logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

02. Saudari kembar Assyifa

Jalan dari rumah Kakek menuju rumah Assyifa memang tidak jauh, hanya beberapa ratus meter saja jaraknya. Karena itu Assyifa bisa sampai dalam waktu tidak sampai sepuluh menit, dia pulang dan mendapati Hikari yang menatapnya lewat jendela.
Assyifa melambaikan tangan, "Hikari! Aku bawa mangga buat kamu!" Serunya. Marcel ikut melambaikan tangannya kearah Hikari, ada perbedaan warna rambut diantara si kembar.
Hikari memiliki warna coklat muda seperti hazelnut dan Assyifa memiliki rambut hitam pekat, yang menyamakan mereka adalah gaya rambut dan warna mata. Mata biru indah seperti lautan, mereka punya mata seperti itu.
"Kalau begitu aku pulang ya, Assyifa." Pamit Marcel, dia menepuk pundak Assyifa lalu pergi dari sana. Si gadis mengangguk dan melambaikan tangannya, dia berjalan masuk ke rumah yang lumayan besar ini.
Dengan cepat Assyifa masuk, "HIKARI! AKU BAWA MANGGA DARI KAKEK!!" Serunya. Suaranya menggema dan dia membuka (sedikit mendobrak) pintu kamar Hikari, tangannya menunjukan sebuah mangga dengan ranting yang masih menyatu dengan buahnya.
"INI MANGGA KAKEK! Pasti manis! Ayo kebawah!" Ajaknya. Hikari bangkit, dia berjalan pelan-pelan. Hikari memiliki sikap yang lebih dewasa dan tenang dari Assyifa tapi tetap dia adalah adiknya dan Assyifa adalah kakaknya.
"Jangan berisik, ibu sedang tidur siang." Katanya menyuruh Assyifa diam, "Katanya nanti malam kita akan pergi ke toko barang antik, ayah ingin membeli sesuatu lagi." Lanjutnya.
Mata biru Assyifa berbinar, sudah lama mereka tidak ke toko barang antik, "Ayo beli sesuatu yang menarik disana Hikari!" Katanya.
Hikari menganggu, "Ayo makan mangganya."
Dua kembar ini tidak seperti cerita yang diceritakan kakek Yudistira tadi, mereka damai karena tau setiap orang punya keunggulan masing-masing. Hikari pintar dalam bidang berhitung dan Assyifa pintar dalam bidang melukis, mereka berbeda tapi tetap mendukung satu sama lain.
"Kalau ada alat lukis atau lukisan antik, aku ingin membelinya." Kata Assyifa. Hikari berpikir sejenak, "Mungkin aku akan membeli cermin, cermin disini rusak kemarin ayah memecahkannya karena marah." Kata Hikari.
Assyifa yang tengah mengupas mangga terdiam, dia meringis mengingat ayahnya yang marah karena hal sepele, mereka berdua tidak menyukai ayahnya saat marah, menyeramkan hampir seperti monster.
"Betul juga ya... Aku akan membeli yang lain saja deh." Kata Assyifa. Suasana jadi hening beberapa saat karena mereka kalut pada pikiran mereka masing-masing, mereka sangat sensitif jika berbicara mengenai ayahnya dan langsung merasa canggung dengan itu.
Mangganya sudah terpotong, ini waktunya memakan buah oranye manis itu. Assyifa menyuap sepotong mangga kemulutnya, rasa manis mangga masuk kedalam, seakan meleleh seperti coklat didalam mulutnya. Mangga dirumah Kakek nya memang yang terbaik, tidak pernah mengecewakan.
Hikari merasakan hal yang sama, sangat manis dan dia menyukainya, "Ini manis seperti biasa, kamu yang mengambilnya atau kak Marcel?" Tanya Hikari.
"Kak Marcel yang mengambilnya, aku mana kuat memanjat bajuku kotor juga karena jatuh." Kata Assyifa, dia menunjuk pakaiannya yang agak kotor dibagian bawah.
"Kan ada galah kenapa pakai manjat segala, mau berubah jadi lutung kamu?" Tanya Hikari.
"Kalau aku jadi lutung kamu juga jadi lutung." Balas Assyifa.
"Mana bisa begitu."
"Bisa! Kita kembar, mau kemanapun kita pasti akan bersama!" Seru Assyifa. Hikari sedikit terharu mendengar itu, tapi dia menyembunyikan raut terharu dibalik wajah datar khas miliknya. "Tidak, aku gak mau berbagi suami denganmu, kita akan terpisah nanti kalau sudah punya kehidupan masing-masing." Kata Hikari.
Assyifa lemas mendengarnya, sedih saudarinya tidak mau menemaninya sampai tua nanti, dia jadi teringat cerita yang kakeknya ceritakan. Dua kembar yang saling membenci satu sama lain, sangat menyedihkan saat mengingat bagaimana Ashida menginginkan kematian keluarganya terutama saudari kembarnya. "Jangan begitu, aku jadi ingat cerita yang kakek ceritakan." Kata Assyifa lemas.
Hikari bergeming, melihat mood milik saudarinya yang berganti begitu cepat, dia tau nanti pasti kembali lagi seperti semula. "Cerita apa?" Tanyanya.
"Cerita tentang dua anak kembar yang membenci satu sama lain, yah mereka ada alasan kuat sih. Orang tuanya terlalu mendiskriminasi anaknya sendiri, karena itu salah satu dari mereka merasa iri." Jelas Assyifa, Hikari mengangguk paham mendengarnya.
Anak didepan Hikari ini memang suka dongeng seperti itu, dongeng fantasy dengan sihir yang lucu. Bahkan dia mengoleksi banyak tongkat sihir dari film soal penyihir yang dia tonton beberapa hari lalu, film yang diangkat dari novel terkenal karya penulis yang luar biasa.
"Jangan menyamakan kamu dengan dongeng yang kamu dengar, kita didunia nyata bukan didalam fantasi yang kamu buat dipikiranmu." Jelas Hikari. Assyifa cemberut, "tidak bisakah kamu membiarkan aku berimajinasi, Hikari?"
"Silahkan kalau fantasi yang kamu buat masih masuk akal." Jawab Hikari.
Mangga dipiring sudah habis mereka makan lahap, kedua anak yang baru lulus SMP itu kini berniat keluar menggunakan baju dress putih hitam favorit mereka. Menjadi keturunan Jepang dinegara bekas jajahannya memang agak sulit, meski zaman sudah lumayan modern ada beberapa orang yang masih tidak suka kehadiran mereka.
Wajah cantik dengan mata biru, lalu tubuh jenjang idaman para perempuan membuat mereka sering jadi pusat perhatian. Banyak perempuan dan ibu-ibu muda yang membenci mereka karena tersaingi oleh paras anak remaja kembar, tatapan sinis dari perempuan sudah biasa.
"Aku mau beli buku, kamu mau beli apa Assyifa?" Tanya Hikari. Assyifa mengernyitkan dahinya, "Kamu bawa uang? Aku gak bawa! Kamu gak bilang kita bakal pergi ke toko."
"Baiklah, gak perlu jajan." Balas Hikari.
"Kita lewat rel kereta saja Hikari! Lewat sana lebih cepat." Kata Assyifa.
Dengan sedikit berlari mereka pergi sambil bergandengan tangan, berjalan melewati rerumputan tinggi yang menutupi rel kereta. Berlari menuju kota terdekat dari tempat mereka tinggal, sudah biasa mereka jalan kaki walau membutuhkan waktu yang lama setidaknya mereka harus sampai rumah sore nanti.
"Kamu apa tidak bosan berkutat dengan angka-angka itu?" Tanya Assyifa. Hikari berpikir sejenak, dia memang merasa bosan dengan angka-angka tapi dia masih mau jadi lebih pintar lagi, "Aku ingin jadi lebih pintar." Jawabnya, sedikit melenceng dari pertanyaan awal.
"Wah... Aku sih lihat angka saja sudah pusing, karena itu aku pilih seni! Seni adalah jiwaku!" Kata Assyifa semangat.
"Terlalu berlebihan, lukisanmu jelek." Kata Hikari.
"Ya, dan soal matematika yang kamu isi juga sering salah!" Ketus Assyifa.
Tidak ada hari tanpa berdebat soal minat mereka, meski keliatan damai dan akrab mereka sering bertengkar dan berdebat soal apa yang mereka suka.
"Aku pikir kalau aku jadi pelukis, aku akan menjadikannya pajangan dikandang ayam." Sarkas Hikari. "Ya, dan jika aku jadi ahli matematika mungkin kepalaku akan botak seperti ilmuan gila." Balas Assyifa tak mau kalah.
Tatapan sinis mereka lontarkan satu sama lain, mereka kembali berdebat tapi masih berjalan bergandengan tangan. Mulut mereka memang berselisih tapi hati mereka tidak, mereka saling menyayangi satu sama lain.

Book Comment (27)

  • avatar
    AdharaRevani

    bagus sekali aplikasi ini sangat menguntungkan

    29/05

      0
  • avatar
    IrwansyahSalsabila

    cerita bagus dan menarik

    19/03

      0
  • avatar
    Cikal baihaqiGalih

    bagus

    13/03

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters