logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 19 Semua Terungkap

Ovi melanjutkan kisahnya. Harusnya Tania mendengar semua ini langsung dari mulut suaminya. Hanya saja, ada banyak hal yang akhirnya dia campuri karena salah paham di antara dua orang itu. Bukan maksudnya mendahului Nero. Hanya saja, sikap Tania yang menurutnya sudah keterlaluan, membuatnya harus turun tangan.
Dia tidak ingin, rumah tangga yang baru seumur jagung ini retak. Perbedaan usia yang terpaut cukup jauh, memang kadang menimbulkan banyak prasangka. Apalagi Nero tipe lelaki pengalah, yang memilih untuk menerima semua tuduhan daripada menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. 
"Nero mengikhlaskan Andrea menikah. Dia merasa berhutang budi sama papa kamu karena udah ngasih kerjaan. Apalagi setelah dia lulus kuliah, Mas Bram ngangkat dia jadi staf khusus." 
Beberapa kali Ovi menarik napas sebelum melanjutkan cerita. "Nero orangnya jujur. Dia cerdas dan pintar. Cuma nasibnya yang kurang beruntung." 
"Mas belum pernah cerita apa-apa. Aku enggak tau masa lalunya, cuma tau dia rekan kerja papa," kata Tania. 
"Kalian kan baru menikah. Itu juga bukan keinginan sendiri. Mungkin nanti Nero bakal ceritain. Semuanya peroses, Sayang. Pelan-pelan." Dia menasehati. Memberikan pemahaman kepada anak ini harus pelan-pelan. Secara faktor usia memang masih labil. 
"Tapi aku sakit hati." Dia membuang muka. Mengingat ada banyak kebohongan Nero--atau mungkin prasangkanya sendiri-- yang membuat dia kecewa.
"Sayang. Tante ngerti banget. Kamu masih muda. Belum seharusnya menerima semua ini."
Tania mengangguk.
"Kalau kamu tanya siapa yang paling banyak berkorban untuk kita. Ner orangnya. Dia mengorbankan hidupnya, cintanya. Semua kekecewaannya dia telan sendiri. enggak pernah dia umbar." 
"Sejak kapan tante tau ini semua?"
"Sejak kematian Andrea. Nggak sengaja Tante sama papa kamu ngeliat dia nangis di makam waktu kami mau ziarah. Sejak hari itulah semuanya terungkap."
Ovi mengenang kejadian bertahun-tahun yang lalu. Saat dia dan Bram melihat dari kejauhan, ada seorang lelaki yang terisak di makam Andrea, dan itu adalah ... Nero. 
Ada banyak hal yang memang mereka rahasiakan. Mungkin nanti berjalan dengan seiringnya waktu, perlahan satu persatu tabir akan terkuak. Tinggal menunggu, apakah Tania akan siap mendengarnya. Semoga bila saat itu tiba, dia siap menerimanya. 
"Waktu itu, kamu masih kecil. Baru lima tahun. Andrea sakit. Batinnya tertekan karena dipaksa menikah sama papamu. Sedangkan dia harus menerima kenyataan bahwa Nero adalah salah satu staf di kantor. Jadi, sesekali mereka masih ketemu." Ovi melanjutkan ceritanya. 
"Tante udah minta kamu. Tapi karena Nero janji mau bantu Mas Bram buat ngerawat kamu, jadinya tante ngalah."
Isak tangis Tania terdengar lagi. Perasaannya bercampur aduk, semua rasa jadi satu. Antara senang karena sudah mengetahui banyak hal, sekaligus juga sedih, mendapatkan bahwa kenyataan tak semanis harapannya. 
"Nero udah berkali-kali kehilangan wanita yang dia cintai. Ibunya, Anderea, juga Saskia. Hatinya pasti terluka. Kamu janji sama Tante, ya. Bakal bantu sembuhkan lukanya." Ovi menggengam erat jemari Tania.
"Kenapa tante bilang gitu?"
"Karena ..." Kata-katanya terhenti. Ini yang paling berat untuk disampaikan.  Dia bertaruh banyak hal, bahkan seandainya Tania akan membencinya karena pengakuan ini. "Tante pernah suka sama dia, tapi ditolak. Waktu itu dia benar-benar cinta sama mama kamu." 
Lega. Sudah tak ada lagi perasaan yang mengganjal di hatinya. Ovi memandang lekat keponakannya.
Tania balas menatap tantenya. Lama. Hingga tak tahu harus berkata. Ini seperti mimpi saat mengetahui kebebaran. Hari ini, semua rahasia sudah terungukap. Belum semuanya, masih banyak lain yang dia belum ketahui. Yang pasti, dia akan bertanya langsung kepada Nero, jika nanti masanya tiba. 
"Tante serius?"
Ovi mengangguk. "Tapi itu masa lalu, Nak. Sekarang tante udah menemukan cinta sejati. Kamu jangan berpikiran buruk. Tante ceritakan ini biar kamu tau. Jadinya nggak salah ngambil keputusan." Senyum menghiasi bibir Ovi. 
Melihat senyum yang sama terukir di bibir keponakannya itu, Ovi tahu bahwa keputusannya untuk menceritakan hal ini sudah tepat. 
Semoga setelah ini, Tania bisa menjadi lebih dewasa dan bijaksana saat menyikapi suatu masalah. 
"Temui Nero, minta maaf. Dia suamimu. Tante yakin sekarang dia udah mulai membuka hati. Tinggal kamu yang harus belajar membuka hati buat dia. Ya?" 
Ada binar bahagia terpancar dari matanya. Tak sia-sia kedatangannya kali ini, jika akhirnya akan menyelesaikan banyak masalah. Tinggal memikirkan bagaimana kesembuhan kakaknya. Itu prioritas mereka sekarang. 
"Makasih, Tante." Mereka berpelukan, menangis bersama. Lalu melanjutkan cerita lain, tentang masa kecil Tania yang indah. Di mana, sebagian kisahnya dia juga ikut terlibat.
* * *
Hingar bingar suara bising yang bercampur aduk. Lampu-lampu bersinar, menyoroti panggu secara bergantian. Dentuman musik yang memekakkan telinga, malah membuat sebagian orang terjerat untuk bergoyang, menambah semarak suasana. 
Berbagai macam pasangan tampak seronok, bahkan yang sejenis pun tampak santai. Mereka asyik bermesraan tanpa peduli dengan sekitarnya. 
Aneka makanan dan minuman yang silih berganti disajikan menambah maraknya suasana. Bau alkohol tercium di setiap sudut ruang.
"Tambah satu lagi." Nero mendorong gelasnya, meminta tambahan minuman. Sudah lama dia tidak datang ke sini. Banyaknya permasalahan yang terjadi akhir-akhir ini yang membuatnya memutuskan untuk datang. 
"Udah Nero. Lo mau mabok di sini?" Sang bartender pun menuangkan segelas lagi.
"Biarin. Sekali-sekali. Gue pusing."
Ada rasa kecewa di hati saat teringat Tania mengusirnya. Sejak dulu, istrinya memang tak pernah mau mendengarkan penjelasannya.
Sudah lama dia tidak ke sini untuk bersenang-senang. Terakhir saat kematian Saskia. 
"Lo kenapa? Berantem ama bini?"
"Tau." Dia tak peduli, sudah tiga gelas yang lolos di tenggorokannya. 
"Manten baru kok berantem. Biasanya gelutan di kamar." Sang bartender tertawa geli. Melihat tampang Nero yang kusut, dia sudah bisa menebak permasalahan sahabatnya ini.
"Diem lo. Jangan ikut campur!" Nada suaranya meninggi. 
"Kan gue udah bilang. Jangan nikahin Tania. Lo utang budi sama Bram, bukan gitu juga kali balesnya." Dia masih sibuk meracik beberapa minuman, mencampur beberapa jenis sehingga menciptakan rasa baru yang unik.
"Berisik amat." Nero mengangkat kerah baju sang bartender. Efek alkohol, dia menjadi emosional. 
"Santai, Men. Gue cuma nasehatin lo. Gue sahabat lo. Ingat itu." 
Raka, bartender di klub yang cukup terkenal ini, menjadi sahabatnya sejak lelaki itu kehilangan Saskia istrinya.
Hampir setiap malam lelaki itu datang dan mabuk di klub, karena stres kehilangan istri. Raka yang menolongnya, dari memesankan taksi sampai membersihkan muntahannya di bar.
Raka juga yang menjaga agar Nero tidak didekati oleh para PSK saat dia mabuk. Dia tidak mau sahabatnya itu terjerumus. Lama-lama mereka akrab dan dekat. Nero sedikit demi sedikit menceritakan kehidupan pribadinya. 
Nasib mereka kurang lebih sama, hanya Nero lebih beruntung. Raka berakhir di sebuah klub malam, sedangkan dia menjadi pengelola perusahaan Bram.
"Bram koma. Tania marah sama gue." Nero melepas cengkramannya. Lalu terduduk lemas. Beberapa kali meremas rambut karena kesal.
"Yang lo nikahin tu anak kecil. Emosinya labil. Maklum aja, jangan diambil hati." Raka kembali mengocok beberapa minuman, mencampur dan mencicipi rasa. Pelanggannya bukan cuma Nero saja, kan?
"Tapi harusnya dia denger penjelasan gue. Dari awal nikah juga dia udah nuduh macem-macem."
"Lo mesti sabar. Bini gue aja masih suka ngambek. Bini lo umurnya baru berapa? Delapan belas? Apalagi papanya sakit, koma pula. Mungkin dia syok."
Nero mengangguk lemah. Benar juga kata Raka. Dia tidak berpikir sejauh itu.
"Lo pulang sana. Sumpah. Ngerepotin banget kalau lagi mabok." Raka menolak mengisi gelas yang disodorkan kembali oleh Nero.
"Gue mau di sini. Lo ada kamar kosong?"
"Ada. Tapi buat anak-anak maen. Lo mu maen juga?"
"Gue males pulang." Dia meletakkan gelasnya dengan sedikit kasar. 
"Ya lo nginep di hotel, lah. Kere banget ya sampai enggak bisa bayar." Raka tertawa meledek.
"Sialan!" Nero mengumpat.
"Pulang sana. Bini lu nyariin." Dia mengambil gelas itu dan menyimpannya. Sahabatnya ini tidak boleh kembali seperti dulu. 
"Belum tentu dia nyariin gue. Ada juga dimarahin." Nero tertunduk lesu. 
Menikah dengan Tania berbeda sekali dengan Saskia. Emosinya memang masih labil. Bram yang sakit, menambah beban di kepalanya. Untunglah kehadiran Ovi banyak membantu, paling tidak menghadapi sikap manja istrinya.
Teringat Bram membuat Nero segera bergegas meninggalkan tempat itu.
"Lo mau kemana? Inget bini?" Raka berteriak melihat Nero yang segera berlari keluar.
"Ke rumah sakit." Nero melambai.
"Woiiiii! Belom bayar," teriak Raka.
"Gue ngutang dulu, ya."
Raka tertawa geli. Ada rasa lega dalam hatinya. Dia tidak mau sahabatnya kecanduan alkohol lagi. Untungnya Nero cepat sadar. Sahabatnya itu memang laki-laki kuat

Book Comment (307)

  • avatar
    FriyatanJeffrey

    god

    17d

      0
  • avatar
    WahyudinBayu

    yes

    19d

      0
  • avatar
    Ayunie jmAtiqah

    love it

    20/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters