logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Naughty Love (Love In Hokkaido)

Naughty Love (Love In Hokkaido)

Ellakor


Chapter 1 Pertemuan

Pagi ini langit tampak cerah seakan-akan ikut menyaksikan hari istimewa bagiku yang akan segera berlangsung sebentar lagi. Kutatap indahnya pemandangan hari ini dari jendela. Kupu-kupu menari-nari mengitari bunga-bunga yang bermekaran dengan indah. Kusentuh kaca jendela yang memisahkanku dengan pemandangan indah di luar sana. Tak dapat kupungkiri betapa ingin aku ikut bergabung dengan kupu-kupu itu untuk menghirup wanginya aroma bunga-bunga atau sekadar menyentuh kelopak bunga yang bermekaran dengan eloknya.
Sebuah benda yang terpasang di jari manis akhirnya berhasil mengalihkan tatapanku dari bunga-bunga indah itu. Sebuah benda berwarna emas melingkar di jari manisku saat ini. Benda ini kecil namun sangat menawan di mataku. Tiga buah permata menghiasi benda ini, namun yang membuatku begitu terpesona dengan benda ini bukanlah karena bentuknya yang elegan dan mewah. Melainkan karena benda ini diberikan oleh seseorang yang sangat berarti dalam hidupku. Seseorang yang sangat kucintai yang sesaat lagi akan menjadi pendamping hidupku.
Kutatap tubuhku yang kini terbalut sebuah gaun indah berwarna putih bersih dengan berbagai hiasan yang membuat gaun ini terlihat anggun. Kutinggalkan jendela dengan melangkahkan kakiku ke sebuah tempat. Di sinilah aku berada saat ini, di depan sebuah cermin yang berukuran cukup besar sehingga mampu memperlihatkan sosokku sepenuhnya.
Kutatap tubuhku dengan penuh ketakjuban. Tak kusangka aku terlihat sangat berbeda dibandingkan penampilanku yang biasanya. Keindahan gaun ini membuatku terlihat cantik. Hiasan di bagian kepala yang berbentuk mahkota ini membuatku semakin tak mengenali sosokku saat ini. Benarkah ini aku? Aku hanya mampu menyunggingkan seulas senyuman di bibirku untuk menanggapi pertanyaanku yang bodoh ini.
Jika mengingat semua kepahitan yang kurasakan selama ini, tak pernah kusangka saat-saat yang kunantikan sejak dulu, akhirnya datang juga. Bersanding dengan pria yang aku cintai merupakan impian terbesarku sejak dulu. Tatapanku beralih pada sebuah jam besar yang tergantung di dinding. Mengapa aku merasa waktu berjalan sangat lambat hari ini? Sebenarnya itu hanyalah sebuah alasan, tentu saja waktu berjalan seperti biasanya. Aku hanya tak sabar ingin segera menemuinya, karena itulah aku merasa waktu berjalan sangat lambat.
Kesabaranku seakan-akan sudah tiba pada batasnya ketika kutatap kembali benda yang melingkar di jari manisku. Sebenarnya aku memiliki alasan mengapa aku tak ingin berlama-lama menunggu lagi. Aku hanya takut ... takut dia akan meninggalkanku lagi. Meninggalkanku yang rapuh ini seorang diri. Aku hanya akan merasa tenang setelah kulihat sosoknya berdiri di sana. Berdiri menantikanku dan menyambut kedatanganku dengan uluran tangannya.
“Hanna, bersiaplah. Sudah tiba waktunya.”
Kegugupan mulai menderaku begitu kudengar suara itu, yang memberitahukan saat-saat yang sejak tadi kunantikan akhirnya tiba. Kutarik napas panjang dan kuembuskan dengan perlahan. Kulangkahkan kaki meninggalkan ruangan yang sejak tadi kusinggahi. Sesaat lagi akan kugapai kebahagianku yang sempat tertunda untuk beberapa saat.
Namaku, Sakuragi Hanna. Usiaku 24 tahun. Dan inilah kisahku ...
***
7 tahun sebelumnya ...
“Hanna!”
Aku beranjak dari kursi ketika mendengar namaku dipanggil. Kuhampiri Bu Misaki yang tadi memanggilku yang kini tengah duduk di kursinya. Dia memberikan sebuah kertas yang telah dipenuhi beberapa coretan dan sebuah angka yang dilingkari di bagian atas. Tatapanku tertuju pada angka itu dan seketika membuatku merasa lega.
“Selamat Hanna, kau mendapatkan nilai yang sempurna lagi,” ucap Bu Misaki sambil memperlihatkan sebuah senyuman yang sangat ramah padaku.
“Terima kasih, Bu,” balasku, sembari balas tersenyum ramah padanya.
“Ibu yakin kau akan menjadi juara kelas lagi. Pertahankan ya, Hanna.”
“Baik, Bu,” jawabku dengan tak lupa menganggukan kepala. Setelah itu aku pun berjalan kembali ke kursi dengan tatapan yang tak pernah lepas dari kertas yang berisi nilai ujian matematika yang kuikuti sekitar dua hari yang lalu.
Setelah duduk di kursi pun masih kutatap kembali angka 100 yang tertulis di bagian atas pada kertas yang kini sedang kupegang. Aku senang dan puas melihatnya, dengan ini kerja kerasku belajar semalaman membuahkan hasil yang manis. Aku memang harus bekerja keras mempertahankan nilai-nilai agar tetap bagus. Hal ini harus kulakukan untuk tetap menjaga beasiswa yang kudapatkan di sekolah ini.
Aku menuntut ilmu di sekolah ini. Hokkaido International High School adalah nama sekolahku. Sekolah ini merupakan sekolah elit di Hokkaido yang hanya orang-orang kaya mampu menuntut ilmu di sini. Biaya untuk menuntut ilmu di sekolah ini sangatlah tinggi jika dibandingkan dengan sekolah yang lain. Namun, hal itu sangat sepadan dengan semua fasilitas mewah yang dimiliki sekolah ini. Selain itu, guru-guru yang mengajar pun merupakan guru-guru pilihan yang telah diseleksi secara ketat sebelumnya. Kualitas siswa yang lulus di sekolah ini sudah dipastikan sangat berkualitas. Banyak perusahaan yang berlomba-lomba untuk merekrut siswa-siswa yang lulus dari sekolah ini. Secara singkatnya siswa yang lulus dari sekolah ini dipastikan akan mendapatkan masa depan yang cerah dan gemilang.
Namun, hal itu tentu saja tidak bisa begitu saja didapatkan. Siswa yang belajar di sekolah ini dua kali lipat harus lebih giat belajar. Jika tidak seperti itu maka kami sebagai siswa tidak akan mampu mengimbangi sistem pelajaran di sekolah ini yang berlangsung dengan sangat cepat. Selain itu, di sekolah ini juga sering sekali diadakan ujian mendadak sehingga mengharuskan siswanya untuk belajar setiap malam, mengantisipasi agar kapan pun ujian diadakan, kami sudah siap untuk menghadapinya.
Peraturannya pun sangat ketat, tiga kali melakukan pelanggaran maka akan langsung dikeluarkan dari sekolah. Biasanya siswa yang dikeluarkan dari sekolah ini akan kesulitan diterima di sekolah yang baru. Hal itu karena sekolah lain menganggap siswa yang dikeluarkan dari sekolah ini merupakan siswa yang sangat buruk. Buruk dalam kemampuan maupun dalam kepribadian, meskipun sebenarnya tidak semuanya seperti itu. Itulah anggapan dari sekolah lain karena itu tidak ada satu pun siswa di sekolah ini yang ingin mengalami nasib buruk seperti itu. Sebenarnya hal itu berdampak baik bagi siswa karena menjadikan siswa giat belajar setiap hari. Akan tetapi, hal ini menjadi suatu keadaan yang sulit bagiku. Semua siswa yang menuntut ilmu di sekolah ini sangatlah cerdas sehingga aku yang dapat menuntut ilmu di sini karena beasiswa, cukup kesulitan untuk mempertahankan peringkatku di kelas.
Aku bukanlah berasal dari keluarga kaya raya seperti siswa yang lain, aku berasal dari keluarga biasa saja. Ayahku sudah tiada ketika aku duduk di bangku junior high school. Kini ibu yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan kami. Ibu bekerja sebagai sekretaris di sebuah perusahaan. Gajinya tidak terlalu besar sehingga tak akan sanggup membiayai sekolahku yang mahal ini. Beruntung sejak sekolah dasar, aku selalu berprestasi sehingga aku pun mendapatkan beasiswa. Tetapi karena hal ini, tak ada satu pun teman sekelas yang bersedia menjadi temanku. Mereka bahkan sering menatapku dengan rendah. Aku rasa itu hal yang wajar karena jelas statusku tak sebanding dengan mereka. Aku tak pernah mempermasalahkan hal itu, bagiku sudah dapat menuntut ilmu di sekolah ini merupakan suatu keberuntungan. Aku tak akan pernah menyia-nyiakannya. Aku akan terus bekerja keras hingga aku lulus dari sekolah ini dan di masa depan nanti bisa menggantikan ibu mencari uang untuk memenuhi kebutuhan kami.
Begitu bel berbunyi, tanda jam istirahat telah tiba, semua teman sekelasku beranjak pergi meninggalkan kelas, begitupun denganku. Aku bermaksud menyantap bekal makan siang yang sengaja dibuatkan ibu setiap hari. Aku berjalan sendirian menuju tempat favoritku. Bukan tempat spesial, hanya sebuah lahan kosong di belakang sekolah dimana ada pohon rindang berdaun lebat di sana. Karena di sana sangat sepi, nyaris tak pernah ada orang yang lewat, aku pun memilih menyantap makananku di sana setiap istirahat siang berlangsung.
Setibanya di sana, seperti biasa aku duduk di bawah pohon yang terasa teduh karena daun lebatnya melindungiku dari teriknya sinar matahari. Aku menerawang menatap langit, cahaya matahari menyilaukan mata sehingga refleks kedua mataku menyipit. Siang ini cuaca sangat cerah tapi angin berembus cukup hangat.
Tak ingin membuang waktu lagi, aku mulai membuka bekal makan siangku. Namun tiba-tiba tiga orang teman sekelasku datang entah untuk apa. Mungkinkah mereka ingin menggangguku karena rasanya mustahil mereka datang untuk bergabung bersamaku di sini?
Aku tahu mereka pasti datang dengan niat jahat. Tak ingin mencari gara-gara dengan mereka, aku pun memilih pergi. Aku beranjak bangun dari dudukku.
“Mau kemana kau?” tanya salah seorang dari mereka, Akemi dengan nada ketus.
Tomita Akemi merupakan teman sekelasku, dia sangat cantik dan populer di sekolah. Selain itu, dia pun sangat pintar. Di kelas, bisa dikatakan dia merupakan rival utamaku. Jika aku mendapatkan peringkat pertama maka Akemi-lah yang mendapat peringkat kedua. Sejak menuntut ilmu di sekolah ini, aku satu kelas dengannya dan dia selalu bersikap kasar padaku. Padahal aku selalu berusaha bersikap baik padanya tapi entah kenapa dia seolah begitu membenciku. Ini bukan pertama kalinya dia menggangguku seperti ini. Bersama dua temannya, Eri dan Mimi, mereka selalu mencari gara-gara denganku.
“Ditanya bukannya menjawab malah melongo?!” bentak Akemi sambil menekan-nekan keningku dengan jari telunjuknya begitu kasar.
“Aku mau memakan bekal makan siang,” jawabku pelan dengan kepala tertunduk.
Suara decakan Akemi terdengar kencang di telingaku. “Bawa dia ke rooftop!!” katanya. Eri dan Mimi langsung menurutinya. Mereka segera memegangi tanganku dengan paksa, memaksaku untuk ikut dengan mereka. Aku pun tak memiliki pilihan selain mengikutinya karena jika melawan, mereka akan memperlakukanku lebih kasar dari ini. Pengalaman di masa lalu mengajarkan banyak hal padaku.
Setibanya di rooftop, mereka mulai memperlakukanku dengan sangat kasar dan tidak manusiawi. Mereka menjambak rambutku. Mereka seakan-akan tak peduli meskipun aku merintih kesakitan.
“Heeh, jadi anak jangan sombong ya mentang-mentang Bu Misaki memujimu tadi!” teriak Akemi sembari tangannya menjambak rambutku semakin kencang.
“A-Apa maksudmu? A-Aku tidak pernah bersikap sombong,” ucapku dengan menahan rasa sakit pada rambut dan kepala yang mulai berdenyut. Jika boleh jujur, aku ingin menangis sekarang, tapi aku mencoba menahannya karena aku tak ingin Akemi menganggap dirinya telah menang.
“Memangnya kau pikir tadi aku tidak melihatmu senyum-senyum sendiri setelah menerima pujian dari Bu Misaki? Jangan terlalu percaya diri dan sok pintar ya. Ingat, kau itu bisa sekolah di sini karena beasiswa. Sebenarnya kau itu tidak pantas sekolah di sini. Kau itu seharusnya sekolah di sekolah-sekolah yang memang untuk anak-anak sepertimu. Aku sudah muak melihatmu. Jika kau tidak mau disakiti, lebih baik kau keluar dari sekolah ini!!” bentak Akemi bersamaan dengan tangannya semakin kuat menjambak rambutku.
Tapi tentu saja aku tidak mungkin menuruti keinginannya, masih dengan menahan rasa sakit aku pun menimpali perkataannya, “Aku tidak akan pernah keluar dari sekolah ini. Aku tidak pernah mengganggu kalian atau siapa pun. Kau pun seharusnya tidak menggangguku, apa salahku padamu?”
Akemi mendesis dengan wajah yang memerah karena emosinya yang semakin naik ke permukaan setelah mendengar jawabanku. “Ku-Kurang ajar kau!!”
Akemi sangat marah, dia akhirnya melepaskan jambakannya pada rambutku dan kini beralih mengambil tempat bekal makan siang yang masih kupegang.
“Kembalikan!!” pintaku sambil berusaha merebut kembali bekal makananku yang kini telah berada di tangan Akemi. Namun, kedua teman Akemi dengan cepat memegangiku sehingga aku pun tak mampu bergerak.
Akemi membuka bekal makananku dan dengan ekspresi jijik di wajahnya, dia menumpahkan makanan yang sengaja dibuatkan ibu, tepat ke atas kepalaku. Kedua temannya hanya menertawakanku. Mataku berair hingga akhirnya air mata pun tak sanggup aku tahan lagi. Kini air mata ini begitu deras mengalir dan membasahi wajahku. Seragamku kotor terkena makanan yang ditumpahkan Akemi.
“Buka bajunya!!” Perintah Akemi, yang tentu saja segera dituruti Eri dan Mimi.
Aku berteriak meminta pertolongan. Kali ini aku tak ingin berdiam diri dengan perlakuan mereka yang sudah keterlaluan. Sudah dapat kuperkirakan apa yang ingin mereka lakukan padaku. Aku terus berteriak tanpa menahan air mata yang tak hentinya mengalir. Melihat keadaanku, Akemi dan kedua temannya semakin terlihat senang. Mereka tertawa dengan kencang bahkan tak kalah kencang dengan suara teriakanku.
“Tidak akan ada yang mendengar teriakanmu di tempat ini, bodoh!!” teriak Akemi, yang kini membantu kedua temannya melepas pakaianku. Suara tangisanku semakin terdengar kencang saat kurasakan seragamku robek.
“Apa yang kalian lakukan? Berisik tahu.”
Seketika Akemi dan kedua temannya berhenti mencoba melepas seragamku dan menatap ke arah sumber suara itu, begitu pun denganku. Tepat di depanku kini, dia tengah berdiri. Siswa populer di sekolahku dengan paras tampan dan tubuh tingginya yang atletis. Rambutnya yang berwarna merah dan cukup panjang itu semakin menambah ketampanannya. Tidak mungkin aku tidak mengenalnya, pria itu sangat diidolakan oleh hampir semua siswi di sekolahku ini.
“K-Kyo ...”
Akemi dan kedua temannya tergagap menyebut namanya, disertai ekspresi gugup di wajah mereka yang begitu kentara.

Book Comment (14)

  • avatar
    cutieenana

    sumpah ini novel keren banget , btw aku org malaysia , aku sangat menyukai novel kamu <333 !! alur ceritanya sangat bagus bahkan bisa bikin aku nangis terisak-isak ... sukses selalu kak , jangan stop menulis novel , aku akan sentiasa mendukungmuu <333 i will look forward to your next novel ! hehe much love from malaysia 💓

    10/07/2023

      0
  • avatar
    SaniyahSalwa

    ceritanya bagus bangett

    08/04/2023

      0
  • avatar
    TASYA ANASTASYA

    mmtp bgt

    01/12/2022

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters