logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 14 Tanteku Sayang

Tania berteriak kegirangan saat membuka pintu. Wajah Ovi yang cantik muncul di depan rumah mereka. Ditangannya terdapat banyak oleh-oleh yang dibawa dari Malaysia.
"Tante!" Tania mengambur ke dalam pelukan wanita itu.
"Sayang!" Ovi membalasnya dengan penuh kerinduan. Bibirnya mencium pipi kiri dan kanan Tania dengan gemas.
"Kok tante enggak bilang mau datang? Kan bisa aku jemput," tanya Tania. 
"Jangan sayang. Nanti kamu capek. Lagi program hamil jangan banyak keluar. Di rumah aja," bisik Ovi. 
Program hamil? Siapa?
"Ayo masuk. Bik Ijah habis masak. Makan dulu." Tania menarik lengan tantenya. 
Mereka masuk ke dalam rumah sambil bercerita. Segala macam barang bawaan Ovi diletakkan di ruang tamu. Dapur, menjadi tujuan utama. 
"Wah, kangan masakan Bibik. Yuk, ah. Tante lapar." Ovi mengusap perutnya. 
"Tante kapan berangkatnya dari sana?"
Tania menarik kursi dan mereka duduk berhadapan. Bibik membuka tutup sajian. Seketika terciumlah aroma masakan yang menggugah selera. Dia yang tadinya sudah makan, jadi berselera kembali. 
"Tadi pagi-pagi. Habis kamu telpon curhat minggu lalu sambil nangis itu, tante minta ijin sama Mike ke sini," jelasnya. Ovi mulai mengambil nasi dan lauk. Menikmati setiap suapan yang masuk ke mulutnya. 
"Uncle enggak marah?" Mata Tania mendelik. Setahunya, omnya yang bule itu sayang sekali kepada Ovi, sehingga sulit berpisah lama. Sewaktu acara pernikahannya dulu saja, Mike meminta cepat pulang ke Malaysia.
"Tante sebentar aja. Tiga hari." 
"Gimana kabar uncle sama Bryan, sehat?" Tania menambah lauk. Sejak menikah, porsi makannya meningkat. Mungkin karena secara finansial juga lebih terjamin, maka dia bebas berbuat sesukanya.
"Sehat saja, sayang. Papa kamu gimana?" tanya Ovi.
"Sehat. Cuma papa kok aneh. Habis pulang waktu itu kayaknya makin lemes. Jarang ke kantor banyak istirahat di rumah. Apa papa sakit?"
Ovi tersedak. Tania dengan cepat mengambilkan air minum. 
"Papa bilang apa sama kamu?" katanya setelah segelas air lolos ke dalam tenggorokannya. Wajahnya memucat. Serba salah, antara ingin bercerita atau menyimpan amanah kakaknya.
"Enggak bilang apa-apa. Cuma bilang papa udah tua. Papa minta aku belajar sama om. Terus minta ...." kata terakhirnya menggantung. Terasa berat bagi Tania untuk diucapkan. Dia malu membahas tentang itu. 
"Cucu?" tebak Ovi.
Tania mengangguk.
Ovi meletakkan sendok dan garpu di piring. Sepertinya ini harus diluruskan. Dia menduga ada sesuatu yang tidak beres dengan pernikahan ini. 
"Besok kita ke rumah papa," katanya tegas. "Malam ini tante nginap sini aja dulu. Boleh?"
Tania mengangguk. Lagi. "Eh, tapi tante bobok sama aku, ya," jawabnya cepat. Dia takut ketahuan.
"Loh kok sama kamu. Nero?" tanya Ovi bingung.
Gadis itu menunduk dan mengaduk nasi yang ada di dalam piring. 
"Kalian pisah kamar?" tanya Ovi lagi. 
"Iya," lirih suaranya, nyaris tak terdengar.
"Kapan mau hamilnya kamu? Kata Mas Bram bilang kamu lagi program," cecar Ovi. Sungguh dia tak menyangka, ternyata rumit juga masalahnya.
"Kapan papa bilang gitu?"
"Habis kamu telepon waktu itu, tante langsung hubungi papa. Tanya keadaannya. Katanya kamu lagi program mau ngasih cucu."
Gadis itu kembali mengaduk nasi, tak berniat melanjutkan makan. Seleranya tiba-tiba saja hilang.
"Makanya tante bingung. Kok beda-beda versi kamu sama papa. Terus langsung ke sini. Kayaknya ada yang janggal."
Tania menyodorkan sisa lauk ke dekat piring Ovi. "Tante makan aja dulu habis itu istirahat. Nanti aku ceritain semua."
***
Ovi mengelus lembut rambut Tania yang terisak di pelukannya. Mereka berbaring di ranjang kamar.
"Setiap orang mempunyai takdir yang berbeda. Misalnya ini, tante nikah sama uncle Mike. Harus menetap di Malaysia. Padahal tante tu ga mau ninggalin kamu sama papa. Waktu itu kamu masih kecil dan harus kehilangan mama. Tapi itulah takdir dan tante menerima," jelasnya panjang lebar.
"Tapi aku belum siap. Kenapa papa paksa aku." Gadis itu menghapus air mata. 
"Papa pasti punya alasan sendiri. Nanti juga kamu tau." Ovi mendekapnya erat. "Atau tanya aja sama papa biar kamu enggak penasaran."
"Aku pengen kuliah. Pengen nikmatin semuanya. Terus papa maksa aku nikah. Sekarang malah minta cucu."
"Papa dari dulu selalu nurutin maunya kamu. Kenapa sekali ini aja kamu ga bisa memenuhi permintaan dia?"
"Aku mau ikut tante aja." sungutnya.
"Kalau dari dulu boleh, kamu dari kecil udah dibawa. Tante enggak rela kamu diasuh Ijah, walaupun dia baik. Cuma tante pikir kalau kamu dibawa kasihan papa. Udah kehilangan istrinya, masa anaknya mau diambil juga."
"Aku belum siap."
"Belum siap apa?"
"Jadi ibu. Aku enggak tau gimana nanti anakku. Aku enggak ngerti,” jawab Tania.
"Ada tante, sayang. Tante bakal dampingi kamu."
"Tapi kan jauh."
"Kan bisa pulang tiap bulan. Jakarta-Malaysia tu deket,” kata Ovi. “Lagian Bryan juga udah gede."
"Tapi, Tante ..."
"Sayang. Kamu sekarang udah jadi istri Nero. Dia laki-laki baik. Papa kamu sudah menyerahkan anaknya kepada orang yang tepat."
"Iya. Aku tau. Om memang baik. Tapi dia kan ...."
"Dia suami kamu. Kamu enggak boleh manggil dia om lagi. Kalau masih begitu, selamanya dipikiran kamu dia om, bukan suami." Ovi berkata tegas.
"Malu."
"Jangan malu. Nero pasti seneng kamu panggil mesra." Ovi mengedipkan mata.
"Terus aku juga harus la-ya-ni dia?" ucapnya ragu.
"Iya, wajib. Dosa kalau nolak suami. Lagian, kamu mau Nero main sama cewek lain gara-gara kamu cuekin?"
Tania tersentak, dia baru sadar. Kenapa dia tidak terpikir tentang hal itu? Bagaimana kalau Nero bermain di luar? Apa dia rela suaminya berduaan dengan wanita lain? Gadis itu menggeleng. Dia tidak rela. Dia sayang suaminya.
"Satu lagi. Jauhi Rizal. Kamu cuma suka atau kagum sama dia. Tante yakin perasaanmu bukan cinta." Nasehat Ovi berlanjut panjang. Dia ingin, keponakannya ini menyadari perasaan yang sebenarnya. Selama ini, dia sebagai pengganti Andrea yang telah tiada. Hanya dia yang dekat dengan gadis ini.
"Aku cintanya sama siapa? Sama Om Nero juga enggak. Aku biasa aja kalau deket dia."
"Tanya hatimu. Rela enggak kalau suami dekat sama cewek lain? Kalau enggak berarti kamu cinta. Cuma selama ini kamu belum sadar."
"Ah, enggak mungkin." Dia mengelak. Menyangkal perasaannya sendiri. 
"Buktinya dulu waktu Nero mau nikah sama Saskia kamu ngambek. Nangis di kamar."
Tania tersipu malu.
"Nero itu cinta sejatimu. Sudah ada dan tumbuh sejak kamu masih kecil. Karena itu kamu enggak pernah dekat sama cowok lain." Ovi menunjuk dada Tania.
"Itu kan papa yang larang."
"Bukan gitu. Yakin, deh. Biar papa larang juga, anak seusia kamu pasti bisa nekat kalau suka sama cowok. Buktinya enggak, kan? Kamu dari dulu nempel terus sama Nero."
"Kok tante tahu? Emang dulu tante pernah nekat ya waktu suka sama cowok?" Tania menjadi penasaran dengan kata-kata Ovi barusan. Dia memang masih polos sekali, tak terlalu mengerti tentang cinta, apalagi kehidupan. 
Ovi memeluk erat keponakannya. Dia sayang Tania. Dia ingin anak perempuan, tapi Tuhan menganugerahkan anak lelaki. Sampai sekarang di usianya, belum diberikan keturunan lagi. 
"Rahasia." Ovi mengedipkan mata, dan berujung pada pukulan Tania ke dadanya. Dia tergelak. "Malam ini kamu tidur sama Nero. Oke?" bisiknya.
Tania mengangguk dan tersipu ... malu.

Book Comment (307)

  • avatar
    FriyatanJeffrey

    god

    17d

      0
  • avatar
    WahyudinBayu

    yes

    20d

      0
  • avatar
    Ayunie jmAtiqah

    love it

    20/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters