logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 5 Pelukan

Aku mengernyitkan dahiku. Berusaha berpikir, apa yang sebenarnya terjadi. Rasa penasaranku memuncak. Sudah berada di level paling tinggi.
"Apakah kau ...."
"Karin, kau harus istirahat."
Dia memotong ucapanku yang belum selesai. Aku mengerucutkan bibirku sebal, menarik selimut sampai atas kepalaku.
“Ucapanku dipotong terus,” batinku kesal.
Aku menghela napasku kesal lalu memejamkan kedua mataku dengan tenang. "Iyah aku akan istirahat, terimakasih karena sudah menolongku."
Tempat tidurku berdecit naik. Aku membuka mataku sedikit, mencoba melihat apa yang dilakukan Ray.
Pria bersurai hitam itu beranjak pergi dari ranjang yang kecil ini ternyata. Dia berjalan, melangkahkan kakinya ke tempat tidur yang ada di sebelahku.
"Selamat malam Karin," ujarnya datar.
Aku memiringkan tubuhku menghadap tembok, membelakangi tempat tidur pria itu. "Selamat malam."
Aku berdoa dalam hati, "Ini hari pertama aku sekolah, tapi aku malah pingsan huft. Semoga besok tidak terjadi lagi.”
***
Aku menggelengkan kepalaku pelan. Tubuhku yang mungil menggelung, merapatkan kulit-kulitku yang kedinginan ke dalam selimut tebal.
Suara-suara sambaran petir terdengar jelas di telingaku. Membuatku resah dan tak nyaman.
Aku merasa terintimidasi oleh suara petir mengerikan ini.
Aku terbangun. Manik hitam legamku menerawang, berusaha menangkap cahaya-cahaya minim yang berada di kamar tidur gelap ini.
Tubuhku sedikit terkejut. Aku menutup kedua kupingku, berusaha menutupinya agar suara petir-petir tersebut tidak mengganggu seekor siput yang tengah tertidur di dalam telingaku.
"Aku benci hujan," gumamku dengan tubuh yang menggigil.
Aku meringis pelan dengan bibir yang mulai bergetar. Aku kedinginan dan ketakutan, seperti anak kucing terlantar di bawah kolong jembatan.
“Siapapun tolong aku ….”
Dan doaku terkabul dengan cepat.
Tubuhku terlonjak kaget, sontak mendudukan diriku di ranjang ketika merasakan tangan seseorang menyentuh pundaku. “Ray …,” lirihku ketika melihat pria bersurai hitam itu tengah berada di samping ranjangku. "Kau takut?"
Aku diam. Diantara malu dan gengsi, aku tidak dapat menganggukkan kepalaku begitu saja di depan pria yang baru saja ku kenal sehari.
Dia diam, menatapku dalam. Menunggu bibir mungil ini memberikan jawaban atas pertanyaannya.
"Kau tidak perlu menjawabnya jika tidak ingin. Maaf kalau aku terlihat memaksa," ujarnya pelan dengan telapak tangan yang mengelus rambutku.
Aku bingung.
Dia baru bertemu denganku selama satu hari. Tetapi sikapnya, seperti teman lama yang sangat mengenalku.
Dia bersikap lembut dan perhatian. Meskipun kadang terlihat cuek dan tidak peduli.
Entah bagaimana aku mendekskripsikannya, tapi aku merasa beruntung dan senang. Memiliki teman sekamar sepertinya.
Aku menutup kedua telingaku lagi, dengan kelopak mata yang terpejam saat mendengar suara petir itu datang kembali. Dadaku mulai berpacu cepat. Bukan hanya karena suara petir, tapi karena Ray.
Dia memelukku tiba-tiba. Menenggelamkan kepala mungil ini di dadanya yang bidang.
“Jantung Ray,” batinku.
Deguban jantungnya terdengar sangat keras. Tidak ada bedanya dengan suara jantungku.
Dia memelukku semakin dalam, dengan tangan yang terus mengelus surai hitam panjangku. "Jangan takut Karin."
Aku mengangguk pelan membalas pelukan pria bersurai hitam itu. "Terima kasih."
Dia menaikan selimut, menutupi tubuhku yang sedikit kedinginan. “Tidurlah yang nyenyak. Jangan takut, aku ada di sini.”
Mataku terpejam. Aku tersenyum kecil, menikmati rasa hangat dan aman yang pria ini salurkan padaku.
"Ini pertama kalinya dalam hidupku, aku menerima pelukan hangat seperti ini," ujarku dalam hati.
"Tidurlah."
Bagaikan mantra sihir. Perintah yang dia keluarkan dari bibirnya itu benar-benar terjadi.
Kedua mataku menjadi mengantuk. Aku mulai lelah. Membuatku mau tidak mau harus mengistirahatkan pikiran dan hati ini.
"Selamat malam Karin."
Aku tersenyum kecil menjawab pertanyaan pria bersurai hitam ini, “Terima kasih. Selamat malam juga Ray.”
***
Aku mengerjapkan kedua mataku, mengusapnya perlahan ketika merasakan cahaya terang yang kian masuk dari celah-celah jendela.
Pupil mataku mengecil saat menerima cahaya terang yang menerobos masuk tersebut.
"Ugh, jam berapa ini?"
Aku melenguh pelan seraya mengedarkan pandanganku ke sekitar, melihat keadaan kamar yang terlihat rapih dan bersih.
"Baik kalau begitu terima kasih."

Sayup-sayup aku mendengar, suara laki-laki yang menidurkanku semalam dari balik pintu kamar.
Dia terdengar seperti sedang berbicara dengan seseorang. Meskipun aku tidak melihat siapa, tapi aku yakin itu perempuan.
Akhirnya setelah berpikir dan memfokuskan pikiran aku mulai duduk di ranjangku.
"Aku harus mencuci mukaku," gumamku kemudian turun dari benda empuk nan hangat itu.
Suara pintu yang tidak mengenakan pun terdengar.
Aku mendongakkan kepalaku, melihat seseorang yang baru saja masuk ke dalam kamar. Dia tersenyum kemudian menghampiriku. "Tidurmu nyenyak?"
Hawa panas dari tubuhku tiba-tiba saja keluar. Mengingat bagaimana semalam kami berpelukan. Berbagai rasa hangat satu sama lain dalam satu selimut, membuat kedua pipi ini terasa panas seketika.
"Y-ya ... u-um, tentu saja!"
Aku menjawab pertanyaannya gugup. Langkah kakiku cepat, berjalan melewati pria bersurai hitam itu dan segera masuk ke dalam kamar mandi.
Aku berjalan ke arah wastafel mini kemudian membuka keran besi tersebut. "Kenapa aku jadi gugup?"
Aku menangkupkan kedua tanganku. Membentuk jari-jermari tersebut menjadi sebuah mangkuk.
"Wah segar," ujarku sambil membasuk wajahku dengan air yang ku kumpulkan.
Ketukan pintu menginterupsi kegiatanku di dalam kamar mandi.
"Karin, apa kau sudah selesai?"
Aku mendongakkan kepalaku, mengelap wajahku yang basah dengan handuk kecil yang tergantung di dekat wastafel.
“Aku baru saja masuk, kenapa sih dia tidak sabaran?” gumamku kesal sambil terus mengelap wajahku.
"Karin?"
Helaan napas panjang keluar dari mulutku. Dengan berat hati akhirnya aku pun berjalan, mendekati pintu tersebut.
"Ada apa?" tanyaku singkat dengan wajah datar.
"Aku ingin memberitahukan padamu, soal jadwal kelas kita hari ini," ujarnya dengan wajah datar.
"Oh? Aku pikir aku diberikan libur karena sakit kemarin hehe." Aku menggarukkan pipiku, dengan senyuman kecil.
"Apa kau masih sakit? Kepalamu terasa pusing?"
Dia terlihat khawatir. Wajah yang tadinya datar, berubah cemas ketika aku bilang sesuatu seperti itu. Manik coklat indahnya terlihat sedikit bergetar menatap wajahku dengan lembut.
"Tidak, aku hanya merasa ... Uhhmm."
Seperti tidak tahu apa yang harus dikatakan. Kata-kata yang keluar dari mulutku pun sangat tidak jelas. Otakku berhenti berfungsi, setelah melihat reaksi tak terduga dari pria di depanku ini.
"Syukurlah kau terlihat sehat. Kalau begitu, bersiaplah. Kita akan memanen buah apel."
Dia tersenyum lega, membalikkan tubuhnya berjalan menjauhiku.
"Memanen buah apel?" tanyaku bingung dengan kaki yang mengikuti pria bersurai hitam itu.
"Iyah. Seminggu sekali kita akan mengumpulkan apel. Kata guru di sini, itu hal yang bagus agar para murid asrama bisa lebih mengenal alam."
Aku menganggukkan kepalaku mengerti, menatap ke luar jendela yang masih tertutup gorden.
"Memanen apel? Wah aku jadi tidak sabar. Semoga hari ini, lebih baik daripada hari kemarin," harapku dalam hati.

Book Comment (47)

  • avatar
    AqilMuhammad

    I so like it and its the novel

    1d

      0
  • avatar
    Dimaspryoga

    NOVEL NYA SANGAT BAGUS

    22/07

      0
  • avatar
    AdiAfriadi

    yes

    18/07

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters