logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 4 Manajer Baru

Tak mengindahkan pertanyaan Jefry, Reina segera mengambil kotak makan di depannya dan berlalu meninggalkan sang sahabat. Entah mengapa untuk saat itu ia tak mau membahas pertemuannya dengan Rian tadi pagi di parkiran yang Jefry belum tahu, juga pertemuan mereka secara resmi di ruangan karyawan housekeeping.
Gadis itu kembali duduk bersama teman-temannya. Tak ada yang Reina katakan meski semua temannya terlihat berbincang seru dengan nama Rian yang menjadi topik mereka di waktu istirahat siang itu.
"Kayanya aku enggak jadi resign deh kalau kaya gini!" seru Sisi, yang kemudian disoraki oleh teman-teman lain.
"Aku juga bakal betah, enggak mau kalau dipindah ke bagian yang lain," sahut Yunita dengan senyum mengembang.
"Memang ada rencana kamu dipindah, Yun?"
"Heem! Tapi baru rencana."
"Kemana?"
"Bagian laundry!"
"Yeah, kalau bagian laundry masih di bawah Pak Rian juga lah!"
"Tapi 'kan enggak kaya sekarang bisa ketemu setiap hari karena markas kita 'kan sebelahan sama ruangan Pak Rian," kekeh Yunita melanjutkan.
"Dasar!" seru yang lain.
Reina sama sekali tidak tertarik untuk bergabung membicarakan mantan temannya itu. Ia memilih makan dan melihat-lihat akun sosial medianya.
Terlihat ada yang aneh ketika sebuah permintaan pertemanan masuk ke akun miliknya. Ketika ia melihat poto profil yang tertera, betapa terkejutnya Reina melihat gambar orang yang mengajukan pertemanan padanya. Sosok itu adalah Rian, lelaki yang lima tahun ia hilangkan dari pikiran dan memori hidupnya. Lelaki yang sama, yang saat ini bekerja di satu perusahaan yang sama dengan sebagai atasannya.
Tanpa pikir panjang Reina menolak permintaan pertemanan yang Rian ajukan. Ia sama sekali tidak tertarik dengan interaksi keduanya meski hanya sebatas dunia maya. Walaupun bisa saja itu hanya sebuah pengajuan pertemanan biasa tanpa adanya maksud tertentu. Tapi, bagi Reina pribadi hal itu justru adalah awal dari sebuah komunikasi.
Gadis itu pun kemudian menyudahi petualangannya di dunia maya. Menaruh kembali ponsel di atas meja, kemudian menghabiskan makan siangnya yang belum habis.
"Rein, menurut kamu gimana?" tanya Desi yang sejak Reina bergabung hanya diam saja tidak menanggapi aksi gosip mereka.
"Hah! Gimana apanya?" tanya gadis itu pura-pura tidak mengerti.
"Itu, Pak Rian. Manajer kita yang baru."
"Oh!"
"Kok 'oh'!" seru Sisi tak percaya, yang lain ikut mengangguk setuju.
Reina menatap teman-temannya, bingung. "Terus, aku harus bilang apa?"
"Ya, enggak 'oh' juga kali. Apa kek, ganteng kek atau seksi, gimana ... gitu?" sahut Sisi dengan wajah yang terlihat jelas mengagumi sosok Rian, yang sekarang sudah berubah sesuai dengan apa yang Sisi katakan barusan.
Meski tubuh lelaki itu berada dalam balutan jas hitam yang dikenakan, tetapi semua orang —terutama para wanita, bisa tahu bentuk tubuh yang berada di balik pakaian kerja tersebut. Namun, itu semua sama sekali tidak membuat Reina melirik apalagi tertarik.
"Ehm, biasa aja sih menurut aku." Reina benar-benar cuek. Jawaban yang ia lontarkan membuat semua teman satu mejanya saling memandang dan menggeleng.
"Kayanya mata kamu bermasalah yah, Rein?" ucap Sisi spontan.
"Kenapa gitu? Mataku normal-normal aja kok!"
"Ya habis, orang ganteng dan kece begitu kamu bilang biasa aja. 'Kan aneh! Iya enggak sih?"
Desi dan Yunita kompak mengangguk. Mereka sungguh tidak mengerti dengan penilaian Reina yang mengatakan jika sosok Rian yang penuh kharisma dan ganteng paripurna tampak biasa saja di matanya.
"Ye, selera orang 'kan beda-beda. Aku yakin enggak semua wanita suka sama sosok seperti manajer kita itu. Iya 'kan?"
"Iya, masalah perasaan mah emang selera masing-masing. Tapi, yang dibahas di sini 'kan wajah dan penampilan Pak Rian gitu loh, Rein?"
Reina terlihat mengangkat bahu. Gadis itu tetap pada pendiriannya. "Biasa aja."
"Kayanya cuma Jefry yang keren menurut si Reina!" kelakar Sisi membuat yang lain sontak tertawa, tak terkecuali Reina yang menganggap ucapan temannya itu hanyalah candaan semata.
Memilih tidak memaksa pendapat dan penilaian orang lain, ketiga teman Reina menyudahi obrolan mengenai sosok Rian siang itu. Reina yang sudah selesai dengan makan siangnya, bersama Yunita memilih pergi menuju mushola kecil yang ada di sebelah kantin untuk menunaikan kewajibannya.
"Kalau gitu kami duluan, yah!" pamit Desi dan Sisi bebarengan.
Sisi berbeda keyakinan dengan ketiga temannya, sedangkan Desi sedang berhalangan dan tidak bisa menunaikan kewajibannya.
"Oke!" seru Reina dan Yunita seraya mengangguk.
Keduanya pun berjalan santai. Waktu istirahat masih ada setengah jam sebelum mereka kembali melanjutkan pekerjaan. Dua gadis yang berada dalam satu bagian itu, mendadak terkejut ketika melihat sosok lelaki tampan yang menjadi topik gosip mereka di kantin tadi.
"Pak Rian!" seru Yunita dengan wajah seketika berbinar. Ia memandang Reina yang sudah kembali biasa.
Yunita tidak tahu jika saat ini Reina tengah menormalkan degup jantungnya yang mendadak kencang. 'Ia tak berubah', batin Reina demi mengingat pribadi lelaki tersebut.
Reina meneruskan langkahnya, disusul Yunita yang agak ragu ketika akan masuk ke dalam sana.
"Rei?" panggil Yunita sedikit berbisik.
"Apa?"
"Kamu yakin mau masuk sekarang?"
"Memangnya kenapa?" tanya gadis itu heran.
"Y-ya, kamu 'kan lihat di sana ada manajer kita."
"Emangnya kenapa kalau ada manajer. Bukannya selama ini juga kita biasa aja kalau ada Bu Winda atau Bu Cici. Kenapa sekarang kamu jadi enggak yakin kalau ada manajer baru itu?"
"Ya, bukannya gitu. Kita 'kan baru kenal dan belum tahu orangnya kaya gimana. Jadi agak gimana gitu," kekehnya memandang Reina.
"Ish, aneh. Cuek aja kenapa sih. Lagian dia juga pasti makan nasi sama kaya kita, jadi enggak mungkin gigit atau nyerang kalau yang kamu takutkan itu."
"Au ah, Rein! Ngomong sama kamu jadi serius banget gini!" cerocos Yunita sambil memanyunkan bibirnya. Reina pun tertawa menanggapi kekesalan sang kawan.
Apa yang Yunita katakan memang benar, semenjak peristiwa lima tahun lalu yang terjadi di dalam kehidupannya, Reina yang ceria dan humoris mendadak berubah menjadi pribadi yang serius. Terkadang teman-teman satu geng di sekolahnya dulu —seperti Jefry dan Danu, merasa heran dengan perubahan yang terjadi pada gadis itu. Hanya sesekali sikap jenakanya keluar jika ia sedang dalam mood yang sangat baik, kalau tidak, jangan harap bisa mendengar candaan lucu yang terlontar dari mulut gadis itu.
Keduanya kini sudah berada di teras mushola. Reina dan Yunita duduk di undakan tangga kecil untuk mencopot sepatu dan kaos kaki. Yunita terlihat sesekali menengok ke arah dalam, mengawasi kalau-kalau sang manajer ada di dekatnya.
"Lama banget sih? Yuk!" ajak Reina untuk menuju tempat wudhu.
"Duluan deh. Aku mau angkat panggilan dari temanku dulu," ucap Yunita seraya menaruh ponsel di telinganya, lalu bangkit dan berjalan sedikit menjauh.
Reina akhirnya melakukan aktifitasnya sendiri. Mushola yang cukup ramai dengan banyaknya karyawan yang baru saja selesai makan, memaksanya untuk mengantri.
Begitu Reina selesai dengan aktifitas berwudhu-nya, gadis itu pun segera keluar dari area untuk masuk ke dalam mushola. Namun, begitu ia akan berbelok, terkejutlah dirinya ketika ada sosok lelaki yang berdiri tepat di depannya. Wajah yang sangat ia kenal meski sudah lama tidak bersemayam di dalam otaknya.
"Reina!" ucapnya pelan seolah tak ingin orang lain mendengar.
"Maaf, Pak." Tak ingin berhadapan dan berinteraksi dengan lelaki itu, Reina pun memilih menggeser tubuhnya supaya bisa masuk tanpa terhalangi oleh tubuh Rian yang tinggi.
Reina melihat wajah lelaki itu terkejut karena ucapannya, tetapi Reina tak peduli. Ia terus melangkah masuk dan bersegera menunaikan kewajibannya.
***

Book Comment (25)

  • avatar
    LamaliIqbal

    baik

    9d

      0
  • avatar
    Muhamad Idris Ais

    mantap

    24d

      0
  • avatar
    pratamairham

    ceritanya sangat menarik

    21/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters