logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 4 Perdebatan Konyol

Aku sangat takut ketika tiba-tiba Bu Misaki memanggilku ke ruang guru begitu bel tanda istirahat berbunyi. Aku merasa hal yang buruk akan terjadi padaku. Sebenarnya, aku sudah memperkirakan hal ini akan terjadi setelah kemarin aku bolos pelajaran dan meninggalkan sekolah begitu saja pada jam istirahat.
“Hanna, apa kau tahu kenapa ibu memanggilmu?” tanya Bu Misaki, tegas padaku.
“I-Iya, Bu. Ini pasti karena kemarin saya bolos pelajaran dan meninggalkan sekolah pada jam istirahat,” jawabku sambil menundukan kepala, aku tak sanggup menatap wajah Bu Misaki yang terlihat sedang kesal padaku.
“Ya, kau benar. Kenapa kau melakukan itu, Hanna? Kau tidak pernah bolos sebelumnya. Sikapmu selalu baik, kau juga selalu berprestasi. Tapi kenapa kemarin kau pergi meninggalkan sekolah di jam istirahat?”
“Maafkan saya, Bu.”
“Hanna, kau tahu peraturan di sekolah ini sangat ketat, ibu tidak ingin karena masalah ini beasiswamu dicabut.” Aku terkesiap mendengar perkataan Bu Misaki, aku tidak pernah menyangka konsekuensinya akan sebesar ini.
“Ceritakan pada ibu apa yang terjadi kemarin?” Sungguh aku ingin berkata jujur pada Bu Misaki, tapi aku tidak ingin membayangkan apa yang akan terjadi pada Akemi dan kedua temannya jika kukatakan semuanya. Aku tidak ingin karena perkataanku mengakibatkan mereka dikeluarkan dari sekolah ini.
“Hanna, jawab ibu.” Bu Misaki terdengar semakin kesal melihat kediamanku. Tapi sungguh, aku sangat bingung saat ini. Aku tidak ingin mencelakakan teman sekelasku meskipun mereka selalu jahat padaku.
“Hanna, jika kau tidak menjawabnya, ibu terpaksa melaporkan hal ini pada Pak Kepala Sekolah.” Kini ketakutan mulai menjalari seluruh tubuhku, aku tak pernah merasa setakut ini sebelumnya.
“Dia pergi denganku.”
Suara itu, terdengar tak asing di telingaku. Pemilik suara ini aku yakin mengenalnya, aku pun menatap sumber suara itu yang tepat dari arah belakang.
“K-Kyo,” gumam Bu Misaki, raut wajahnya tiba-tiba berubah gugup entah karena alasan apa. Mungkinkah hanya karena melihat kedatangan Kyo?
“Benarkah Hanna pergi denganmu kemarin?” tanya Bu Misaki, terdengar semakin gugup.
“Ya, aku yang memaksanya untuk pergi bersamaku. Jadi, jangan hukum dia.”
“Benarkah itu, Hanna?” Kali ini Bu Misaki bertanya padaku. Aku pun menjawabnya dengan sebuah anggukan.
Bu Misaki tiba-tiba tertegun, seolah sedang menimbang-nimbang sesuatu. Lalu dirinya yang sempat menunduk, kini kembali menatapku. Wajah seriusnya tadi seketika berubah ramah. Bu Misaki mengulas senyum tipis. “Baiklah, kau boleh pergi sekarang.”
Perkataan Bu Misaki yang tiba-tiba dan terasa janggal itu sukses membuatku terkejut. Aku sama sekali tidak mengerti dengan perubahan sikapnya yang begitu drastis ini.
“Ibu tidak akan melaporkan kejadian ini pada Pak Kepala Sekolah, kan? Beasiswa saya juga tidak akan dicabut, kan?” tanyaku, memastikan sekali lagi.
Bu Misaki menggeleng, “Tidak. Kau tidak perlu khawatir. Kau boleh pergi, Hanna.”
Seketika kuembuskan napas lega. “I-Iya, terima kasih, Bu.”
Meskipun aku masih heran dengan perubahan sikap Bu Misaki setelah mendengar perkataan Kyo, aku pun meninggalkan ruangan Bu Misaki. Kyo masih berjalan di depanku, seketika itu pun aku mengingat niatku untuk menemuinya hari ini.
“Kyo, tunggu.”
Namun Kyo mengabaikan panggilanku, dia tetap berjalan di depan tanpa menoleh sedikit pun. Entah kemana dia akan pergi, kakiku ini hanya terus berjalan mengikutinya.
Kyo menghentikan langkah begitu tiba di rooftop, di tempat kemarin aku dibully oleh Akemi dan kedua temannya. Dia duduk di sebuah kursi panjang yang berada di rooftop ini, dan aku pun ikut duduk bersamanya.
“Kenapa kau mengikutiku?” tanyanya dengan kening mengernyit, yang membuatku tiba-tiba menjadi gugup dan salah tingkah. Sepertinya dia tidak nyaman karena aku mengikutinya ke sini.
“Terima kasih telah membantuku kemarin dan juga barusan,” ucapku tanpa basa-basi karena memang inilah alasanku mengikutinya, tidak lain hanya ingin mengucapkan terima kasih padanya yang sudah banyak membantuku.
“Oh, tidak perlu berterima kasih,” katanya acuh tak acuh.
Aku menundukan kepala, menatap kesepuluh jemariku yang saling meremas. Tiba-tiba ingin menanyakan sesuatu tapi aku ragu mengatakannya, meski sadar inilah kesempatan bagiku untuk mengutarakan apa yang ingin kusampaikan padanya.
“K-Kyo, ada beberapa hal yang ingin aku tanyakan padamu. Bolehkah?”
Tiba-tiba dia tertawa, membuatku mematung di tempat, dan berpikir memangnya apa yang lucu dari pertanyaanku barusan?
“Kau ini lucu sekali ya,” katanya di sela-sela tawanya. “Tanyakan saja. Tidak perlu meminta izin.”
Jantungku ini kembali berdetak dengan kencang saat kulihat dia kini tersenyum tipis padaku. Entahlah, aku tidak mengerti dengan perasaanku ini. Kenapa aku selalu gugup setiap kali berada di dekat Kyo?
“Kau mau bertanya apa?” tanyanya, mungkin karena aku tak kunjung bersuara.
“Oh, ma-maaf.”
Dia kembali tertawa melihat kegugupanku dan saat itu pun kurasakan jantungku serasa ingin melompat keluar dari dada. Efek keberadaannya sungguh luar biasa berpengaruh pada kinerja jantungku. Sebenarnya ada apa denganku?
“Aku heran kenapa kau diizinkan masuk padahal kau datang terlambat? Jika itu siswa lain, penjaga sekolah tidak mungkin membukakan pintu gerbang. Selain itu, kemarin juga begitu, ketika kita meninggalkan sekolah pada jam istirahat, penjaga sekolah membukakan gerbang dan tidak melarang kita. Aku juga heran sikap Bu Misaki tadi berubah setelah mendengar perkataanmu.” Pada akhirnya aku bertanya secara bertubi-tubi. Kuungkapkan semua hal yang sejak tadi mengganjal pikiranku.
Beberapa menit lamanya, Kyo hanya terdiam dengan tatapan matanya tertuju pada langit biru yang terlihat cerah hari ini.
“Mereka tidak berani menegurku apalagi melarangku.” Kyo menjawab semua pertanyaanku dengan tenang dan santai. Tatapannya masih menerawang ke langit.
“Kenapa bisa begitu?”
“Mungkin karena ayahku.” Kyo kini menatapku, membuatku berjengit kaget karena kini pandangan kami saling bertemu. “Dulu ayahkulah yang membiayai pembangunan sekolah ini,” tambahnya. Aku terbelalak karena baru mengetahui hal ini.
“Be-Berarti sekolah ini milik ayahmu?” tanyaku tanpa mengurangi keterkejutanku. Jika dipikir-pikir aku sangat bodoh karena tidak berpikir hal ini sedikit pun. Padahal jika dilihat dari motor atau benda-benda yang dikenakan Kyo, terlihat jelas dia memang berasal dari keluarga kaya raya. Sangat masuk akal jika ayahnya menjadi donatur terbesar saat pembangunan sekolah ini. Sekarang aku memahami alasan Kyo selalu lolos dari hukuman pasti itu karena pihak sekolah sangat menghormati ayahnya yang begitu berjasa untuk sekolah ini.
“Tidak. Ayah menyumbangkan sekolah ini,” jawab Kyo.
Aku mengangguk-anggukan kepala sebagai tanda kini aku memahami semuanya, termasuk perlakuan khusus semua penghuni sekolah ini pada Kyo. “Hm, pantas saja kau tidak pernah mendapatkan hukuman meskipun sering melanggar peraturan sekolah. Itu pasti karena mereka sangat menghormati ayahmu,” kataku, menyimpulkan.
“Bisa jadi, meskipun mungkin karena ada alasan lain.”
“Eh, apa maksudnya?” tanyaku, tak paham. Aku berharap Kyo akan menjelaskan maksud perkataannya ini.
Namun, Kyo hanya tersenyum kecil. Suaranya tak terdengar berniat melanjutkan penjelasannya.
“Sepertinya tadi kau sangat ketakutan karena dipanggil Bu Misaki?” tanyanya mengalihkan topik pembicaraan, dan aku tak memungkiri itu.
Aku meresponnya dengan anggukan, “Seperti yang kuceritakan kemarin padamu, aku diterima di sekolah ini karena beasiswa prestasi yang kudapatkan. Jika aku sampai kehilangan beasiswa itu maka aku akan ditendang keluar dari sekolah ini.”
“Hm, lantas? Apa hubungannya pengakuanmu ini dengan ketakutanmu tadi?”
Saat menoleh padanya, kudapati Kyo sedang menatapku intens, membuatku refleks menundukan wajah. “Jika aku ingin tetap mendapatkan beasiswa, aku tidak boleh melanggar peraturan sekolah ini,” jawabku, masih dengan kepala tertunduk.
“Oh, jadi karena aku mengajakmu membolos kemarin, kau nyaris kehilangan beasiswamu?”
Aku mengangguk cepat, memang seperti itulah kebenarannya.
“Susah juga ya jadi dirimu. Harus selalu menjadi anak penurut hanya agar bisa terus menuntut ilmu di sekolah ini. Kemarin aku memang bilang kaulah yang paling pantas sekolah di sini karena kemampuanmu, tapi setelah aku pikir-pikir lagi yang benar itu seharusnya kau tidak sekolah di sini.”
“Apa menurutmu karena aku miskin jadi aku tidak pantas sekolah di sini bersama kalian yang kaya raya?” Sungguh aku tersinggung mendengar ucapannya ini.
Kyo menggeleng, “Bukan kau yang tidak pantas sekolah di sini, tapi sekolah ini yang tidak pantas mendapatkan siswa sehebat kau.”
Dan seketika aku menegang di tempat, wajahku sekarang pasti memerah bagai kepiting rebus.
“Seharusnya kau menuntut ilmu di sekolah yang bisa menghargai kemampuan siswa-siswanya. Bukan sekolah ini yang mementingkan materi dan status. Kau salah besar karena sudah memilih sekolah ini.”
Aku mengerjapkan mata berulang kali, heran karena dia menjelek-jelekkan sekolah yang dibangun ayahnya sendiri.
“Siswa-siswa di sekolah ini, semuanya pecundang. Hanya mengandalkan uang orangtua dan bukannya mengandalkan kemampuan sendiri.”
“Apakah ini termasuk dirimu?”
Saat Kyo mendelik padaku, refleks kubekap mulutku yang sudah kelewatan ini. Tapi sungguh aku mengatakannya tanpa sadar. Kata-kata itu meluncur dengan sendirinya dari mulutku.
“Eh, maaf. Aku tidak bermaksud ....”
“Ya, termasuk aku.” Dia menyela ucapanku yang masih menggantung. “Aku juga pecundang seperti mereka.”
Aku tak tahu harus mengatakan apa sekarang, yang pasti aku sadar ucapanku salah besar tadi.
“Aku dan mereka sama saja. Jadi, tidak seharusnya kau mengikutiku ke sini.”
“Menurutku, kau berbeda.” Kyo yang sedang menatap ke depan itu, seketika menoleh padaku dengan alis mengernyit bingung.
“Kau berbeda dengan mereka yang selalu memandang rendah aku hanya karena statusku yang lebih rendah dari mereka. Kau membantuku. Itu bukti kau berbeda dengan mereka. Kau ...” Aku menjeda, kembali ragu untuk melanjutkan.
“Aku kenapa?”
Saat dia menanyakan itu, aku tahu tak ada pilihan selain meneruskan ucapanku yang menggantung tadi. “Kau orang baik.”
Kyo tak mengatakan apa pun, dia menatapku seolah lupa cara berkedip. Sebelum tiba-tiba dia tergelak dalam tawa. Suara tawanya membahana di rooftop yang sepi ini.
“Aku?” katanya sambil menunjuk dirinya sendiri dengan jari telunjuknya. “Kau bilang aku orang baik?”
Aku mengangguk cepat sebagai jawaban.
“Kau orang pertama yang mengatakan ini. Orang lain mana ada yang menganggapku orang baik.”
“Menurutku, kau memang orang baik. Terima kasih ya, sudah banyak membantuku.” Aku tersenyum di akhir ucapanku karena memang dengan tulus kuucapkan terima kasih padanya.
“Oi, Kyo ... sudah kuduga kau ada di sini.”
Sebuah suara tiba-tiba terdengar dan menginterupsi obrolan kami. Seorang pemuda yang merupakan salah satu siswa di sekolah ini, menghampiri kami. Aku sering melihatnya berkeliaran di samping Kyo, dapat kuperkirakan dia pastilah sahabat karib Kyo.
“Oh, Hanna. Kau di sini juga. Apa aku mengganggu kalian?”
Bukan pertanyaannya yang membuatku terkejut, melainkan dia yang bahkan tak kuketahui namanya, tapi dia justru mengetahui namaku sebelum kuperkenalkan diriku padanya.
“Kenapa kau tahu namaku?” tanyaku polos.
“Siapa yang tidak mengenalmu di sekolah ini, Hanna. Kau siswi Hokkaido International High School yang jenius. Selalu mendapat peringkat pertama, cantik dan juga sangat pendiam. Kau sering sekali menyendiri,” ungkapnya panjang lebar. Itukah yang semua orang pikirkan tentang aku? Aku bahkan baru mengetahuinya.
“Perkenalkan, namaku, Tomoaki Siky. Aku teman sekelas Kyo. Maaf jika aku mengganggu kencanmu dengan Kyo.” Dia mengulurkan tangan kanan. Namun aku tidak membalas uluran tangannya, aku hanya terkejut dengan ucapannya itu. Bagaimana mungkin dia berpikiran aku sedang berkencan dengan Kyo di tempat ini?
“Kami tidak ....”
“Jika kau tahu kami sedang berkencan, kenapa kau ke sini? Sana pergi, dasar pengganggu!” Yang menyela ucapanku tanpa permisi itu adalah Kyo. Mengatakan kata-kata yang membuatku melongo tak percaya. Apa Kyo baru saja mengakui di depan Siky bahwa kami sedang berkencan di sini? Jelas ini sebuah kebohongan.
“Oh, jadi aku pengganggu ya? OK, aku paham sekarang.” Siky yang berdiri di dekat Kyo itu sepertinya berniat pergi. Melihatnya aku bergegas berdiri.
“Kau salah paham. Kami tidak sedang berkencan,” ucapku, menjelaskan.
Satu alis Siky terangkat naik, “Haah? Jadi yang berbohong di sini, siapa?” Siky menunjukku dengan jari telunjuknya, lalu gantian menunjuk Kyo.
Aku dan Kyo saling berpandangan, sebenarnya aku sedang memberi isyarat dengan lirikan mata agar Kyo meralat ucapannya tadi atau Siky akan terus salah paham. Namun, alih-alih membantuku menjelaskan, dia justru memalingkan wajahnya ke arah lain. Lalu tanpa mempedulikanku dan Siky, dia merebahkan diri di kursi sambil mengangkat satu tangannya tinggi ke udara.
“Menurutmu yang terlihat sedang berbohong siapa?” tanya Kyo, yang tentu saja ditujukan pada Siky.
Siky terkekeh sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, “Tentu saja kau. Gadis sebaik Hanna, mana mungkin berbohong. Benar kan, Hanna? Jadi kalian tidak berkencan?”
Aku mengangguk antusias, “Iya, kami tidak berkencan. Kami hanya mengobrol sebentar tadi,” jawabku.
“Padahal benar berkencan juga tidak apa-apa. Aku mendukung kalian,” katanya seraya mengedipkan sebelah mata, menggodaku.
Aku menegang seketika, terutama saat kulihat respon Kyo hanya berupa dengusan pelan, sebelum dia memejamkan mata seolah tak peduli lagi dengan keberadaanku dan Siky.
Merasa tak ada gunanya aku berdebat dengan dua pemuda itu serta merasa aku tak punya urusan lagi di sini, aku pun melangkahkan kaki, dengan segera meninggalkan mereka. Meninggalkan Siky dengan tangannya yang terulur ke depan seolah berniat menghentikanku agar tidak pergi..
“Hei, Hanna ...” Suara ini milik Kyo, aku menghentikan langkah dan segera berbalik badan. Aku menatap ke arahnya, dia masih berbaring santai di kursi. Kini tatapan kami saling bertemu karena dia pun sedang menatapku dengan ekspresi serius di wajahnya.
“Aku serius dengan perkataanku kemarin, jadi kau tidak perlu sungkan meminta bantuanku.”
Saat ini, aku yakin wajahku untuk kesekian kalinya memerah bagai kepiting rebus, aku tak mengharapkan Kyo dan Siky akan melihatnya, karena itu kulanjutkan langkah yang tertunda. Meninggalkan mereka secepat mungkin tanpa menanggapi ucapan Kyo tadi.

Book Comment (14)

  • avatar
    cutieenana

    sumpah ini novel keren banget , btw aku org malaysia , aku sangat menyukai novel kamu <333 !! alur ceritanya sangat bagus bahkan bisa bikin aku nangis terisak-isak ... sukses selalu kak , jangan stop menulis novel , aku akan sentiasa mendukungmuu <333 i will look forward to your next novel ! hehe much love from malaysia 💓

    10/07/2023

      0
  • avatar
    SaniyahSalwa

    ceritanya bagus bangett

    08/04/2023

      0
  • avatar
    TASYA ANASTASYA

    mmtp bgt

    01/12/2022

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters