logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

CIUMAN PERTAMA

“Sekarang, buatkan aku sarapan, Rania,” Pria itu mendekat dengan dua tangan masuk ke dalam saku celana. Kembali mencondongkan tubuh ke arah gadis itu dan praktis Rania kembali mundur ke belakang.
“Aku sudah kelaparan dan kamu bahkan baru bangun?”
Rania menatap Arez, malas, “Aku bukan pembantu,” Rania mencebik. Terang saja, dia hanya bisa memasak mie instan, telur, serta memasak air.
“Aku lapar pagi ini, Rania. Atau, bagaimana jika aku memakanmu?” Arez menyunggingkan senyum smirk-nya, sebelum menegapkan tubuhnya kembali, “Cepatlah!”
Dengan gerakan panik, Rania beringsut hendak kabur dari om-om mesum yang tidak tahu malu. Namun belum juga beranjak, suara bariton pria itu kembali terdengar.
“Mau kemana?”
“Ka-katanya ta-tadi minta dibuatkan sarapan? Rania mencicit. Berusaha menatap manik abu yang selalu menggetarkan hati para wanita yang menatapnya, termasuk Rania. Tapi sayang, sekarang sudah tidak, karena sikap Arez pagi ini yang membuatnya sedikit muak, meski kadang hatinya masih suka berkhianat.
Dasar labil.
Kedua sudut bibir Arez tertarik ke atas. Ia yang tadinya menatap sepasang manik coklat milik Rania menurunkan pandangannya ke arah dada Rania yang terbuka. Sekuat tenaga pria itu meneguk ludah, ketika pikirannya mulai membayangkan hal yang liar dalam otak kotornya.
“O-om?” Rania yang merasa tatapan Arez mulai menyorotkan kelancangan langsung menutupi dadanya dengan kedua tangan.
“Indah.”
“Apa?” Rania melotot dengan bibir menganga. Ya setan! Percuma wajah tampan jika kelakuannya seperti setan.
“Kamu harus minta maaf, karena sudah—” Arez menggeleng. “Ah, kamu harus mendapatkan hukuman karena tidak menuruti perintahku, poin ke lima belas perjanjian kita,” frustasi akan hal yang tidak mengerti, tangan kokoh Arez menarik tengkuk gadis itu yang tidak siap atas tindakannya.
Damn. Dia benar-benar hilang akal.
Rania memekik nyaring, sebelum pekikan itu kemudian lenyap ke dalam lumatan lembut bibir Arez.
Astaga, ciuman pertamanya.
Rania berusaha memberontak namun tubuhnya lemas seperti jeli. Berbagai rasa bercampur aduk dalam benaknya. Tetapi dari sekian banyak rasa, yang mendominasi adalah gelora panas di dada. Rasa yang aneh yang memerintahkan dirinya untuk tetap tenang menikmati sentuhan dari bibir pria itu yang mulai menggodanya untuk membuka mulut.
Rania semakin larut dalam pusat gairah yang kemungkinan akan membawanya ke permainan panas selanjutnya. Gadis itu mulai membuka mulutnya, menyambut lidah Arez, lalu menari bersama. Hingga geraman dari tenggorokan pria itu tertangkap pendengarannya, dan Rania mendapatkan kembali kesadarannya.
Oh… shit!
Ia mulai memberontak, berusaha lepas dari Arez yang semakin erat memeluk pinggulnya dalam sepersekian detik sebelum kemudian melepaskannya saat ia berusaha mendorong sekuat tenaga.
“O-om….”
“Arez, Rania!” Arez berpaling cepat masih dengan wajah memerah, “Segera turun dan buatkan aku sarapan!” pria itu lalu berbalik masih dengan napasnya yang memburu lalu segera melangkah keluar.
Rania yang menatap punggung Arez yang kemudian lenyap di balik pintu kamarnya seketika melongo, setelah beberapa saat ia mengerjap tak menyangka.
“Astaga! Ciuman pertama gue!” Rania menggeleng tak percaya. Gadis itu mendengkus kesal seraya mengusap bibirnya jijik. “Brengsek… brengsek… brengsek!” desisnya berulang kali namun tak mampu meluapkan rasa marah setelah perlakuan Arez yang kurang ajar tapi entah mengapa terasa sangat memabukkan baginya.
“Dasar laki-laki brengsek! Atau gue yang brengsek?” Rania berdecih. Gadis itu mencoba mengabaikan hal yang baru saja terjadi dengan memilih untuk turun menuju dapur secepatnya.
Ia hanya melirik sekilas pada Arez yang sedang meminum kopi di ruang makan. Pria itu sudah menyiapkan sendiri kopinya. Itu berarti Arez tipe lelaki yang bisa diandalkan ketika pasangannya sedang sakit. Tapi, siapa pasangan yang beruntung itu?
Mungkin yang jelas, bukan Rania.
Dia hanya simpanan, dan barang yang disimpan kadang terlalu sulit untuk ditunjukkan.
***
Rania mengencangkan tali bahtdrobe-nya erat kemudian menggunakan apron bergambar strawberry yang ada di sudut dapur. Tanpa basa-basi menyapa, Rania menuju lemari pendingin, melihat bahan makanan apa yang bisa ia masak.
“Aku buatkan omelette?”
“Terserah.”
Rania menghela napas lalu tersenyum dengan penuh kepalsuan. Setelah mengambil beberapa telur dan bahan lainnya ia lalu melangkah menuju kompor. Entah bagaimana rasa masakannya nanti. Kemungkinan tidak enak bisa saja terjadi, mengingat ia tidak bisa memasak. Tapi siapa yang peduli?
Rasanya tak percaya, dia menyiapkan semua ini untuk Arez layaknya istri sungguhan yang menyiapkan sarapan untuk suami di pagi hari.
Setelah hampir satu jam berkutat di dapur dengan segala macam kegaduhan yang ia buat. Akhirnya, gadis itu berhasil menata masakannya di meja makan.
Tampak Arez yang masih santai dengan game teka-teki silang di ponselnya di saat pria itu seharusnya sudah bergegas pergi ke kantor.
“Kenapa?” tanya pria itu membuka suara tanpa melirik Rania.
Suara Ares yang lagi-lagi datang secara mendadak mengejutkan Rania. Gadis itu melihat ke arah Arez lalu menggeleng tak mengerti, “Ya?”
“Kenapa melihatku? Apakah kau baru tahu jika aku tampan?”
Rania mengerjap, ternyata selain arogan, pria itu juga sangat percaya diri, “Bukan! Bukan seperti itu! Kenapa menyuruhku memasak? Aku kan tidak bisa memasak. Pasti rasanya tidak—"
“Semua makanan bagiku enak dan enak sekali, Rania. Sedangkan makanan yang kamu buat ini masih layak untuk dimakan berarti masih enak untuk dirasakan. Duduklah! Kita sarapan bersama.”
Rania mendengkus kesal. Teori macam apa itu?
Pasrah, gadis itu terpaksa duduk di meja makan berdampingan dengan Arez menikmati sarapannya pagi ini. Nasi yang terlalu keras dan omelette yang sedikit gosong, serta susu yang terlalu manis. Benar-benar makanan tidak sehat dan kurang sempurna.
Rania kembali kesal, bukan karena Arez mempermasalahkan apa yang dimasaknya pagi ini. Tapi, ia kesal karena pria itu terlalu sempurna ketika mengunyah makanan. Tidak seperti dirinya yang makan cukup membutuhkan waktu lima menit saja, Arez satu suap membutuhkan waktu tiga puluh detik untuk mengunyah. Damn.
Selagi mengunyah pria itu memanfaatkan waktu tiga puluh detik untuk mengisi teka-teki silang di ponselnya. Dan Rania dibuat menganga takjub, karena dalam empat suapan, pria itu berhasil menyelesaikan empat level teka-teki silang sekaligus.
Padahal Rania ikut berpikir keras atas setiap pertanyaan di layar ponsel pria itu yang terasa sulit dicerna otaknya, namun Arez menjawabnya dengan cepat dan tepat.
Sebenarnya pria itu diberi mantra apa, sih? Kenapa bisa sepintar itu? Rania saja yang sudah mahasiswa tidak memiliki kecerdasan seperti Arez. Ck, kenapa dunia ini berpihak pada pria mesum sepertinya? Sungguh, benar-benar tidak adil bagi Rania.
“Ada apa?”
“Ya?” Rania menatap Arez dengan sepasang alis naik ke atas.
“Kenapa menghela napas?”
“Oh ya?” Rania mengerjap lalu melongo bingung.
Arez langsung berdecak melihat raut bingung Rania, “Menghela napas termasuk kebiasaanmu sepertinya,” pria itu menggerakkan tangan meminta Rania menghadap ke arahnya.
“Kalau aku tidak menghela napas, aku mati, Om.”
“Jangan membantah, Rania. Menghela napas sama menarik napas itu beda. Kamu sepertinya memiliki beban yang berat dengan menghela napas panjang seperti itu.”
Rania mengerjap, lamat-lamat mengartikan ucapan pria itu seperti teori fisika quantum yang sulit dicerna.
“Jangan menghela napas lagi ketika di depanku.”
Arez berucap dengan raut datar membuat Rania berpikir pria itu pandai menyembunyikan apa yang ada dalam pikirannya. Termasuk pandai menyembunyikan perasaannya setelah tadi membuat Rania melayang karena ciumannya.
Tapi memangnya dia mencium Rania dengan perasaan?
“Kamu menghela napas panjang lagi?”
“Aku hanya bernapas,” Rania berusaha menyangkal. Dasar aneh, bernapas saja dipermasalahkan. Negara sedang susah, jangan dibuat tambah susah. Bagaimana jika dia tidak bisa bernapas? Oksigen mahal dan tabung oksigennya juga harus impor, untuk membeli itu semua, ia takut tidak bisa menunggu lama, keburu dijemput malaikat maut untuk pulang dan dia belum siap untuk itu. Dosanya terlalu banyak.
“Aku memiliki peraturan di sini.”
Rania mengangguk.
“Jangan pernah membawa orang asing di sini. Kalau mau bertemu keluargamu atau temanmu, cukup temui mereka di lobi,” Arez terdiam, menanti jawaban Rania yang juga diam.
“Rania!”
“Ya?”
“Kamu mendengarkan aku?”
“Iya. Aku dengar, Om.”
Tatapan Arez menyorot begitu dalam, menusuk sepasang manik coklat Rania, “Aku sudah katakan berapa kali, Rania? Jangan panggil aku om, panggil aku Arez atau ‘mas’.”
“Baik, O—m eh…, mas.” Rania meringis, jemarinya membentuk tanda peace. Merasa geli sendiri dengan kata yang diucapkannya barusan.
“Sebelum kita menikah, jangan gunakan pakaian seksi di rumah. Aku tidak ingin tiba-tiba menerkammu sebelum halal.”
“Iya.”
“Aku tidak suka makanan beli, belajarlah memasak, dan siapkan sarapanku setiap pagi, antarkan makanan ke kantorku setiap makan siang, dan juga siapkan makan malam.”
“Baik,” Rania menggerutu dalam hati. Sebenarnya dia baby, ataukah istri? Jangan-jangan malah pembantu?
“Perhatikan kebersihan, termasuk makanan yang aku makan. Daging harus segar, sayuran dan lain-lain harus organik.”
“Hmm….,” Rania mulai menguap bosan.
“Jangan mempersilakan tamuku masuk, kalau aku tidak menyuruhmu. Hubungi aku jika aku tidak ada di apartemen. Siapapun yang datang, kamu beritahu aku.”
“Iya.”
Bawel.
“Berikan jadwal kuliah kamu pada Pak Hasan, dia yang akan mengantar dan menjemputmu saat kuliah.”
“Eh, aku boleh naik ojol saja?”
“Terserah. Aku akan memberimu kartu kredit tanpa uang cash untuk belanja kebutuhan rumah. Dan aku sudah transfer sesuai kesepakatan kita karena kejadian tadi pagi.”
“Iya ma-mas, terima kasih.
“Hm, kalau begitu berangkatlah kuliah,” Arez berdiri, merapikan setelan jas mahal hitamnya berwarna navy serta dasi dengan warna senada. Pria itu bahkan melenggang keluar apartemen tanpa sekalipun kembali menoleh padanya. Astaga, pria arogan itu bahkan tidak menganggap Rania ada. Entahlah, ini baik atau buruk. Rania hanya bisa menggeleng atas semua tingkah ajaib pria itu yang tidak pernah bisa ditebak apa isi kepalanya.
*****

Book Comment (1014)

  • avatar
    PatimahSiti

    oke

    12/08

      0
  • avatar
    SetyaY tri sunu

    bagus

    06/07

      0
  • avatar
    Seind Rz

    bagus

    23/06

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters