logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 15 Karena Kau Milikku

Di antara rasa takut dan ragu Tania mengetuk pintu kamar suaminya. Berharapa Nero akan berbaik hati membukakan. Setelah mendengar nasehat Ovi tadi, pikirannya sedikit terbuka. 
Ada yang berdenyut di dalam hatinya ketika membayangkan kebersamaan lelaki itu dengan wanita lain. Rasanya dia tidak rela. Tidak ikhlas. Jadi, siap atau tidak siap, malam ini dia akan mencoba, menjadi istri yang taat dengan memberikan hak suaminya. 
"Om! Om Nero!" Dia mengetuk sekali lagi karena yang pertama tidak mendapatkan respons.
"Apa?" tanya lelaki itu dingin. Tubuhnya bersandar di balik pintu yang setengah terbuka. Tangannya terlipat di dada. Seraut wajah yang selalu membuatnya berdebar-debar muncul dengan senyum manis.
"Lagi ngapain?"
"Bikin laporan. Ada yang mau di revisi." Tangan Nero menghalangi daun pintu agar Tania tak mengintip ke dalam.
"Oh." Rasa ragu muncul itu lagi dalam hati Tania.
"Apa?" Ulang Nero. 
"Aku boleh aku masuk, enggak?" Dia memandang lelaki itu lekat. Berdoa dalam hati, semoga keinginannya dikabulkan si pemilik kamar. 
Nero mengernyitkan dahi. Ada apa ini? Tumben Tania mau masuk ke kamarnya, biasanya takut malah.
"Mau apa?" tanya Nero tenang, padahal dalam hati jantungnya mulai berdentum tak beraturan. 
 “Mau bobok sini boleh?" jawabnya cepat. 
“Tidur di sini? Di kamarku? Wah boleh, dong. Boleh banget.” Nero bersorak dalam hati. 
"Tumben." Lelaki itu tersenyum mengejek, sedikit jual mahal. Biasanya juga istrinya yang menolak.
"Di kamarku ada Tante Ovi. Dia nginep di sini." Tania menjelaskan. 
"Loh! Kok diem aja kalau Ovi datang." Nero terkejut mendengarnya. Ada urusan apa wanita itu datang? Mungkin menjenguk kakaknya, mengingat kondisi Bram yang semakin hari semakin menurun.
"Aku juga nggak tau. Tiba-tiba muncul tadi pagi. Seharian curhat lupa mau ngabarin. Ini udah tidur kecapean. Om sih pulangnya malem banget," rajuknya. Bibirnya mulai menekuk, membuat Nero gemas ingin menciumnya. 
"Lagi banyak kerjaan di kantor. Kan sekarang om yang handle semua." Lelaki itu memperhatikan penampilan istrinya malam ini. Piyama bunga merah yang dipakai Tania membuat darah lelakinya berdesir. 
"Iya, tadi tante bilangnya sih cuma bentar. Besok mau ke rumah papa, “ lanjut Tania. 
"Ya udah enggak apa-apa boleh kok nginap di sini," kata Nero sambil mengusap wajahnya. Tania tampak menggoda sekali malam ini. Kuat-kuat hati, Nero.
"Jadi aku boleh masuk enggak, nih?" Tania berharap cemas. 
"Masuk aja tuan putri." Nero mencubit hidung bangir itu, lalu membuka pintu lebar-lebar.
Gadis itu melangkah dengan pasti. Matanya berkeliling menatap ruangan itu. 
Klek!
Suara pintu dikunci. Tania tersentak dan menoleh ke belakang. Nero terlihat santai berjalan melewatinya dan duduk kembali di kursi kerja.
Kamar suaminya ini luasnya lebih besar sedikit dari kamarnya. Ada meja kerja di pojokan seperti ruang kerja yang menyatu. Sebuah sofa kecil untuk bersantai. Simple, tidak banyak warna. Didominasi hitam dan putih.
Dia pernah sekali masuk. Malam itu waktu Nero menggendongnya, mereka hampir saja melakukannya, tapi tidak jadi. Waktu itu dia sangat takut.
Malam ini semoga saja dia bisa melewati semuanya. Tania mengepalkan tangan, menguatkan diri. Harus bisa ya Tania, demi papa.
"Kalau ngantuk tidur aja dulu. Om masih ada yang mau diselesaikan." Nero berjalan menuju sofa.
Sedangkan Tania langsung naik ke ranjang, menarik selimut dan memejamkan mata. Berkali-kali dia mencoba untuk tidur, tapi sulit sekali. 
Nero yang melihat gadis itu gelisah segera mematikan lampu. Dia menghidupkan lampu meja sembari meneruskan pekerjaannya. Tapi sejak ada Tania, dia malah tidak bisa berkonsentrasi. Berkali-kali dia mencoba, pikirannya malah melayang entah kemana.
Dia menutup laptop. Blank. Satu jam sudah berlalu. Semua ide di kepalanya hilang. Dia lalu masuk ke kamar mandi dan mencuci muka.
Perlahan dia mendekati istrinya. Gadis itu bergerak-gerak, entah sedang bermimpi apa. Dia memeluknya, mengusap kepalanya. Rasa sayang dan cinta kasih itu sudah ada sejak lama dan semakin bertambah setelah mereka menikah.
"Maafkan aku, Sayang." Dia mengecup kening mulus itu berkali-kali. Membelai pipinya, memandangnya dengan penuh hasrat. Salah, kah? Dia menginginkannya, menginginkan istrinya.
"Om?" Tania terbangun. Tubuhnya menggeliat dalam dekapan lelaki itu. 
"Kamu gelisah tidurnya. Mimpi apa?" Dia menarik wajah itu agar mendekat. 
"Papa." 
"Kenapa?" tanya Nero tenang.
"Aku ngeliat papa pergi jauh. Aku panggil enggak denger." Tania membenamkan wajah, merasakan hangat di pelukan suaminya.
Lelaki itu menelan ludah. Jika saja Bram tidak berpesan, mungkin dia dan keluarga yang lain akan menceritakan semuanya kepada Tania. 
"Jangan dipikirkan. Itu cuma bunga tidur." 
Dia jadi serba salah kalau sudah begini. Kenapa juga Bram menyembunyikan penyakitnya. Mereka seperti bermain petak umpat saja. Kasihan Tania, berkali-kali bertanya dan dia harus berbohong, bersikap seolah-olah tidak tahu.
"Om."
Nero menoleh.
"Belum bobok?" tanya gadis itu polos.
"Bentar lagi."
"Mikirin apa?"
"Kamu." Nero menatap wajahnya. 
Gadis itu tertunduk malu. Dengan posisi tubuh merapat seperti ini, mereka bisa merasakan detak jantung satu sama lain. Irama yang berdentam-dentam, kontras bereaksi dengan salah satu bagian dari tubuh Nero.
Lelaki itu sangat siap, hanya menunggu izin. Selama ini dia memang tidak mau memaksakan. Baginya, keintiman suami istri itu harus dilakukan senang senang hati dari kedua belah pihak. 
"Aku kenapa?" Dia memilin kaus Nero, membuat suaminya tak sabar ingin menerkamnya sekarang. 
"Dulu waktu kamu kecil seneng banget lari-lari di taman. Sekarang udah gede. Makin cantik, jadi istri aku lagi." Nero kembali mengangkat dagunya. 
Tania menjadi gemetaran ketika Nero mendekatkan dirinya. Tania memejamkan mata saat lelaki itu merapatkan pelukan.
“Boleh?” Dia bertanya dengan gamblang. 
Ketika anggukan kecil disertai senyuman manis dari istrinya muncul, dia menarik napas lega. Akhirnya setelah berbulan-bulan menahan rindu, dia bisa menunaikan kewajiban malam ini. 
"Jangan takut. Aku enggak akan nyakitin kamu." bisiknya.
Tania mengangguk. Lagi. Tak sanggup berkata. Lidahnya kelu. Hanya bisa menatap wajah tampan suaminya. 
"Kok diem? Takut?"
Gadis itu menggeleng. Padahal dalam hati rasanya ingin segera melepaskan diri dan lari ke luar kamar. Sudah kadung masuk, mana bisa keluar lagi, Tania.
"Kalau nggak mau ngomong, nanti aku kiss sampai lemas." 
Dia memukul dada bidang itu, tapi kedua tangannya malah di kunci sehingga tidak dapat bergerak. Kini Nero malah membalik posisi tubuh, sehingga berada di atasnya. 
"Berat," Gadis itu menggeliat. Gerakan tubuhnya itu malah membuat naluri jantan Nero semakin berkibar.
"Sekarang, ya?"
"I-ya, Mas," ucapnya terbata. 
Apa? Mas? Rasanya Nero ingin berlari-lari dan bersorak kegirangan ketika Tania memanggilnya dengan sebutan itu.
Kalau begitu tunggu apa lagi? Ayo Nero tuntaskan semua malam ini. Berikan yang terbaik. Bimbinglah istrimu.

Book Comment (307)

  • avatar
    FriyatanJeffrey

    god

    17d

      0
  • avatar
    WahyudinBayu

    yes

    19d

      0
  • avatar
    Ayunie jmAtiqah

    love it

    20/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters