logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 14 Akhirnya

Reza membersihkan sisa bungkus makanan setelah Hani menghabiskan semuanya, lalu mengambil obat di nakas dan meminta wanita itu untuk meminumnya. 
"Masih pusing?"
Dia mengangguk. 
"Tidur lagi sana. Istirahat." Dia hendak membantu wanita itu berdiri, tapi tangannya ditepiskan.
"Aku di sini saja, Za," tolaknya halus. 
Sudah tak ada batasan lagi di antara mereka karena sudah saling memanggil nama.
"Kamu tidur di kamar. Biar aku di sini." 
Hani menatapnya curiga, sedangkan yang ditatap malah membalasnya dengan mesra. Reza mendekatinya sehingga kali ini mereka sudah tak berjarak. Tangannya meraih lembut, menyatukan jemari mereka. 
"Aku sayang kamu." Entah dirasuki apa dia mengatakannya, membuat Hani terbelalak karena tak percaya. 
Wanita itu membuang muka. Jantungnya berdebar kencang, napasnya berasa sesak. Lelaki ini akhirnya mengungkapkan perasaan. 
Dia harus menjawab apa? Berulang kali ditolak Reza masih tetap saja mengejarnya. Apa harus diterima juga?
"Enggak boleh, Za. Aku istri orang."
"Tapi aku sayang."
"Ini salah."
"Ini nggak salah. Perasaan ini nggak bisa aku tahan."
"Perasaan memang enggak salah, tapi harusnya tahu harus bersikap apa." 
Halus dia menolaknya, sampai kasar juga pernah. Lelaki ini tidak bisa diberi pengertian, harus menuruti keinginannya sendiri.
"Tolong mengerti. Aku enggak bisa." Dia melepaskan genggaman lalu menggeser duduknya sehingga berjauhan. 
Mereka hanya berdua di sini, segala macam hal bisa saja terjadi. Apalagi Reza begitu perhatian merawatnya selama sakit. Dia yang tadinya bertahan mati-matian, bisa saja menyerah. 
Lelaki berbulu mata lentik itu tersenyum pahit. Dalam hatinya mengumpat saat menerima kenyataan bahwa cintanya bertepuk sebelah tangan. 
Kenapa di saat dia menyayangi seseorang, cintanya tak berbalas?
"Sekarang kamu tidur di dalam. Nggak usah bantah." Dia menunjuk kamar. 
Hani mengangguk patuh dan mengalah. Sebenarnya dia ingin pulang sekarang, tapi kondisi yang belum sepenuhnya pulih membuat serba salah. 
Reza kembali membantunya berdiri. Kali ini Hani tak menolak. Efek dari obat membuatnya lemas, dia merasakan kantuk tak tertahankan. 
"Anak kamu jangan dipikirkan. Aku udah urusin semuanya." Dia meletakkan bantal untuk menyangga kepala Hani. 
"Makasih." 
Lelaki itu membalasnya dengan usapan di kepala. Anak rambut yang terjuntai di pelipis si cantik ini membuatnya tak bisa menahan diri, ingin selalu menyentuhnya.
Dalam kondisi begini, Hani sama sekali tidak berpikir bahwa Reza telah merencanakan sesuatu yang mungkin nantinya akan berpengaruh terhadap kehidupan mereka di masa yang akan datang.
Dia malah berubah pikiran, tadinya benci karena perlakuan di luar batas, menjadi sedikit menaruh simpati karena sikap baik yang ditunjukkan.
"Suami kamu nggak ada kabarnya?" Tangan itu membelai bibirnya yang kering, kontras dengan wajahnya yang pucat, menandakan bahwa memang kondisi tubuhnya belum sepenuhnya pulih. 
Hani menggeleng. 
"Pantes kamu sakit. Kepikiran, ya?"
"Enggak biasanya Mas Ardi begitu." Matanya berkaca-kaca. 
Reza mendengarkan semua yang dikatakan Hani saat menumpahkan seluruh isi hati. Betapa wanita itu merasa takut jika terjadi sesuatu kepada suaminya di sana. Jarak yang jauh dan waktu yang berpisah cukup lama, menimbulkan banyak prasangka. 
Beban yang wanita itu tanggung cukup berat, pekerjaan, rumah dan anak, sementara sang suami sulit dihubungi untuk berbagi cerita.
"Sekarang kamu tidur." Reza menarik selimut dan mengatur pendingin ruangan. Hani tampak mengigil dengan suhu kamar yang biasa dia gunakan. 
Ketika mata cantik itu terpejam, dia segera keluar kamar. 
***
Paginya.
"Bangun dong, cantik. Enak banget tidurnya."
Suara dan sentuhan seseorang membangunkan tidur lelapnya. 
Lelaki itu gemas melihat sang pujaan hati yang meringkuk di ranjang. Si mungil ini terlihat semakin imut tanpa make-up, benar-benar cantik tanpa banyak polesan. 
"Masih ngantuk." Dia menggeliatkan tubuh. 
Ranjang ini memang empuk sekali, sampai tidak sadar dan tiba-tiba saja sudah pagi. Matanya masih terpejam, antar sadar dan tidak. 
Reza tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi wanita itu. Lucu.
Mendengar tawanya, Hani seketika sadar bahwa yang membangunkan bukan suaminya. Dia menepiskan tangan Reza yang sejak tadi mengusap pipi. Lelaki itu memang pintar mencuri kesempatan. Mengulurkan umpan sedikit demi sedikit agar sang mangsa terperangkap dalam jeratnya. 
"Sana mandi. Aku udah pesen sarapan. Pake baju yang ada di lemari aja dulu." Dia menunjuk lemari putih yang terletak di sudut ruang. 
"Baju kamu?" 
Matanya mencuri-curi pandang. Reza terlihat tampan dengan kaos putih dan jeans belel selutut. Rambutnya terlihat acak-acakan, seperti habis mandi. Aroma harum yang menguar membuat Hani merona.
"Kamu enggak boleh kemana-mana. Istirahat."
"Aku belum izin kerja sama Bu Maya."
Reza tertawa geli mendengarnya." Kamu ini lugu banget. Aku bosnya kok mau ijin sama Maya. Udah beres. Mandi sana."
Hani tersadar. Benar juga, kenapa dia tidak terpikirkan sebelumnya. "Sana keluar."
"Enggak. Aku mau ngeliatin," ucapnya menggoda. Tangannya terlipat di dada, memandang dengan lekat.
"Dasar." Hani mengambil bantal dan melempar Reza. 
Lelaki itu keluar kamar dengan tawa menggema. 
***
"Sarapannya udah si-" 
Mata Reza terbelalak melihat Hani yang sedang mencari kaos di dalam lemari. Apa yang ada di hadapannya sungguh menggoda iman. Selesai menyiapkan sarapan, dia langsung menuju ke kamar, memanggil wanita itu untuk makan bersama.
Dia menelan ludah, yang tadinya hanya ingin mengajak makan berubah rencana menjadi tak karuan, setelah melihat view yang ada di depannya.
Hani berteriak ketika dia sadar bahwa sedari tadi ada seseorang yang mengintipnya diam-diam. Seseorang itu memperhatikan gerak geriknya dengan seksama.
Reza berjalan mendekat.
"Keluar! Aku lagi ganti. Kenapa kamu nggak ketuk pintu dulu." Hani menutup sebagian tubuhnya dengan kaos yang ditarik asal dari lemari.
"Ini kan kamar aku. Ngapain ketuk pintu segala?" Reza menjawab dengan santai. Langkah kakinya semakin pasti berjalan mendekat.
"Sana!" usirnya dengan mengibaskan tangan. 
"Udah terlanjur liat. Masa' enggak boleh." Langkahnya semakin mendekat. Tekadnya sudah bulat kali ini, dia harus mendapatkan Hani saat ini juga, atau tidak sama sekali.
"Kamu mau ngapain? Jangan macem-macem!"
"Aku enggak minta banyak. Satu macem aja, kok." Dia mengedipkan mata, memberikan sinyal yang Hani tau apa maksudnya. 
"Menjauh, Za!" usirnya. Posisinya saat ini terpojok, mundur atau maju tetap saja tak bisa menyelamatkan diri. Kalaupun bisa, kemungkinannya kecil. 
"Mau apa enggak, kamu harus mau!" 
Dalam sekali tarikan tubuh Hani kini sudah berada dalam dekapannya. Wanita itu ketakutan, meronta dan menolak. Reza dengan segala tipu daya berhasil mendapatkan apa yang diinginkan dengan susah payah. Tak sia-sia selama ini perjuangan untuk menaklukan Hani. Ternyata, semudah ini jalannya. Ini dosa atau tidak, dia tak peduli. Baginya, saat ini Hani sudah menjadi miliknya.
Hani masih berusaha melawan, mempertahankan harga dirinya sebagai seorang istri. Tapi sayang, takdir tak berpihak kepadanya. Ketika Reza mulai merayu, pada akhirnya ... dia luluh.

Book Comment (11612)

  • avatar
    DITAPUSPAADYTIA

    fix perasan2 seperti di aduk2 antara baper bimbang di lema bingung dan sedih terus bahagia awal suami nya seperti idaman dan retak karna masalah ekonomi meski hubungan sudah lama gak menjamin keutuhan . patut di pelajari kehudupan cerita ini. seperti kayalan tapi terasa di dunia nyata best saya jujur terharu😢 apalagi awal keluarga sempurna masalah selalu ada dikehidupan di setiap cerita ❤

    17/08/2022

      0
  • avatar
    Yona Astuti

    saya suka bnget ceritanya ada kelanjutan gak..soalnya seru menginspirasi banyak bnget pelajaran yg dapet dipetik dari cerita ini..semangat ya semoga makin sukses dan ttap dalam lindungan Allah SWT aamiin☺️

    27/01/2022

      0
  • avatar
    lavoisierrz

    keren banget selalu bikin penasaran buat ngelanjutin ceritanya, bahasanya juga mudah dipahami, semangat kak

    21/01/2022

      1
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters