logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 8 Benarkah?

Tak terasa, matahari sudah berganti tugas dengan bulan yang menemani malam. Zidan berjalan mondar-mandir sembari menggigit ibu jarinya. Bagaimana jika wanita itu meminta pertanggungjawabannya? Zidan sudah menikah, bisa kacau semuanya. 
Sansan yang sejak tadi memperhatikan Zidan hanya menyunggingkan senyum sinis. Ia lalu memainkan ponsel di tangannya sebentar. Setelah itu, Sansan meletakkan ponselnya di nakas.
Ia dan Zidan sama-sama di dalam kamar. Namun, Zidan tak menganggap ada Sansan di sana. Ia terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri.
Bunyi notifikasi HP Zidan langsung mengalihkan perhatian pria itu, ia pun segera mengambil HP-nya yang tergeletak di kasur.
Ada satu pesan belum terbaca. Zidan pun membuka pesan itu.
'Bagaimana? Jadi ketemuan sekarang, kan, Tuan Zidan Leonli Terhormat?' 
Zidan kembali mondar-mandir tak jelas sembari memegang ponselnya.
"Ada apa denganmu, Pak?" tanya Sansan pura-pura tidak tahu.
"Bukan urusan anak kecil."
Sansan mendengkus pelan dipanggil anak kecil terus sama Zidan.
'Sepertinya aku harus mengikuti rencana Rifan,' batin Zidan. Ia langsung berpura-pura menelepon seseorang.
"Hallo?"
Sansan langsung menatap Zidan yang tampak panik mengangkat telepon. Siapa yang menelepon suaminya itu?
"APA? O--oke, aku ke sana sekarang!" ucap Zidan berlagak sepanik mungkin. Sansan mengerutkan keningnya penasaran.
"Oke. Tante tunggu aja. Aku ke sana sekarang!"
Tunggu. 
Tante? 
Sansan mengingat percakapannya dengan Wanti tadi siang, saat ia menanyakan tentang keluarga dan kerabat Wanti.
'Kamu pasti tau, kan, Zid, jika Mama nggak punya keluarga lagi, karena dulu Mama dibesarkan Nenek kamu. Papa Zidan pun cuma punya satu adik laki-laki, itu pun dia sekarang di London. Hanya ada sepupu Papa Zidan di sini, namanya Om Zal, masih single, nanti Mama kenalin.'
Sansan jadi curiga. Namun, saat melihat layar ponsel Zidan menyala menampakkan walpapernya tanpa ada tanda sedang menelepon membuat Sansan tertawa dalam diamnya.
"Iya, Tan. Bye!"
Zidan yang menatap istrinya tertawa berdeham pelan.
"Ada yang lucu?" tanya Zidan datar.
"Oh, tentu ada. Tadi aku sedang menonton film lucu," ucap Sansan. Zidan langsung menatap TV yang ada di kamarnya. TV itu dalam keadaan mati.
"TV-nya saja tidak menyala. Bagaimana bisa kau menonton?" ucap Zidan yang merasa Zidny sedang membuat lelucon garing.
Dalam hati Sansan terkekeh geli, 'lalu, bagaimana dengan kamu yang bisa menelepon padahal tidak ada orang yang ditelepon?'
Zidan mengambil kunci mobilnya dan bergegas keluar kamar. 
"Mau ke mana, Pak?" tanya Sansan.
"Kau tak dengar tadi? Tante saya menelepon minta jemput, saya harus ke sana sekarang," jawab Zidan.
Saat suaminya itu sudah menghilang dari balik pintu, Sansan melanjutkan kembali tawanya. "Sejak kapan kau memiliki Tante?" ucap Sansan terkekeh geli.
Sansan pun mengambil tasnya, lalu keluar kamar. Jam menunjukan pukul sebelas malam. Tentunya Wanti dan Nuni sudah tidur. Untung saja Sansan diberikan kunci cadangan oleh Wanti.
Sansan berjalan keluar kamar. Gelap! Ya, lampu di ruang tamu dimatikan, Sansan harus hati-hati takut ada yang tersenggol olehnya membangunkan Wanti atau Nuni.
Saat sudah sampai di depan pintu, Sansan mengintip Zidan yang baru saja pergi dengan mobilnya. Setelah Zidan keluar dari pekarangan, Sansan pun menuju bagasi, mengeluarkan mobilnya.
***
Tentu saja Zidan datang lebih dulu daripada Sansan. Zidan pun memilih duduk dulu sembari menunggu wanita itu.
Seperti biasa, Sansan masuk melalui pintu belakang. Ia pun masuk ke kamar pribadinya yang dulu sering ia pakai. 
"Udah lama nggak lihat lo, San. Ke mana aja?" tanya Ranti—teman Sansan. 
"Ah, itu ... gue, gue ... ada urusan kemarin," jawab Sansan.
"Oh. Padahal Om David selalu nyariin lo."
"Hehe. Lo gantiin aja," ucap Sansan.
"Ya, untung Om David mau gue yang gantiin, walaupun dia tetap maunya sama lo, sih."
Sansan menggaruk kepalanya yang tak gatal. Sekarang ia tak bisa lagi melayani pria lain, karena ia sadar jika sudah bersuami. Sansan tentu tahu kewajibannya sebagai istri.
"Eh, ya. Lo nggak ganti baju?" tanya Ranti memecah keheningan yang terjadi.
"I--iya. Ya udah, bye, Ran!"
Sansan segera menuju toilet, mengeluarkan baju di dalam tasnya. Baju pendek dan terbuka khusus untuk dipakainya di club.
Sansan menyisir rambutnya. Ia juga merapikan poni panjang yang menutupi sebagian wajahnya. Setelah itu, Sansan menghela napas panjang dan keluar dari kamar.
Zidan sudah beberapa kali meneleponnya, tetapi tak diangkat oleh Sansan.
Sudah lebih dua puluh menit Zidan duduk diam menunggu kedatangan wanita itu di sini. Namun, Sansan belum juga menampakkan wajahnya. Zidan rasanya ingin saja pulang sekarang.
"Hai," sapa sebuah suara yang membuat Zidan menoleh. 
"Sorry, lama nunggu, ya?" ucap Sansan.
"Apa yang ingin kau katakan?" tanya Zidan to the point.
"Nggak usah formal gitu, ah, ngomongnya. Bukannya kamu sudah pernah bersenang-senang denganku?" ucap Sansan seraya mengusap pipi mulus Zidan. Elusan jari lentik Sansan membuat Zidan mematung. Jantungnya berdetak dengan cepat. Ada apa dengan Zidan?
Tangan Zidan bahkan tak berdaya untuk menghentikan elusan tangan Sansan. Sangat memikat! Ya, Sansan bisa menebar pesonanya yang membuat Zidan tak berkutik.
'Kamu adalah suamiku, jadi aku bebas jika mau ngapain,' batin Sansan.
Setelah itu, Sansan menuangkan bir ke dalam gelas kosong di depannya. Ia menyicip sedikit. Argh! Panitnya membuat lidah Sansan terasa tebal. Ia tak akan mau meminum lebih banyak, karena Sansan tak ingin mabuk lagi.
Ia segera memberikan gelas bekasnya itu pada Zidan.
"Aku mau kita bersenang-senang lagi," ucap Sansan berbisik di telinga Zidan yang terdengar sangat menggoda.
Zidan meneguk salivanya susah. Kenapa ia seperti kena sihir oleh wanita itu? Zidan seakan-akan memang ingin menikmati waktu dengan Sansan.
Zidan mengambil gelas dan meneguk bir itu sampai habis. Kepalanya langsung terasa berat. 
"Nama kamu siapa?" tanya Zidan. Sansan semakin mendekatkan duduknya di samping Zidan. Ia menjatuhkan kepalanya di bahu Zidan dan berkata, "Namaku, Sansan."
Zidan tak bisa mendengar lebih jelas, karena kepalanya yang sudah memberat. Sansan lalu kembali menuangkan bir itu ke gelas Zidan, memaksa pria itu meminum lebih banyak.
"Jika kamu capek, tidurlah di sini," ucap Sansan menepuk pahanya. Zidan yang tak kuasa menahan kepalanya yang terasa berputar-putar, lalu membaringkan badannya di sofa, meletakkan kepalanya di paha Sansan.
Sansan menyunggingkan senyumnya, lalu mengusap rambut hitam pekat milik Zidan. "Daripada kamu berkeliaran, lebih baik tidur," ucap Sansan. 
Bayangan semua tentang dirinya terlintas si kepala Zidan. Bagaimana ia dikhianati oleh kekasih sendiri yang berselingkuh dengan sepupunya. Semua itu mengganggu pikiran Zidan. Namun, kisah manis ia dan Reni pun kembali berputar.
Zidan lalu bangkit dan kembali duduk. Ia menghadap ke arah Sansan. 
Zidan tiba-tiba menangkup muka Sansan dengan kedua tangannya. Mata Zidan sudah berubah sayu, Sansan tau jika suaminya itu sudah mabuk.
"Aku cinta kamu," ucap Zidan.
Degh
"Aku cinta sama kamu," ucap Zidan lagi. Pipi Sansan berubah merah merona. Katanya, orang mabuk akan berkata sejujurnya. Apakah Zidan memang mencintai Sansan?
"Be--benarkah?" tanya Sansan dengan jantung berdegup kencang. Sansan tiba-tiba tersenyum yang membuat Zidan ikut tersenyum.
"Ya, aku ...."
***
BERSAMBUNG
****
 
 
 
 
 
 

Book Comment (746)

  • avatar
    SaputriAprilia

    aduh ceritanya seru deh pake banget, plisss lanjut dong lagi,. bener" gue pantengin terus dah ini.

    22/12/2021

      0
  • avatar
    MaulaniAmalia

    Masya Allah😊

    12d

      0
  • avatar
    Mela Agustina

    bnyk plotwis nya bkin mewek tpi seruu bgtt🥹🤍

    22d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters