku, tapi ternyata tidak...." ucap Eiliyah pelan.
" Apakah karena dia melihat ada tiga pria asing lain yang mengikutimu? Kau juga tidak mengenal mereka bertiga?" tanya Annisa lagi mengingat pembicaraan yang sempat di dengarnya tadi antara Eiliyah dan penjahat yang dikurung di penjara itu.
"Aku tidak mengenal mereka, aku bahkan tidak tahu bagaimana wajah orang yang mengikutiku.... Kecuali lelaki ini..." Eiliyah menunjukkan foto laki-laki di ponselnya kepada Annisa.
Foto lelaki asing yang dia ambil di waktu subuh tadi ketika dia memergoki lelaki itu sedang memata-matai apartemen mereka. Sebenarnya lelaki itu sangat tampan dan tak mungkin ada seorang pun yang menolak pesonanya, tapi siapa yang tidak takut dan khawatir ketika ada lelaki tidak dikenal yang terus saja mengikutinya di negara asing yang baru saja dia kunjungi untuk pertama kalinya?
"Siapa dia? Bukankah ini jalan trotoar di depan apartemen kita?" tanya Annisa bingung. Sahabatnya hanya mengangguk.
"Aku tidak begitu yakin tentang identitas laki-laki ini dan apa tujuannya, kami sempat bertemu pertama kali di kampus saat aku tak sengaja bertabrakan dengannya, namun sejak saat itu aku terlalu sering melihatnya bahkan di tempat yang tidak seharusnya.... Sekarang aku yakin, ada kemungkinan besar bahwa lelaki itu telah mengikutiku sejak pertama kali kami bertemu" bisik Eiliyah pelan karena merasa khawatir bahwa subjek yang mereka bicarakan mungkin saja sekarang sedang berada di dekat mereka. Wanita itu memandang seluruh ruangan kafe dengan waspada.
"Tapi kenapa?" tanya Annisa sekali lagi. Eiliyah nampak berfikir keras, namun pada akhirnya dia hanya menggelengkan kepalanya karena tidak menemukan alasan apapun yang cocok tentang motif lelaki itu.
"Aku hanya khawatir jika lelaki itu... Mungkin adalah Mark lain yang kali ini menargetkan aku..." ucap Eiliyah gusar mengingat kisah kelam yang pernah terjadi pada sahabatnya itu.
Annisa menghela nafas panjang, masih teringat jelas ingatan dari masa lalu yang masih menghantuinya. Dia meraih tangan Eiliyah kemudian menggenggamnya erat. Saat ini keduanya merasakan kekalutan yang sama. Saat itu tanpa sengaja Eiliyaj menangkap sesuatu yang menarik perhatiannya dari arah pintu masuk.
Ada dua orang laki-laki baru memasuki cafe mengenakan baju setelan serba hitam dan wajah yang nampak serius kemudian duduk di pojok ruangan di dekat jendela. Hal yang menarik perhatian Eiliyah tentang mereka berdua adalah karena para lelaki itu sesekali melirik ke arah meja mereka. Entah mengapa pemandangan itu membuat wanita muda itu merasa tidak nyaman.
Dia kemudian mengalihkan arah pandangannya ke arah jendela. Di luar gedung kafe dia juga melihat ada sekitar enam laki-laki lain dengan gerak-gerik mencurigakan yang juga sesekali melihat ke arah mereka berdua. Meskipun mereka semua berdiri berjauhan dari satu dan yang lainnya, namun mereka semua memilih posisi yang tepat sehingga masih bisa mengawasi Eiliyah dan berkomunikasi dengan isyarat matanya. Semua hal itu terasa tidak beres di benak wanita asal Indonesia itu.
"Jangan panik.... Dan dengarkan aku, aku rasa kita sedang diikuti..." bisik Eiliyah pelan mendekatkan wajahnya kepada Annisa namun dengan jarak yang masih tidak nampak mencurigakan.
Annisa membelalakkan matanya dan hendak melihat keadaan sekitarnya, namun Eiliyah menahan gerakannya karena tidak ingin orang yang mengikuti mereka menyadari bahwa mereka telah mengetahui keberadaan mereka.
"I need a restroom (Aku butuh toilet)" ucap Eiliyah sengaja meninggikan suaranya agar terdengar oleh dua lelaki yang berada di dalam kafe. Dia kemudian berdiri dan menarik tangan Annisa agar mengikutinya.
Tanpa basa basi Annisa mengikuti langkah kaki sahabatnya meskipun dia tidak paham langkah apa yang ingin diambil Eiliyah dan apa maksud perkataan gadis itu tentang orang-orang yang mengikuti mereka.
Seperti firasat yang telah dirasakan Eiliyah, kedua lelaki yang duduk di pojok ruangan itu memang sungguh mengikutinya. Mereka berdua segera berdiri dari kursinya dan mengikuti kedua wanita muslimah itu dari belakang. Namun karena tidak ingin dicurigai tidak ada diantara mereka yang ikut masuk ke dalam toilet wanita yang dimasuki oleh Eiliyah dan Annisa. Salah satu dari pria itu bersandar di depan toilet sementara yang lainnya berpura-pura masuk ke dalam toilet laki-laki.
Keadaan toilet wanita itu nampak sepi dan hanya ada dua gadis asal Indonesia itu di dalamnya. Annisa langsung panik dan ketakutan sementara Eiliyah berusaha bersikap tenang dan mencoba mencari jalan keluar.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang? Mereka sungguh mengikuti kita!" ucap Annisa panik.
Bayangan horor tentang tragedi yang menimpanya beberapa tahun lalu langsung menghantui pikirannya kembali. Eiliyah tidak menjawab dan membuka semua pintu masuk toilet untuk mencari alternatif jalan keluar bagi mereka. Tidak ada jalan keluar lain dimanapun.
Wanita dengan mata indahnya itu terus mengedarkan pandangannya dengan cepat. Matanya berhenti pada fentilasi udara yang ditempatkan di bagian dinding yang tinggi. Dia bisa merasakan aliran udara masuk dari luar dan meyakini bahwa fentilasi udara itu mengarah keluar gedung. Namun untuk mencapai tempat itu mereka membutuhkan banyak usaha karena posisi fentilasi yang terlalu tinggi dan tidak ada pijakan apapun yang mampu mereka gunakan untuk meraihnya.
"Tidak ada cara lain, naiklah ke punggungku" perintah Eiliyah kepada Annisa.
Melihat postur tubuh keduanya memang lebih meyakinkan jika Eiliyah yang menggendong Annisa daripada sebaliknya. Eiliyah memiliki perawakan yang lebih tinggi dan postur tubuh yang lebih berisi daripada sahabatnya itu. Namun Annisa nampak ragu, dia tidak yakin jika mereka berdua mampu melarikan diri dengan cara seperti ini.
"Cepatlah An! Kita tidak punya banyak waktu!" ucap Eiliyah menarik tangan Annisa kasar dan memaksa gadis itu menaiki bahunya.
Dengan segala kesulitan Annisa akhirnya mampu berdiri di bahu Eiliyah sementara gadis di bawahnya berusaha keras menahan berat tubuh sahabatnya. Annisa berusaha membuka fentilasi udara itu namun tetap saja itu adalah sebuah perjuangan lain yang harus mereka hadapi.
"Ayo An... Mereka akan segera merasa curiga." Desak Eiliyah kepada wanita yang nampak gugup itu. Bulir keringat mulai memenuhi peluh keduanya.
"Clank!!" akhirnya dengan segenap usaha dan kerja keras, Annisa mampu membuka penutup dari fentilasi udara itu.
Meskipun sulit Annisa berusaha memanjat dinding dan keluar dari fentilasi itu. Sedikit keberuntungan berada di pihak mereka karena luas fentilasi berbentuk persegi panjang itu mampu dilewati oleh tubuhnya. Setelah mampu mengeluarkan tubuhnya dari tempat itu, dia juga harus nekat melompat dari dinding yang cukup tinggi.
Kaki Annisa sempat tergelintir karena posisi mendaratnya yang kurang sempurna, namun dia tidak memiliki waktu untuk merasakan rasa sakit yang dialaminya. Dia melihat sekeliling dan menyadari bahwa dirinya telah berada di suatu lorong kecil yang berada diantara dua gedung tinggi.
Annisa mengamati lingkungan sekitarnya dan berharap menemukan sesuatu yang bisa dia gunakan untuk membantu sahabatnya keluar dari toilet tadi. Setelah mencari selama beberapa menit, akhirnya dia menemukan sebuah tali yang bisa dia manfaatkan untuk menarik Eiliyah keluar. Gadis itu mencoba melemparkan tali itu ke dalam fentilasi dan berharap bahwa Eiliyah bisa meraihnya untuk keluar. Sementara itu dia mencoba menahan tali dengan sekuat tenaga.
Tali yang dilemparkan Annisa mampu meraih dinding dalam hingga setinggi pundak Eiliyah. Wanita muda itu mencoba untuk memanjat dinding sambil berpegangan pada tali namun alas kakinya terlalu licin untuk dia gunakan mencengkram permukaan dinding. Dia akhirnya melepas alas kakinya dan mencoba memanjat lagi. Namun kaos kaki yang masih menempel di kakinya tidak banyak membantunya.
Eiliyah ragu karena telapak kaki adalah salah satu aurat wanita yang tidak boleh ditampakkan. Namun dalam keadaan darurat ini dia tidak memiliki pilihan lain selain melepaskannya juga.
"Bismillah..." Eiliyah pun mulai memanjat lagi dan mencurahkan seluruh kekuatan otot tangan dan kakinya untuk bisa meloloskan diri dari tempat itu. Setelah ia berhasil keluar, kedua sahabat itu langsung berlari menjauh dan berharap bisa kabur dari siapapun itu orang yang mengikuti mereka.
Di sisi lain karena merasa aneh, laki-laki yang mengawasi di depan toilet memanggil temannya yang menunggu di dalam kamar mandi laki-laki. Mereka berdua melihat jam dan tiga puluh menit telah berlalu sejak kedua wanita muslimah itu memasuki toilet. Merasa curiga salah satu diantaranya langsung membuka pintu toilet bagian luar dan melihat tempat yang kosong.
Lelaki itu menemukan sepatu Eiliyah yang tergeletak di lantai dan fentilasi yang terbuka lebar. Raut mukanya langsung berubah masa, dia memeriksa semua ruangan toilet yang tertutup namun tidak menemukan wanita yang dicarinya dimanapun. Keduanya segera berlari keluar gedung dan memberikan aba-aba kepada komplotannya untuk segera menemukan targetnya kembali.
Sementara itu Eiliyah dan Annisa terus berlari kencang tanpa mau membuang waktu mereka. Keduanya ingin pergi ke kantor polisi terdekat untuk mencari perlindungan namun tidak cukup yakin harus lari ke arah mana. Keduanya tergopoh karena salah satu diantara mereka kakinya terkilir sementara yang lainnya lari tanpa alas kaki. Mereka hendak berbelok, tapi sayangnya dari kejauhan ada beberapa orang yang muncul dari balik gedung di depan mereka.
Kedua sahabat itupun langsung mengubah arah dan mencari jalan lain. Mereka terus berlari hingga melewati sebuah jalan yang nampak lebih sepi dari jalanan sebelumnya. Meskipun mereka sudah merasakan lelah dan nyeri di sekujur tubuh mereka namun mereka tidak bisa berhenti. Mereka tidak ingin menghadapi kemungkinan terburuk yang harus dihadapi jika memilih untuk berhenti.
"Dorr!!" tiba-tiba terdengar suara tembakan yang memenuhi udara dan membuat keduanya terkejut. Pada saat itu juga tubuh Annisa yang sedang berlari terjatuh di atas tanah. Wanita itu baru saja tertembak.
"Annisa!!" Eiliyah menjerit dalam panik dan berbalik badan untuk mendekati sahabatnya.
Di sisi lain, tak jauh dari tempat keduanya berada para komplotan laki-laki itu berlari kencang semakin mendekat. Ada benda mengkilat yang memantulkan cahaya matahari yang berada di tangan mereka. Tidak salah lagi itu adalah senjata tajam berupa pistol yang mereka gunakan untuk menembak Annisa.
Eiliyah mencoba membantu sahabatnya untuk bangkit berdiri namun Annisa tidak memiliki cukup tenaga untuk kembali bangkit dan berlari lagi. Gadis itu menggelengkan kepalanya lemah dan melepaskan tangan Eiliyah.
"pergilah Eil..." ucap Annisa dengan suara lemah. Eiliyah menggelengkan kepalanya dan tidak ingin menyerah.
"kumohon... Setidaknya salah satu dari kita ada yang selamat... Selamatkan dirimu dan sampaikan sayangku kepada kedua orang tua ku" pinta Annisa dengan mata berkaca-kaca.
"please (tolong)... Go (pergi)!!" paksa Annisa mendorong temannya dengan sisa tenaga yang dimilikinya.
Meskipun tak rela dan beruraian air mata, Eiliyah akhirnya kembali melangkahkan kakinya dan berlari lagi. Selang jarak beberapa meter Eiliyah kembali membalikkan badannya, saat itu para gerombolan itu telah sampai di tempat Annisa. Salah satu dari mereka berhenti di depan wanita yang sedang tersungkur itu sementara para lelaki yang tersisa terus mengejar Eiliyah. Saat itu lelaki yang berdiri di depan Annisa mengarahkan pistolnya ke arah wanita itu dan telah menarik pelatuknya.
"Dorr!!" suara tembakan itu sampai di telinga Eiliyah yang telah berlari menjauh. Dia segera memalingkan wajahnya. Air mata memenuhi semua sudut matanya. Dia merasakan sakit dan rasa kehilangan yang sangat dalam. Eiliyah sangat merasa bersalah. Kenapa hal seperti ini harus menimpa mereka?
"Maafkan aku Annisa...." gumamnya dalam hati seiring air mata terus membasahi pipinya.
Wanita yang masih bertahan itu terus berlari dan mengambil belikan di ujung jalan, namun naas dia salah mengambil langkah. Belokan yang baru saja dimasukinya adalah gang buntu. Eiliyah mencoba berlari lagi dan kembali ke jalan utama namun saat itu para lelaki yang mengejarnya telah mengepungnya. Dia membeku di tempat, tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang.
"Should we just kill her right away (Haruskah kita membunuhnya begitu saja)?" tanya salah seorang lelaki di antara delapan komplotan itu. Dia menampakkan seringai yang menyeramkan.
"It's gonna be such a pity if we just kill her like this (sayang sekali jika kita membunuhnya seperti ini), should we play for a while (Bagaimana jika kita bermain-main sebentar)? No one is here anyway (Lagipula tidak ada siapapun disini)" kata lelaki yang paling dekat dengan Eiliyah dan mencoba meraih pipi wanita itu.
Wanita itu mengelak dan langsung menepis tangan besar dan menjijikkan itu. Dia segera mengepalkan tangannya dan meninju wajah lelaki itu dengan sekuat tenaga. Eiliyah memang tidak memiliki dasar bela diri, namun dia tidak ingin pasrah begitu saja dan menyerahkan dirinya kepada para penjahat itu.
"You bitch (wanita jalang)!" umpat lelaki itu langsung menampar Eiliyah dan membuat ujung bibir wanita itu berdarah.
Wanita itu mencoba memberikan perlawanan lagi namun semuanya sia-sia saja. Karena merasa kesal dengan perilaku defensif dari Eiliyah, para lelaki itu menarik kerudung panjang Eiliyah dan memukul tubuh wanita itu ke sisi dinding gang, membuatnya tersungkur lemas dengan kepala berkunang-kunang.
"why you should make it harder for us (Kenapa kau membuat semuanya menjadi rumit)? Just die now then (mati saja kalau begitu)!" ucap salah seorang pria mengeluarkan pistolnya dan mengarahkannya ke kening Eiliyah.
Wanita itu memejamkan matanya dan bersiap dengan segala apapun yang akan menimpanya. Ada banyak bayangan wajah yang berkelibatan di pikirannya, wajah Annisa, kedua orangtuanya.... Dan juga Ilyas calon suaminya mulai bermunculan di benaknya. Eiliyah mengucapkan salam perpisahan satu persatu kepada setiap orang yang dicintainya dan bersiap menghadapi mautnya.
"Doorr!!!" suara tembakan memenuhi gang buntu itu.
Eiliyah menghentikan tubuhnya ke belakang dan menutup matanya lebih erat. Namun anehnya dia tidak merasakan rasa sakit lainnya apapun. Apakah dia telah meninggal dan telah berada di alam barzakh?
"Argh" suara erangan kesakitan dari seorang pria muncul di depan Eiliyah dan membuatnya membuka matanya.
Wanita itu ternyata masih berada di gang buntu yang sama. Suara tembakan tadi bukanlah peluru yang mengenai tubuhnya, namun menembak tangan lelaki yang menyodongkan pistolnya ke arah Eiliyah tadi. Tangannya terluka parah sementara pistol yang dipegangnya telah terjatuh ke tanah.
"Shit (Sial)!! Who are you (Kau siapa)?!!" tanya pria yang kesakitan itu marah.
Semua mata tertuju ke arah ujung lorong. Disana berdiri seorang lelaki tinggi dengan perawatan atletis dan menyiratkan sorot mata penuh ancaman yang sedang menodongkan pistolnya. Eiliyah mengenal wajah lelaki itu, dia adalah lelaki asing yang selama ini mengikutinya, lelaki yang potretnya ada di ponselnya dan ditunjukkan kepada Annisa tadi.
Komplotan laki-laki yang mengerumuni Eiliyah segera menyerang pria itu secara bersamaan. Namun pria tampan itu ternyata memiliki keahlian bertarung yang lebih ahli dari mereka semua. Dalam sekejap mata dia mampu menumbangkan semua lelaki yang menyerang ya dengan serangan tangan dan kakinya serta membunuh mereka secara membabi buta. Dia nampak seperti seorang pembunuh profesional.
Ketujuh lelaki itu telah tumbang dan tewas dengan cara yang mengerikan, hanya tersisa satu orang yang masih bertahan. Lelaki yang tangannya telah tertembak tadi. Namun dia tidak dalam posisi yang menguntungkan. Pria yang baru datang itu telah memojokkannya dan mengarahkan pistolnya pada lelaki itu. Sementara lawannya terduduk lemah di sudut dinding gang.
"who ordered you (Siapa yang menyuruhmu?)?" tanya pria itu dengan suara dingin dan mengancam. Lelaki yang terpojok itu tidak berkutik dan hanya menunjukkan senyuman liciknya. Seolah dia mengatakan bahwa dia tidak akan berbicara apapun yang terjadi.
"Doorr!!" pria tinggi itu menembak paha kanan lawannya dan membuatnya mengerang kesakitan.
"Tell me (Katakan)!!" gertaknya kemudian, tapi tetap saja lelaki itu tak menggubrisnya. Pria itu terus saja menyiksanya dengan tembakan-tembakan baru hingga pada akhirnya lelaki itu kehilangan begitu banyak darah dan nafasnya berada di ujung tanduk.
"You don't give me a choice (Kau tidak memberiku pilihan)" ucap pria itu dingin kemudian mengakhiri hidup lelaki yang telah sekarat itu dengan satu tembakan terakhir di tengah kepalanya yang membuat suatu aliran darah lurus yang jatuh hingga hidungnya. Lelaki yang sudah tak bernyawa itupun akhirnya terukur kaku di tanah.
Setelah puas menyiksa lawannya, pria itu mengalihkan pandangannya kepada Eiliyah yang sedari tadi melihat perilaku kejamnya dengan mata yang nanar. Jantung wanita itu berdebar begitu kencang. Dia tidak pernah melihat manusia sekejam lelaki itu sebelumnya. Pria itu kemudian berjalan mendekat dan berdiri tepat di hadapan Eiliyah yang duduk bersandar di dinding. Dia memandang wajah wanita itu lekat dengan sorot mata dinginnya.
"You really deceived us (Kau sungguh menipu kami)" gumam lelaki itu berbicara kepada wanita dihadapannya menggunakan suaranya yang terdengar dalam dan menghayutkan. Eiliyah sempat melihat senyuman sinis di bibir lelaki itu sebelum pada akhirnya dia kehilangan kesadarannya sepenuhnya.

Book Comment (131)

  • avatar
    OctaEldo

    senang

    16d

      0
  • avatar
    LestariAyu

    cerita nya sangat bagus sekali

    10/08

      0
  • avatar
    TansaniLia

    kerennn bagus ceritanya menarik

    23/04

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters