logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 6 Dalam Bahaya

Sore ini, seperti biasa aku bekerja paruh waktu sepulang sekolah. Suasana terlihat cukup ramai hari ini. Banyak orang berbelanja di Mini Market tempatku bekerja. Hal itu tentu saja membuatku dan rekan-rekan kerja yang lain sangat sibuk. Pada awalnya, aku berniat menceritakan kejadian hari ini pada Kak Akane, tapi tampaknya bukan waktu yang tepat untuk mengobrol di tengah-tengah kesibukan kami sekarang ini. Aku tidak ingin pekerjaanku terganggu, karena itu kutepis semua pemikiran tentang Kyo. Masih tak kumengerti kenapa belakangan ini selalu Kyo yang muncul di pikiranku. Entah di saat aku sedang belajar di kelas, melamun di rumah ataupun sedang di tempat kerja seperti sekarang. Sosok Kyo tak hentinya terbayang di kepalaku. Apa yang terjadi padaku sebenarnya? Ingin rasanya meminta pendapat Kak Akane, sayangnya aku harus bersabar sampai pekerjaan kami selesai.
Seperti biasa aku melayani para pembeli dengan ramah, selalu tersenyum dan menyapa pembeli meski selelah apa pun yang kurasakan ini. Antrian kasir sangat panjang dan belanjaan mereka pun cukup banyak. Meja kasir yang biasanya hanya buka satu, kini membuka dua. Aku dan Kak Akane yang bertugas sebagai kasir.
“Tolong cepat ya, saya sedang buru-buru,” ucap salah seorang ibu yang terlihat gelisah dan tak sabaran.
“Baik, Bu,” sahutku, masih berusaha bersikap ramah.
Aku menghitung belanjaannya cepat, dan saat ingin kukembalian uang kembaliannya.
“Tidak perlu, untukmu saja kembaliannya,” ujar sang ibu yang sempat membuatku melongo. Sisa uangnya cukup banyak namun dia berlari tergesa-gesa tanpa menunggu responku.
“Sudah terima saja,” bisik Kak Akane yang mungkin mendengar ucapan ibu itu. “Anggap saja bonus,” tambah Kak Akane sambil terkekeh. Aku heran dengan rekan kerjaku yang satu ini, meski sedang sibuk masih sempat-sempatnya mengomentari kejadian yang menimpaku. Merasa tak ada salahnya menerima saran Kak Akane, aku pun memasukan uang kembalian itu ke saku celanaku. Kemudian kembali kulanjutkan melayani pembeli yang lain.
Kesibukkan ini membuat waktu terasa berjalan sangat cepat. Kini jam menunjukkan pukul 9 malam, tiba saatnya Mini Market ditutup. Selain itu, sudah tak terlihat lagi orang yang berbelanja. Memang seperti inilah di daerah tempat tinggalku, suasana sangat sepi jika sudah pukul 9 malam.
Setelah menghitung jumlah belanjaan dan disamakan dengan uang setoran, aku dan Kak Akane bergegas melaporkannya pada boss. Boss sangat senang karena Mini Market sangat ramai sehingga penghasilan pun sangat besar. Boss kami memang sangat baik, tidak pernah segan-segan memberikan bonus untuk kami jika sedang ramai. Itulah yang sedang dilakukannya sekarang, membagikan uang bonus meski jumlahnya tak seberapa tapi cukup membuat kami tersenyum lebar. Jerih payah kami rasanya dihargai oleh sang boss.
Seperti biasa setiap akan tutup, kami berdoa bersama. Kami pun bergegas mengganti pakaian di Pantry. Setelahnya, pintu toko akan ditutup oleh karyawan laki-laki.
“Sampai jumpa besok, Hanna,” ucap Kak Akane sambil melambaikan tangannya padaku. Dirinya sudah bersiap untuk pergi.
“Sampai jumpa besok juga, Kak,” sahutku sembari balas melambaikan tangan.
Setelah berpamitan dengan semua rekan kerja, aku berjalan seorang diri menuju rumah. Memang seperti inilah yang kulakukan setiap malam, berjalan kaki seorang diri karena memang jarak rumahku dan Mini Market tidak terlalu jauh.
Tidak ada orang yang berlalu-lalang di sepanjang jalan. Mungkin semua orang sudah meringkuk nyaman di ranjang masing-masing. Atau mungkin mereka sedang menonton tv bersama keluarga di rumah. Yang pasti hanya aku seorang yang menelusuri jalan sepi nan gelap ini.
Aku menengadah menatap langit gelap tanpa bulan maupun bintang. Mungkinkah akan turun hujan karena langit terlihat sangat mendung?
Mengabaikan suasana senyap nan mencekam ini, aku mempercepat langkahku. Yang kuinginkan hanya satu yaitu segera sampai di rumah karena angin malam terasa dingin menusuk hingga ke tulang. Meski tubuhku ditutupi kardigan tipis namun hangat tetap tak cukup menghalau dinginnya angin malam ini.
Akan tetapi, tiba-tiba perasaanku tidak nyaman. Aku merasa ada dua pria yang berjalan di belakangku saat ini. Aku menoleh ke belakang, benar ada dua pria yang sedang berjalan tepat di belakangku. Aku menepis semua pemikiran negatif, kuyakini mereka hanya kebetulan satu arah denganku. Aku pun semakin mempercepat langkah, berharap rumahku akan segera terlihat.
Namun, aku mulai merasa takut ketika terdengar suara langkah kaki yang tengah berlari tepat di belakangku. Dalam sekejap kedua pria itu menyusulku dan kini sedang berdiri di depanku. Mereka berniat menyentuhku, tapi dengan cepat kutepis tangan mereka dan aku berlari sekencang-kencangnya. Aku tidak bisa berlari ke arah rumah karena mereka menghadang jalanku. Aku berlari kembali ke arah Mini Market, berharap salah satu rekan kerjaku masih berada di sana.
“Tolong, Tolong!”
Aku terus berlari sambil tiada henti berteriak, tapi percuma jalanan ini sangat sepi dan tak terlihat seorang pun di sini. Aku semakin ketakutan saat menyadari kedua pria itu masih mengejarku. Mini Market tempatku bekerja sudah sepi ketika akhirnya aku melintas di depannya. Tak ada satu pun rekan kerjaku di sana yang menandakan mereka sudah pulang. Tidak ada pilihan selain terus berlari. Ada sebuah celah di samping Mini Market, aku pun berlari ke sana dan bersembunyi di belakang sebuah gerobak yang diletakan di sana. Jantungku berpacu dengan cepat saat memberanikan diri untuk mengintip dari celah gerobak, kedua pria itu sedang berdiri tepat di depan Mini Market. Mereka sedang menatap sekeliling mencari keberadaanku. Tak henti-hentinya aku berharap di dalam hati agar mereka tidak menemukanku. Pikiranku kosong, otakku tak bisa berpikir saat ini. Hanya ketakutan yang memenuhi pikiranku. Seandainya saja ada orang yang bisa aku mintai tolong, seketika itu pun aku mengingat Kyo. Andai dia ada di sini untuk menyelamatkanku? Seperti sebelumnya selalu datang di saat aku membutuhkan dirinya. Pemikiran ini terus terngiang di benakku.
“Kapan pun dan dimana pun kau membutuhkanku, tinggal menekan angka satu pada handphonemu maka kau akan terhubung dengan nomor handphoneku.”
Perkataannya saat itu terngiang-ngiang di pikiranku, haruskah aku menghubunginya? Mungkin saja dia sudah tidur karena waktu menunjukan malam sudah cukup larut. Aku juga tidak ingin terus merepotkannya.
“Dimana gadis itu?”
Cepat-cepat aku menatap ke depan saat percakapan dua pria itu tertangkap indera pendengaranku.
“Kita harus mencarinya, jangan berhenti mencari sebelum kita menemukannya. Dia pasti masih berada di sekitar sini.”
Mendengar pembicaraan kedua pria itu membuatku tak mampu lagi menahan rasa takut. Akhirnya aku mengeluarkan handphone yang kusimpan di dalam tas. Dengan tangan gemetaran, aku menekan angka satu. Kutatap layar handphone, berharap Kyo segera menjawab panggilanku. Tak terkira kelegaan yang kurasakan ketika akhirnya suara Kyo terdengar menyapa dari seberang sana, aku dengan cepat menempelkan handphone ke telinga.
“Hallo.. siapa ini?”
Suara ini sangat aku rindukan. Ketakutan ini tak mampu kutahan lagi. Air mataku pun sudah bercucuran, dengan suara bergetar dan sepelan mungkin aku berbicara pada Kyo.
“T-Tolong aku, Kyo,” bisikku lirih disertai isak tangis.
“Ha-Hanna, ada apa?” tanyanya panik, aku senang dia menyadari kalau ini aku hanya dengan mendengar suaraku.
“Ada dua pria mengikutiku, aku ...”
“HEI, AKU MENEMUKANNYA!!!”
Namun, sebelum menyelesaikan ucapanku, aku dikejutkan dengan teriakan salah seorang pria yang berhasil menemukan tempat persembunyianku. Dia memanggil temannya agar bergegas menghampiri. Ini gawat, jika mereka berdua menghadang jalanku lagi, kali ini aku sangsi bisa meloloskan diri.
Aku kembali mencoba melarikan diri, tapi pria itu berhasil menangkapku. Dia memegangi tubuhku, mengunci pergerakanku karena dia memelukku dari belakang sekarang. Aku mencoba melawan dengan memberontak hebat. Kedua tanganku memukuli lengan kekar si pria yang semakin memelukku erat dari belakang. Kedua kakiku pun tak tinggal diam, tak hentinya menendang dan menginjak kakinya. Tapi tubuhku tak bisa digerakkan lagi ketika kedua pria itu kini mencengkeram tubuhku dengan erat. Kedua tanganku dipegangi sehingga tak sanggup lagi melakukan perlawanan apa pun.
Salah satu dari mereka mulai menciumi leherku. Aku berteriak sekencang-kencangnya namun tak ada seorang pun yang datang untuk menyelamatkanku. Aku meronta-ronta, ketika kini hanya satu orang yang memegangiku. Air mataku semakin deras mengalir ketika pria yang menciumi leherku itu bermaksud merobek pakaianku. Dia menarik kardigan tipisku paksa sehingga robek di beberapa bagian. Aku tak menyerah untuk melawan mereka. Kutendang pria yang berdiri di depanku, dia pun merintih kesakitan. Aku berontak dengan hebat dan aku berlari sekencang-kencangnya begitu cengkeraman pria di belakangku terlepas.
“GADIS KURANG AJAR!! BERHENTI KAU !!”
Mereka masih mengejarku, aku berlari sekencang yang kubisa. Sayangnya kecepatan lari mereka melebihiku sehingga dengan mudah mereka berhasil menyusulku. Kini jarak kami sangat dekat dan sekali lagi mereka berhasil menangkapku.
Aku hendak berteriak meminta tolong tapi salah satu dari mereka membekap mulutku. Lalu dengan paksa mereka menyeret tubuhku mendekati sebuah mobil yang sudah terparkir. Mungkin itu mobil mereka. Salah satu pria duduk di kursi kemudi sedangkan yang satu masih memegangiku erat.
“Lepaskan aku, apa yang kalian inginkan?!” Aku membentak mereka. Alih-alih menjawab, mereka justru menertawakanku. Mobil pun melaju tanpa mampu aku melarikan diri. Aku tak tahu kemana mereka akan membawaku. Dan pertanyaan ini terjawab saat mereka berhenti di lahan perkebunan yang kosong. Ada banyak ilalang yang tumbuh tinggi, liar dan tidak terawat.
Begitu mobil berhenti sempurna, aku bergegas membuka pintu mobil, aku berniat berlari namun pria di sampingku sudah sangat mampu memprediksi rencanaku sehingga dia memegangiku sebelum sempat diriku keluar dari mobil. Bersama-sama mereka membopongku yang terus berteriak dan meronta. Naasnya tak ada siapa pun di sini, tak ada seorang pun yang bisa kumintai tolong.
Setibanya di lahan ilalang, mereka menjatuhkan tubuhku sehingga aku terjatuh dalam posisi menelungkup di tanah. Aku tak sanggup malawan tenaga kedua pria ini yang jelas jauh lebih kuat dariku. Dengan paksa mereka membalik posisi tubuhku menjadi terlentang. Salah satu pria kembali menciumi leherku, dia berniat mencium bibirku namun aku terus menghindarinya semampuku. Sedangkan pria yang satu lagi sibuk memotretku. Entah apa tujuan mereka melakukan ini padaku? Tenagaku terkuras habis, aku bahkan tak sanggup lagi melawan tubuh pria yang kini sedang menindihku. Aku tak ingin menyerah tapi aku sudah tak memiliki tenaga lagi untuk melawan. Ketika bibir pria itu sedikit lagi akan menyentuh bibirku, tiba-tiba beban berat yang menindihku menjauh, dan terdengar suara pukulan. Aku menatap ke arah depan dan betapa leganya ketika kutatap sosoknya yang kini berdiri di depanku. Orang yang begitu kuharapkan kehadirannya, kini benar-benar ada di hadapanku.
Kyo berkelahi dengan kedua pria itu, perkelahian mereka cukup sengit yang menandakan mereka sama-sama lihai dalam bela diri. Kyo dikepung oleh dua orang yang menyerangnya dengan bertubi-tubi. Satu orang melayangkan pukulan, namun Kyo mampu menangkisnya dengan mudah. Pria yang lain mengeluarkan sebuah senjata tajam dari pinggangnya, sebuah golok yang bilahnya terlihat mengkilat. Aku membekap mulut, tak kuasa menyaksikan saat pria itu berniat menebaksan golok ke arah Kyo. Beruntung Kyo berhasil menghindarinya, dengan gesit dan lincah Kyo terus melompat ke belakang.
“Awas, Kyo!” Refleks aku berteriak, memperingatkannya saat pria yang lain kini berniat menyerangnya dari belakang. Pria itu bersiap melayangkan pukulannya di kepala Kyo.
Kyo yang mendengar teriakanku, menendang si pria yang ada di belakangnya sehingga pria itu jatuh terjengkang. Sedangkan pria yang nyaris menghunuskan goloknya pada kepala Kyo itu berhasil dihentikan. Kyo menangkap bilah golok yang begitu tajam, membuat darah merembes dari telapak tangannya yang mungkin robek karena menahan golok yang tajam.
Air mataku semakin deras mengalir, aku ingin menyelamatkan Kyo, tapi tak tahu apa yang bisa kulakukan. Aku pun berteriak meminta tolong karena sadar hanya ini yang bisa kulakukan. Namun, pria yang satunya telah kembali berdiri, dia berlari menghampiri dan nyaris saja berhasil menangkapku lagi. Aku memberontak, kupungut ranting pohon yang tergeletak di dekat kakiku lalu kuayun-ayunkan untuk menyerangnya. Pria itu menangkap ranting di tanganku dan merebutnya dengan mudah. Sambil memasang seringaian di wajahnya, dia mematahkan ranting itu dengan begitu mudahnya.
“Arrrggh!”
Atensiku dan si pria teralihkan oleh suara teriakan yang tiba-tiba terdengar. Seketika kuembuskan napas lega begitu melihat Kyo berhasil membalik keadaan. Dia berhasil merebut golok dan situasi berbalik karena kini Kyo sedang mengunci pria itu dengan menahannya dari belakang disertai bilah tajam golok yang menempel di kulit leher si pria. Bahkan darah sudah merembes dari kulit lehernya yang sedikit tergores golok. Aku semakin menyadari betapa hebatnya Kyo karena dengan mudahnya dia berhasil membalikkan keadaan.
“Jangan bergerak atau aku akan mengiris leher temanmu?!” Kyo mengancam, pria di depanku sekarang tak mampu berkutik lagi. Keadaan ini kumanfaatkan untuk berlari menghampiri Kyo. Aku kini berdiri di sampingnya.
“Kenapa kalian melakukan ini padanya? Katakan yang sebenarnya jika kalian ingin selamat!!” bentak Kyo sembari semakin menempelkan golok pada leher pria yang sedang dia jadikan sandera.
“M-Maafkan kami, kami hanya menerima perintah dari seseorang,” jawab pria yang dijadikan sandera dengan suara bergetar, menahan takut.
“Siapa yang memerintahkan kalian melakukan ini?” Tidak ada satu pun dari mereka yang berniat menjawab pertanyaan Kyo. Kyo terlihat murka, dia semakin menempelkan bilah golok sehingga darah segar pun kembali mengalir dari leher si pria yang bergetar ketakutan.
“No-Nona Akemi, dia yang memerintahkan kami.”
Seketika itu pun aku terbelalak. Akemi, aku tak pernah mengira dia tega melakukan ini padaku.
“Dia memerintahkan kami untuk menodai gadis itu dan memotretnya.”
Aku terkulai lemas mendengar pengakuan kedua pria itu.
“Mohon lepaskan kami. Kami hanya mengikuti perintah,” pinta pria itu dengan tubuh yang semakin gemetaran hebat, pasalnya Kyo tidak main-main seolah dia benar-benar akan mengiris lehernya dengan golok.
“Hentikan, Kyo. Sudah cukup,” kataku.
Kyo terbelalak, “Tapi, mereka ....”
Aku menggelengkan kepala sembari menyentuh lengan Kyo. Wajahku sudah penuh dengan air mata, lututku pun terasa lemas hingga nyaris tak sanggup lagi menahan keseimbangan tubuh. Pengakuan kedua pria itu membuatku syok tiada tara. Tak kusangka Akemi setega ini padaku.
Melihatku yang nyaris tumbang, Kyo melepaskan pria yang disanderanya. Dengan gesit Kyo menopang tubuhku yang oleng dan nyaris terjatuh,
“Hanna kau baik-baik saja? Aku tidak datang terlambat, kan?”
Kyo bertanya dengan raut khawatir yang kentara, dia membantuku berdiri. Aku menggelengkan kepala untuk menenangkannya, berbohong dengan mengatakan diriku baik-baik saja, meskipun kenyataannya tidak demikian. Setelah mengetahui teman sekelasku berniat mencelakakanku sekejam itu, tentunya aku sama sekali tidak baik-baik saja sekarang. Aku bersyukur Kyo datang tepat waktu, terlambat sedikit saja, aku tak sanggup membayangkan yang terjadi padaku.
Kedua pria itu sepertinya sudah melarikan diri karena aku tak melihat sosok mereka lagi. Kamera yang digunakan untuk memotretku tergeletak di tanah. Kyo menginjak-injaknya sehingga kamera itu pun hancur berantakan.
“Ayo pulang, aku akan mengantarmu.”
Aku tak hentinya menangis, sedangkan Kyo hanya berjalan di sampingku sembari memapahku. Dia membawaku ke tempat motornya berada. Motor itu dalam kondisi tergeletak di tanah, bukti dia langsung berlari untuk menolongku tanpa mempedulikan motornya.
“Tunggu sebentar,” katanya sembari mendirikan motornya. “Ayo, naik!”
Aku hendak naik ke atas motornya, namun urung begitu melihat darah yang masih menetes keluar dari telapak tangannya yang robek karena tadi menahan golok.
“Tanganmu terluka,” ucapku lirih, kusentuh lengannya sembari kuperiksa keadaan telapak tangannya. Luka robek itu memanjang dan cukup dalam. Aku meringis, pasti rasanya perih sekali.
“Aku baik-baik saja,” jawabnya. Namun tak kupercayai. Dia terluka seperti ini gara-gara aku. Aku merobek kain kardigan yang kukenakan yang memang sudah robek di beberapa bagian karena ulah kedua pria itu. Lalu, aku membalut luka di telapak tangan Kyo dengan kain itu.
“Maaf,” kataku dengan kepala tertunduk. Air mataku yang sempat berhenti mengalir, kini kembali berjatuhan.
“Jangan meminta maaf. Kau tidak salah apa pun.”
“Aku selalu merepotkanmu. Sekarang kau terluka karena aku.”
Isak tangisku semakin menjadi. Kyo mendengus sebelum tiba-tiba menyentuh daguku, mendongakan wajahku yang tertunduk sehingga kini mata kami saling tatap.
“Berapa kali harus kukatakan, aku ini pelindungmu sekarang. Aku senang kau menghubungiku tadi.”
“Terima kasih.”
“Ucapkan itu nanti jika kau sudah tiba dengan selamat di rumahmu.”
Kyo tersenyum tipis di akhir ucapannya. Dia mengambil helm yang tergeletak di tanah, kemudian memakaikannya di kepalaku. Setelahnya dia naik ke atas motornya. “Ayo, naik,” ajaknya.
Kali ini aku tak menolak atau berkomentar apa pun lagi, bergegas aku naik ke motornya. Seperti saat itu, kali ini pun dia mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi layaknya seorang pembalap.
Sesampainya di depan rumah aku berusaha mengusap air mata dan merapikan pakaianku yang berantakan, aku tak ingin ibu melihat keadaanku yang kacau ini.
“Terima kasih sudah datang dan menyelamatkanku,” Sekali lagi kuutarakan rasa terima kasihku padanya.
“Ya, cepat masuklah ke dalam dan beristirahat.”
Aku mengangguk patuh. Aku berbalik badan dan bersiap pergi ketika tiba-tiba aku teringat sesuatu. Aku pun kembali berbalik menghadapnya. “Aku belum mengembalikan saputangan dan jaketmu. Tunggulah sebentar di sini, aku akan mengambilnya sebentar.”
“Tidak perlu, jaket dan saputangan itu milikmu sekarang.”
Aku terbelalak, terkejut tentu saja, “Ta-Tapi ....”
“Anggap saja jaket dan saputangan itu aku, jika aku sedang tidak bersamamu. Jangan takut lagi, aku akan selalu menjadi pelindungmu.”
Sungguh aku terharu mendengarnya. Tidak diragukan lagi, dia begitu baik dan mempedulikanku. “Terima kasih, Kyo,” ucapku, berterima kasih untuk yang kesekian kalinya.
“Besok, tunggu aku di depan gerbang,” ucapnya, membuatku melongo karena terheran-heran.
“Eh, kenapa?”
“Sudahlah, turuti saja perkataanku.”
Melihat keseriusan di wajahnya, aku tak memiliki pilihan selain mengangguk patuh, “Baiklah kalau begitu,” sahutku. Setelah menyunggingkan seulas senyum untuknya, aku melangkah masuk ke dalam rumah, meninggalkannya yang masih berdiri sambil menatapku.
Setibanya di dalam kamar, aku baru ingat belum menanyakan bagaimana caranya dia bisa menemukanku barusan. Aku mengintip keluar melalui jendela kamar, sosok Kyo beserta motornya sudah melesat pergi. Pertanyaan ini mungkin bisa kutanyakan langsung padanya besok.

Book Comment (14)

  • avatar
    cutieenana

    sumpah ini novel keren banget , btw aku org malaysia , aku sangat menyukai novel kamu <333 !! alur ceritanya sangat bagus bahkan bisa bikin aku nangis terisak-isak ... sukses selalu kak , jangan stop menulis novel , aku akan sentiasa mendukungmuu <333 i will look forward to your next novel ! hehe much love from malaysia 💓

    10/07/2023

      0
  • avatar
    SaniyahSalwa

    ceritanya bagus bangett

    08/04/2023

      0
  • avatar
    TASYA ANASTASYA

    mmtp bgt

    01/12/2022

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters