logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 6 Kebun Apel

"Ayo semuanya antri! Sebelum kalian masuk ke dalam kebun apel, silahkan ambil topi dulu!"
Aku tersenyum. Melihat perempuan dengan baju putih, dengan kartu nama yang menggantung di lehernya. Rambut panjangnya yang diikat, dan kaca mata bundar yang bertengger manis di hidungnya yang mungil membuat perempuan tersebut terlihat menggemaskan di mataku.
"Aku juga ingin memakai kacamata," gumamku tanpa sadar.
"Untuk apa, kau kan tidak ada masalah dengan matamu."
Aku mengerucutkan bibirku sebal, melirikkan mataku ke pria bersurai hitam yang menjawab ocehanku.
Hari ini, tidak seperti hari-hari lainnya yang terlihat suram dan dingin. Hari ini teman sekelasku terlihat bahagia. Mereka tersenyum kecil ketika menerima topi rajut berwarna krem yang lebar tersebut.
Mereka memakainya dengan senang hati, kemudian melangkah masuk ke dalam kebun kecil yang penuh dengan apel-apel yang telah berjatuhan.
"Ini, pertama kalinya aku pergi ke kebun apel."
"Kalau begitu, kau harus memakan apel yang banyak nanti," ujarnya sambil melangkahkan kaki ke depan.
Aku mengangguk setuju, melangkahkan kakiku ke depan menunggu pasangan di depanku ini menerima topi rajut mereka.
"Terima kasih, silahkan ambil apel sebanyak yang kalian mau!"
Aku tersenyum, melangkahkan kakiku ke depan, ke hadapan perempuan imut pembagi topi. Dia tersenyum ramah padaku lalu mengambil sebuah topi rajut dari atas meja di depannya.
"Kalian sudah sarapan, kan?" tanyanya sambil memberikan benda pelindung kepala itu padaku.
Aku menerimanya, menganggukkan kepalaku. "Kami sudah sarapan tadi."
"Kalau begitu bagus. Aku tidak ingin kau pingsan lagi seperti kemarin Karin," ujarnya sambil memberikan topi kepada Ray.
Aku tertawa kecil, memakai benda bundar tersebut ke kepalaku sebelum masuk ke dalam kebun apel.
"Wah banyak sekali apelnya!" ujarku dengan riang ketika melihat beberapa apel yang masing tergantung di pohon, dan beberapa yang sudah jatuh di rerumputan hijau.
Apel tersebut berwarna merah, dengan ukuran yang besar. Rasa penasaranku memuncak, membuat kedua kaki mungil ini berlari ke salah satu pohon apel terdekat.
"Ray bantu aku mengambilnya!"
Aku berjinjit, dengan jari telunjuk yang menunjuk ke arah apel merah besar yang menggelantung di ranting pohon.
"Tapi kita belum diberikan keranjang," ujar Ray menatap ke sekeliling kebun.
"Keranjang?" tanya aku bingung.
"Iyah. Biasanya kalau ke sini, kita akan mendapatkan keranjang dari rotan untuk menyimpan apel."
Aku mengernyitkan dahiku bingung, mendengar jawaban dari pria bersurai hitam tersebut. "Biasanya? Kita kan baru saja ke sini hari ini. Apa mak--"
"Maaf! Kalian pasti telah menunggu."
Teriak seorang pria, dengan langkah kaki yang tergesa-gesa menghampiri kami berdua.
Pria tersebut berbadan besar. Bajunya putih sama seperti pemberi topi tadi, dan di tangannya terdapat tiga buah keranjang rotan.
Aku tersenyum, ketika melihat pria tersebut memberikan keranjang rotan yang dia bawa padaku. "Terima kasih."
"Pilihlah apel yang merah, dan tidak berlubang," sarannya dengan senyuman ramah.
Aku tertawa pelan menganggukkan kepalaku mengerti.
"Ray tolong jaga Karin, karena Karin takut sekali dengan ulat bulu," goda pria itu pada Ray.
Aku tertawa keras, menutup mulutku dengan tangan. "Semua orang takut ulat bulu!"
"Tidak juga. Aku buktinya," sanggah Ray dengan nada menyebalkan dan satu alis yang terangkat satu.
Aku berdecih kesal, kemudian melambaikan tanganku pada pria pemberi keranjang tersebut.
"Kenapa keranjangnya tidak diberikan saat masuk saja ya? Maksudku pada saat diberikan topi tadi," ujarku dengan tangan yang memegang keranjang.
Ray bersenandung kecil, seperti tengah berpikir jawaban apa yang dia berikan padaku. Tangan kanannya sibuk, mengambil apel-apel merah besar itu, lalu memasukkannya ke dalam keranjang. "Karena wali kelasku bilang, sering kali murid-murid asrama di sini pingsan."
"Apa hubungannya pingsan dengan keranjang?" tanyaku bingung.
"Mereka sekalian berpatroli. Jadi saat memberikan keranjang, mereka juga bisa mengawasi kita. Jadi untuk Nona Karin, jangan melakukan hal aneh ya," ujarnya sambil menyodorkan sebuah apel kepadaku.
Aku tersenyum kecil, mengambil apel tersebut dan memakannya.
"Humm manis."
Rasa manis dan sedikit asam, menjalar ke dalam papilia-papilia lidahku. Aku tersenyum senang, merasakan sari-sari buah berwarna merah itu yang tengah menari-nari di dalam rongga mulutku.
"Harusnya kau lap dulu dengan bajumu. Apa kau tidak takut kalau ada bulu-bulu ulat yang menempel di apel."
Aku terdiam. Setelah menelan seluruh apel yang telah aku kunyah, napsu makanku tiba-tiba saja menghilang. Mendengar sesuatu yang menyebalkan dari pria bersurai hitam di depanku, membuatku sontak ingin sekali menyemburkan apel di dalam mulutku ke wajahnya.
"Ray! Jangan berkata seperti itu, aku jadi tidak napsu makan!"
Dia tertawa kencang, kemudian membalikkan badannya membelakangiku, berjalan meninggalkan aku yang berteriak keras.
"Ray!"
Aku mendengus sebal. Menghentak-hentakkan kakiku kesal, berjalan menyusul pria menyebalkan tersebut.
"Karin, ini cobalah."
Tubuhnya yang lebih besar dariku tiba-tiba saja berhenti. Dia menyodorkan sebuah apel besar, dengan warna yang tidak terlalu merah.
Aku menggeleng, mengangkat apel yang masih tersisa di tanganku. "Aku masih memakan apel yang kau berikan tadi."
"Ini rasanya manis asam. Kau pasti akan suka," ujarnya kemudian menaruh apel tersebut di keranjang.
“Oh?”
Aku mengerjap-ngerjapkan mataku, saat merasakan perasaan taka sing ketika mendengar ucapan Ray. Wajahku datar, dengan mulut yang tiba-tiba berhenti mengunyah apel yang ada di tanganku.
“Ada apa?”
Aku tersadar dari lamunanku. Kepalaku menggeleng pelan, kembali memakan buah apel yang ada di tanganku. “Mungkin hanya perasaanku saja,” batinku.
Guru-guru di asrama ini benar. Berkunjung untuk mengambil apel benar-benar membuat hati senang. Seperti Ray. Pria bersurai hitam itu terlihat bahagia. Dia terus saja mengambil apel-apel di kebun ini, sambil memasukkannya ke keranjang. Aku tersenyum miring, memperhatikan tubuhnya dari belakang.
"Kau harus makan satu," ujarku tiba-tiba.
Kepalanya menghadapku. Aku menatapnya datar, lalu menyodorkan sebuah apel berwarna merah padanya.
"Aku belum lapar, tapi karena kau menyuruhku ... maka aku akan memakannya."
Dia menggigit apel tersebut. Tersenyum ke arahku, dengan tangan kanan yang mendarat tepat di atas topi rajut yang sedang ku kenakan. Aku mengerjapkan kedua mataku bingung, menatap pria bermanik coklat itu.
“Apa hubunga—“
"Ayo kita ke sana! Di sebelah sana apelnya besar-besar!"
Dia menarik tanganku. Membawa tubuh dan otak yang sedang kebingungan ini pergi, ke tempat yang ingin ia tunjukkan.
Aku bingung.
Tidak hanya seperti mengenalku, tetapi pria ini terlihat benar-benar mengenal tempat ini.
Apakah mungkin Ray memang pernah kemari sebelum sekolah di mulai?
Aku ingin menanyakan hal tersebut, tapi takut.
Entah apa yang aku takutkan, tapi hati kecilku terus berkata jangan.
Aku menggelengkan kepalaku pelan, dengan kedua kaki yang terus berlari kecil mengikuti pria bersurai hitam yang tengah menggenggam tanganku lembut.
"Mungkin, nanti ... aku akan menanyakannya."

Book Comment (47)

  • avatar
    AqilMuhammad

    I so like it and its the novel

    1d

      0
  • avatar
    Dimaspryoga

    NOVEL NYA SANGAT BAGUS

    22/07

      0
  • avatar
    AdiAfriadi

    yes

    18/07

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters