logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 5 Semakin Misterius

Jantungku masih berdetak kencang meskipun sudah cukup lama berada di tempat favoritku ini. Ya, di sinilah biasanya aku menghabiskan waktu istirahat sambil memakan bekal makanan yang sengaja disiapkan oleh ibu. Di bawah sebuah pohon berukuran besar dengan daun-daunnya yang lebat sehingga membuatku betah berlama-lama duduk di sini. Di sini sangat sejuk dan tenang, selain itu jarang sekali ada siswa yang mendatangi tempat ini.
Kubuka perlahan bekal makan siang, aku sangat menyukai masakan ibu karena rasanya sangat enak. Ibu memang sangat pandai memasak karena itulah aku lebih senang memakan masakan ibu dibandingkan membeli di penjual makanan.
“Heeh ... gadis bodoh, cepat berdiri!!”
Sebuah bentakan yang terdengar tiba-tiba dari arah belakang, sukses membuatku terkesiap. Aku pun menatap ke arah orang-orang yang saat ini berdiri tepat di depanku. Mereka, sudah tak asing lagi bagiku, Akemi dan kedua temannya. Aku tak ingin kejadian seperti kemarin terulang kembali karena itu kuturuti keinginan mereka.
“Apa yang kau katakan pada Bu Misaki tadi? Jangan bilang kau mengadukan perbuatan kami padamu kemarin?” tanya Akemi, dengan nada membentak.
“Aku tidak mengatakannya pada Bu Misaki.”
“Bohong!! Menurutmu kami akan percaya pada perkataanmu?”
“Aku tidak bohong, aku memang tidak mengatakan apa pun pada Bu Misaki,” jawabku tegas karena memang aku tak mengadukan apa pun pada Bu Misaki. Aku mengatakan yang sejujurnya pada Akemi.
“Jangan percaya padanya, Akemi. Aku yakin dia pasti mengadukan kita pada Bu Misaki.” Salah satu teman Akemi mengatakan itu, membuat wajah Akemi memerah karena termakan mentah-mentah hasutan temannya.
“Sungguh, aku tidak mengatakan apa pun. Percayalah padaku.” Aku masih berusaha meyakinkan.
“Dasar pembohong. Sudah mengaku saja apa yang kau katakan pada Bu Misaki?” Teman Akemi yang lain ikut menginterogasiku.
Aku menggelengkan kepala berulang kali, “Sebanyak apa pun kalian bertanya, jawabanku tetap sama karena itulah kebenarannya. Aku berkata jujur pada kalian.”
“Jangan percaya padanya, Akemi. Coba pikir jika kau ada di posisi dia, pasti kau akan mengadukan semuanya pada Bu Misaki, bukan?”
Akemi yang mempercayai mentah-mentah pendapat teman-temannya semakin tersulut emosi, bisa kulihat itu dari wajahnya yang memerah. Dia pun mengepalkan tangan erat hingga buku-buku jarinya memutih. Giginya yang saling bergemeretak menjadi bukti lain bahwa dia sedang menahan amarah.
Akemi kembali menjambak rambutku setelah itu, sama persis seperti yang dilakukannya padaku kemarin. Tak ada seorang pun yang lewat ke tempat ini sehingga aku tidak bisa meminta pertolongan. Rasa sakit pada rambutku sangat menyiksa, membuatku ingin berteriak sekencang-kencangnya.
“Ampun, Akemi,” rintihku, sembari berusaha melepaskan cengkeraman tangannya pada rambutku. “Sungguh aku tidak berbohong. Aku tidak mengatakan apa pun. Jika kau tidak percaya, coba saja tanyakan langsung pada Bu Misaki.”
Semakin aku memohon, semakin dia menjambakku kencang. Kepalaku terasa sakit luar biasa seolah rambutku akan terlepas dari kulit kepala.
“Aku serius dengan perkataanku kemarin, jadi kau tidak perlu sungkan meminta bantuanku.”
Dalam situasi ini, ucapan Kyo tadi tiba-tiba terlintas di pikiranku, Kyo ... kenapa tiba-tiba aku teringat padanya? Mungkinkah ini sebuah pertanda bahwa aku sangat membutuhkannya saat ini?
“Kyaaaa!”
Sebuah teriakan tiba-tiba terdengar seiring dengan tangan Akemi yang mengendur, hingga akhirnya terlepas dari rambutku.
“K-Kyo, lepaskan tanganku, sakit sekali.”
Mendengar rintihan Akemi membuatku terbelalak, nyaris tidak mempercayainya jika saja aku tidak melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Kyo sedang berdiri sambil tangannya yang mencengkeram erat tangan Akemi.
“Berjanjilah kau tidak akan mengganggu Hanna lagi, baru aku akan melepaskan tanganmu!” tegas Kyo, dengan nada ketus pada suaranya.
Awalnya, Akemi tidak menanggapi, dia menatapku tajam terlihat murka karena melihatku dibela oleh Kyo. Dia kembali menjerit karena Kyo seolah hendak memelintir lengannya. Sedangkan dua teman Akemi, tak ada yang berani melawan ataupun mengeluarkan suara. Mereka melangkah mundur dengan ekspresi ketakutan yang begitu kentara di wajah mereka.
“I-Iya, aku berjanji tidak akan mengganggunya lagi.”
Kyo pun melepaskan cengkeraman tangannya pada tangan Akemi. Akemi memegangi tangannya yang memerah dimana bekas cengkeraman tangan Kyo masih membekas di sana, terlihat jelas Akemi begitu kesakitan. Setelah menatap sinis sesaat padaku, Akemi dan kedua temannya pun pergi meninggalkan kami.
“Sudah kukatakan kau harus melawan. Jangan diam saja jika mereka menyakitimu.”
Terdengar kekesalan pada suara Kyo. Tapi aku tak sanggup mengatakan apa pun padanya. Aku hanya menundukan kepala dan mengusap air mata yang sejak tadi berjatuhan.
“Berikan handphonemu padaku,” pintanya. Aku mengernyitkan dahi, bingung tentu saja.
“Untuk apa?” tanyaku, meminta penjelasan.
“Jangan banyak bertanya. Sini, berikan saja handphonemu.”
Kyo menengadahkan tangan kanannya dan tanpa bertanya lagi kuikuti keinginannya. Kuambil handphone yang kusimpan di saku rok, lalu kuserahkan padanya. Kyo terlihat mengotak-atik handphoneku, jari-jari tangannya bergerak begitu cepat dan lincah. Tak lama, dia pun mengembalikannya padaku.
“Apa yang kau lakukan pada handphoneku?” tanyaku, namun dia tak menanggapinya. Dia duduk dan tanpa meminta izin dulu, dia melahap bekal makan siangku. Aku terbelalak melihatnya, terkejut bukan main. Mulutku sudah terbuka, hendak protes. Namun urung begitu melihatnya sangat lahap menyantap makanan itu.
Teeeet ... Teeeet ... Teeeeet ...
Terdengar dengan jelas suara bel tanda istirahat berakhir, aku bergegas menghampiri Kyo, bermaksud merapikan bekal makananku. Namun, gerakan tanganku terhenti karena Kyo menahannya.
“Aku belum selesai memakannya. Ini enak sekali. Lebih enak daripada makanan di Cafe sekolah ini,” ucapnya, sambil melanjutkan melahap bekal makan siangku.
Di sekolah ini, biasanya semua siswa menghabiskan waktu istirahat di sebuah Cafe yang memang didirikan untuk memenuhi kebutuhan para siswa. Di sana tersedia berbagai makanan dengan harga yang bahkan lebih mahal dari uang sakuku selama tiga hari. Tentu saja itu hal yang wajar, semua siswa di sekolah ini pun sama sekali tidak mempermasalahkannya. Mungkin di sekolah ini hanya aku seorang yang merasa bermasalah dengan harga makanan-makanan yang dijual di Cafe itu. Sebenarnya ini salah satu alasan terbesarku memilih membawa bekal makan siang buatan ibu. Aku lebih memilih menabungkan uangku dibandingkan harus kugunakan untuk membeli makanan di Cafe sekolah ini.
“Hei, kita harus segera kembali ke kelas. Jam istirahatnya sudah selesai,” ucapku, mencoba mengingatkan Kyo bahwa jam istirahat kami sudah berakhir dan memang sudah seharusnya kami kembali ke kelas. Tetapi Kyo mengabaikan dan tetap melahap bekal makan siangku. Sebenarnya bisa saja aku meninggalkannya dan bergegas kembali ke kelas. Namun, entah mengapa aku merasa nyaman menatapnya yang begitu lahap menyantap bekal makan siangku seolah sudah berhari-hari dia tidak memakan apa pun.
“Haah ... kenyang sekali, apa setiap hari kau memakan makanan seenak ini sendirian di sini?” tanyanya sambil menyandarkan tubuh pada pohon, tangannya sibuk mengusap-usap perutnya yang mungkin kekenyangan. Dia menghabiskan semua makanan yang bahkan jarang bisa kuhabiskan karena ibu terlalu banyak membuatnya. Aku hanya diam sambil merapikan tempat bekal makan siangku yang kini telah kosong tanpa sedikitpun makanan tersisa.
“Kita harus segera kembali ke kelas, pelajarannya pasti sudah dimulai.”
Sekali lagi kucoba mengingatkannya bahwa sejak tadi waktu istirahat kami telah habis dan kini mungkin saja sudah ada guru yang sedang mengajar di kelas.
“Biarkan saja, tidak masalah jika terlambat sebentar saja.”
“T-Tapi...”
Aku mencoba membantah ucapannya namun seketika terdiam karena Kyo menarik tanganku sehingga aku pun kini duduk di sampingnya.
“Tempat ini sangat nyaman, bahkan lebih nyaman daripada di rooftop. Hebat juga kau bisa menemukan tempat senyaman ini.”
Aku hanya memandangi wajahnya yang kini tengah menatap daun-daun pohon yang tumbuh dengan lebatnya. Dia memang tampan, dan kini aku semakin heran dengan jantungku yang selalu berdetak kencang setiap kali berada di dekatnya.
“Kenapa kau terus menatapku?” tanyanya, tanpa menoleh ke arahku namun sangat sukses membuatku terkesiap. “Apa kau jatuh cinta padaku?” tambahnya.
Seketika aku pun gelagapan. Salah tingkah karena terlalu panik. Entahlah, aku tidak tahu harus mengatakan apa, mulutku seakan-akan membeku dan lidahku terasa kelu setelah mendengar pertanyaannya. Mungkinkah dia menyadari sikapku yang selalu gugup setiap kali berada di sampingnya? Tidak, aku benar-benar sangat malu.
“Kenapa kau tidak menceritakan kejadian kemarin pada Bu Misaki?”
Beruntung Kyo mengalihkan pembicaraan, tampaknya pertanyaan tadi hanya sebuah candaan baginya.
“Aku hanya takut Akemi dan kedua temannya akan dikeluarkan dari sekolah ini.”
“Kau masih memikirkan mereka padahal mereka selalu menyakitimu.”
Aku hanya terdiam sambil menundukan kepala. Dari nada suara dan ekspresi wajahnya yang sedang terbelalak, sepertinya dia begitu terkejut mendengar jawabanku.
“Kau ini terlalu polos, aku jadi semakin mengkhawatirkanmu.” Sorot matanya tajam menatapku, membuat seluruh tubuhku seolah kaku karena terlalu gugup.
“Kau tahu orang-orang jahat akan mudah memanfaatkanmu.”
Kini dia beranjak bangun, begitu pun denganku. Ada beberapa hal yang ingin kutanyakan padanya sehingga aku pun dengan cepat mengutarakannya sebelum dia lenyap dari pandanganku.
“Kyo, kenapa kau begitu peduli padaku?”
Dia hanya terdiam, dan sekilas menyunggingkan seulas senyum yang sangat menawan. Entah untuk keberapa kalinya jantungku bekerja ekstra cepat karena efek senyumannya yang memesona itu.
“Aku hanya tidak suka melihat seseorang sepertimu disakiti di depan mataku,” jawabnya.
“La-Lalu darimana kau tahu tadi Bu Misaki memanggilku ke ruangannya? Kau pun tahu Akemi dan kedua temannya menggangguku di tempat ini?”
Ya, benar, inilah yang membuatku penasaran sekaligus merasa heran. Hari ini Kyo selalu datang di saat yang tepat dimana aku sedang kesulitan dan membutuhkan bantuannya. Seolah dia mengetahui kejadian buruk sedang menimpaku sehingga dia bergegas datang bagai seorang pahlawan.
“Itu rahasia, yang pasti aku akan selalu datang setiap kali kau dalam bahaya. Sudah kukatakan, sekarang aku ini pelindungmu.” Aku tertegun tanpa mampu berkata-kata, mendengar kata-kata manisnya itu.
“Oh, iya. Kapan pun dan dimana pun kau membutuhkanku, kau tinggal menekan angka satu pada handphonemu maka akan langsung terhubung dengan nomor handphoneku.”
Kedua mataku membulat sempurna. Itukah alasannya meminjam handphoneku, tidak lain untuk memasukkan nomor handphonenya? Semua kebaikannya ini membuatku bingung. Kenapa Kyo sebaik dan sepeduli ini padaku?
“Ayo, kembali ke kelas,” ajaknya sambil menunjuk dengan dagunya ke arah lorong menuju kelasku. “Aku akan menjelaskan pada gurumu bahwa kau di sini karena menemaniku atas permintaanku. Agar kau tidak dihukum.”
Setelah kembali menyunggingkan senyuman tipisnya padaku, dia pun mulai melangkahkan kaki. Aku hanya berjalan mengikutinya di belakang dengan detak jantungku yang seakan-akan ingin melompat keluar dari rongga dada. Aku tak menolak tawarannya karena aku memang membutuhkan bantuannya, lagi.
Kyo ... tolong jangan terlalu baik padaku atau aku tidak akan bisa mengendalikan lagi perasaanku. Bagaimana jika aku jatuh cinta padamu? Gadis miskin sepertiku, rasanya mustahil bisa menjadi pendampingmu, bukan? Tentu saja rasanya mustahil kau akan membalas perasaanku. Karena itu, tolong jangan terlalu baik dan peduli padaku.
Rasa-rasanya ingin kuteriakkan hal ini. Sayangnya aku hanya berani mengutarakannya dalam hati. Aku tak cukup memiliki nyali untuk mengungkapkannya secara langsung pada Kyo.
***
Setibanya di depan kelas, benar seorang guru sudah ada di dalam sedang mengajar. Dia, Bu Maria yang sedang mengajar mata pelajaran Biologi.
Kyo membuka pintu kelas tanpa mengetuknya terlebih dahulu, membuat atensi semua orang kini tertuju pada kami.
“K-Kyo, ada apa?” tanya Bu Maria, kentara begitu terkejut melihat Kyo tiba-tiba menerobos masuk. Kyo berjalan menghampiri Bu Maria tanpa ragu, mengabaikan tatapan teman-teman sekelasku yang tertuju padanya.
“Aku mengantarkan Hanna,” jawabnya. “Sekaligus ingin menjelaskan dia datang terlambat karena menemaniku makan siang.”
Bu Maria terlonjak kaget, begitu pun dengan teman-teman sekelasku yang kini mulai berbisik-bisik. Aku yakin mereka sedang membicarakan kami.
“Aku yang memintanya menemaniku. Jadi, jangan hukum dia. Biarkan dia mengikuti pejaran seperti biasa.” Kyo mengatakannya tanpa mempedulikan sopan santun sedikit pun seolah dia lupa sedang berbicara dengan seorang guru. Atau memang seperti itulah cara dia berbicara bahkan pada gurunya sekalipun.
“Ah, baiklah. Aku mengerti,” jawab Bu Maria sambil mengangguk. Alih-alih tersinggung karena muridnya bersikap tak sopan, Bu Maria justru tersenyum ramah dan mengangguk patuh. Dia menuruti semua yang dikatakan Kyo. Bukankah ini sangat aneh?
Kyo menoleh ke arahku yang masih berdiri di dekat pintu, “Masuklah,” katanya.
“Iya, Hanna. Ayo masuk. Segera buka buku Biologimu.” Bu Maria ikut menimpali.
“Baik, Bu,” sahutku disertai senyum.
Ketika tatapanku bertemu dengan iris pekat Kyo, kembali kukatupkan bibir ini. Sosok Kyo semakin misterius bagiku. Sebegitu menyeramkannya kah dia sampai semua orang seolah takut padanya? Siapa sebenarnya Kyo ini?
Terlalu banyak melamun, aku terenyak ketika tiba-tiba merasakan seseorang menepuk bahuku. Rupanya pelakunya adalah Kyo yang kini sudah berdiri di sampingku. Aku bahkan tidak menyadari sejak kapan dia berdiri di sana.
Kyo tiba-tiba mendekatkan wajahnya tepat ke telingaku, sukses membuat suasana kelas menjadi riuh karena teman-teman sekelasku semakin berbisik-bisik. Bahkan suara mereka semakin terdengar jelas sedang membicarakan kami.
“Jangan memasang wajah bingung begitu. Aku sudah memberitahu alasan semua orang menurutiku, bukan?” bisik Kyo.
Karena ayahnya merupakan orang yang membangun sekolah ini, itulah yang dikatakannya tadi saat kami mengobrol di rooftop. Tapi, benarkah hanya karena alasan itu?
“Duduklah di kursimu. Selamat belajar,” kata Kyo sembari menepuk pelan bahuku.
Dia melangkah hendak melewati pintu, namun tiba-tiba terhenti dan kembali menghadap ke arahku. Dia mengeluarkan handphone mahal miliknya dari saku celana, lalu mengangkatnya seolah sedang memperlihatkannya padaku.
“Jangan lupa hubungi aku jika ada apa-apa,” katanya sambil menunjuk handphone hitamnya.
Aku pun mengangguk tanpa kata, memahami betul apa maksud ucapannya. Kyo benar-benar melangkah pergi setelah itu. Kupandangi punggungnya yang mulai menjauh, begitu sosoknya tak terlihat lagi, aku pun berjalan cepat menuju meja. Kuabaikan tatapan semua orang yang kini mengarah padaku, juga beberapa orang yang masih berbisik membicarakanku dan Kyo.

Book Comment (14)

  • avatar
    cutieenana

    sumpah ini novel keren banget , btw aku org malaysia , aku sangat menyukai novel kamu <333 !! alur ceritanya sangat bagus bahkan bisa bikin aku nangis terisak-isak ... sukses selalu kak , jangan stop menulis novel , aku akan sentiasa mendukungmuu <333 i will look forward to your next novel ! hehe much love from malaysia 💓

    10/07/2023

      0
  • avatar
    SaniyahSalwa

    ceritanya bagus bangett

    08/04/2023

      0
  • avatar
    TASYA ANASTASYA

    mmtp bgt

    01/12/2022

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters