logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 6 Kenangan

Hampir tengah malam ketika aku bersama beberapa rekan pramugari lainnya tiba di hotel yang terletak tak jauh dari bandara. Hotel yang memang biasa dijadikan tempat peristirahatan para kru.
Aku kebagian kamar Deluxe twin bersama Serin —gadis cantik berwajah eksotis khas timur tengah. Kami cukup beruntung, kamar yang kami tempati menyuguhkan pemandangan gunung Merapi yang menjulang angkuh dan terkesan dingin. Malam ini pemandangannya tak begitu terlihat indah, aku yakin besok, ketika matahari mulai muncul lukisan alam akan tersaji mempesona pada bingkai jendela kaca ini.
"Mau mandi duluan enggak, Mei?" tegur Serin. Aku memalingkan wajah dari pemandangan malam di luar jendela ke arah gadis itu.
"Duluan aja, Ser. Aku mau ngedinginin badan dulu, masih keringetan," sahutku, melepaskan sepatu dan duduk mengunjurkan kaki di sofa yang terletak di samping jendela.
"Oh, ok." Serin beranjak ke kamar mandi. Meninggalkanku yang kembali tenggelam dalam lamunan.
Aku terpaku menatap pemandangan malam yang terlihat begitu misterius, ada rasa tenang yang dihadirkannya. Membawaku jauh ke dalam sebuah labirin raksasa. Kubiarkan pikiran ini menikmati sensasi rasa yang dihadirkan alam. Mencoba menarik energinya agar mampu mengenyahkan kilasan-kilasan peristiwa yang memaksa menarik memoriku kembali pada masa ketika bersama Dendra.
Ah! Lagi-lagi nama itu muncul. Sungguh, sesakit apapun perpisahan, akan ada masa kita tak mampu melepaskan kenangan indah ketika bersama dia yang telah membersamai kita sekian tahun lamanya. Aku tak mampu membuang begitu saja rasa bahagia yang pernah hadir ketika bersama Dendra.
Lima tahun bersama, ketika usia masih sangat belia. Terlalu banyak mimpi yang telah kurangkai ketika bersama Dendra. Dulu aku begitu naif, mengira hubungan yang lama akan mempererat rasa sayang. Ternyata kunci dari bertahannya suatu hubungan bukan hanya dari berapa lama waktu yang telah dihabiskan bersama, tapi berapa besar rasa saling mencintai yang dimiliki oleh pasangan itu.
Selama sepuluh tahun perpisahan dengan Dendra, aku menyadari bahwa perasaan Dendra padaku tak sedalam perasaanku padanya. Aku telah berusaha melepaskannya. Menganggap kisah yang telah kami jalin bersama dulu hanyalah lelucon konyol hubungan remaja.
Bagi sebagian orang, aku terlihat begitu kuat. Mampu melewati keterpurukanku ketika tiba-tiba ditinggal oleh orang terkasih. Namun, dalam hati aku begitu rapuh. Sejujurnya aku belum mampu benar-benar melepaskannya, dia yang telah menempati ruang terbesar dalam hatiku. Masih saja ada namanya tertinggal di dalam hati. Bahkan sampai detik ini, aku tidak pernah benar-benar bisa membencinya.
"Eh, ngelamun aja. Entar kesambet, Mei!" Suara lembut Serin sontak membuatku memalingkan wajah dari pemandangan luar jendela.
"Ha-ha ... ngantuk, Ser." Aku mencari alasan. "Kamu sudah beres mandi? Aku juga mau mandi."
"Sudah. Aku mau beres-beres dulu," sahut Serin, melangkah ke meja rias dengan handuk yang masih membungkus kepala. "Mei, mau ikut ke atas enggak? Lagi ada pesta bujang di sky lounge."
"Enggak ah, Sher. Besok pagi kan aku harus balik ke Jakarta. Penerbanganku besok full seharian," tolakku.
Ah! Pesta bujang memang dianggap sebagai acara yang ampuh bagi teman-temanku yang sedang mencari pendamping hidup, tapi tidak bagiku. Aku tidak tertarik mencari jodoh dari perkenalan singkat. Aku masih menganggap perasaan cinta itu butuh proses waktu yang lama, tak akan hadir dalam waktu semalam.
"Pantes aja kamu masih jomblo sampai umur segini, Mei. Terlalu kaku," rutuk Serin.
"Ha-ha, biarin. Bagiku pendamping hidup itu buat selamanya, jadi enggak boleh sembarangan aja," gelakku, meninggalkan Serin melangkah masuk ke kamar mandi.
Ya, di umurku yang sudah menginjak kepala tiga, seharusnya memang sudah berpindah status jadi nyonya. Tapi apa mau dikata, Tuhan belum memberikan jodoh yang tepat. Orang bilang, aku terlalu banyak pilih. Karena dengan wajah dan postur tubuh yang kumiliki, mereka menganggap bahwa aku tak akan sulit menemukan pria yang mencintaiku.
Justru karena itu, aku jadi sulit menemukan pria yang benar-benar mencintaiku. Sulit bagiku menemukan pria yang tak memandang fisik semata. Itulah sebabnya, hatiku masih saja terpaut pada Dendra. Dia pria pertama yang menerimaku apa adanya.
Dulu, saat duduk di bangku SMA, aku hanya seorang cewek culun. Gila belajar. Tak ada cowok yang melirik selain Dendra. Alasannya menyukai dulu, karena dia lebih menyukai cewek yang smart daripada cewek yang hanya mengandalkan kecantikan. "Kecantikan akan luntur termakan usia, tapi cewek smart akan tetap terlihat menarik ketika usianya bertambah," ucap Dendra kala itu, ketika kutanya apa alasannya memilihku untuk jadi pacarnya.
Dendra dulu termasuk idola sekolah. Sempat tak percaya dia akan menyatakan perasaannya padaku. Tak pernah terpikir seorang cewek culun bisa memenangkan hati cowok idola sekolah.
"Mei! Berubah pikiran, enggak? Aku tungguin kalau mau!" teriak Serin dari luar kamar mandi, membuyarkan lamunanku.
"Enggak, Ser! Aku mau tidur. Capek!" balasku ikut berteriak.
"Ya sudah. Aku tinggal, ya!"
"Okay, have fun!"
"Thanks, Cinta!"
Suara pintu kamar terdengar ditutup. Aku kembali menikmati rasa tenang berendam dalam bath-up. Menenangkan hati yang masih saja membujukku untuk mengingat Dendra. Ah! Kapan aku benar-benar bisa menggusurnya dari dalam hati? Sekuat apapun aku menyuruhnya pergi, sekuat itu pun dia tetap bertahan. Entah berapa lama waktu yang kuperlukan untuk benar-benar bisa mengenyahkannya dari dalam pikiranku.
***
Berendam membuatku mengantuk, aku segera keluar dari bath-up. Sudah larut juga. Berniat untuk tidur, ketika teringat sehari tadi aku masih belum memeriksa ponselku. Sehari ini aku juga belum mengabari ayah dan bundo.
Sambil mengeringkan rambut, kunyalakan ponsel dan menunggu. Seketika beberapa notifikasi pesan chat dan suara muncul di layar saat benda pipih itu telah menyala sepenuhnya. Beberapa pesan suara dari ayah. Laki-laki yang selalu merindukanku, ha-ha.
Kubuka satu persatu pesan dari ayah, "Mei, hari ini kenapa tidak ada kabar?" pesan pertama pada jam 17.00. Pada saat itu aku sedang briefing dan ponsel telah kumatikan.
"Sudah malam begini ponselmu masih belum aktif. Kamu kemana? Ayah khawatir," pesan kedua pada jam 20.00, ketika aku on board. Tentu saja aku masih belum mengaktifkan ponselku.
"Mei, telpon ayah jam berapapun. Ayah tunggu. Tidak pernah kamu tak mengabari ayah seperti ini. Ayah benar-benar khawatir," pesan terakhir dari ayah jam 12.00 sekitar lima belas menit yang lalu. Ternyata ayahku posesif juga.
Tak mau membuat rasa khawatir ayah memuncak, kupencet nomor kontaknya. Pada dering kedua, ayah sudah mengangkat.
"Halo, Mei. Kenapa hari ini menghilang begitu?" cecar ayah dengan nada khawatir.
"Baru juga sehari enggak dikabari Ayah, kayak sudah hilang setahun saja," kekehku.
"Sehari itu berasa sewindu bagi ayah," canda ayah dengan suara baritonnya yang khas.
"Ah, laki-laki mana yang mampu bersaing dengan Ayah kalau terus-terusan posesif seperti ini." Aku mencebik, balik mencandai ayah.
"Pasti ada, kamunya saja yang enggak mau buka hati."
Kalau percakapannya sudah seperti ini, hawa-hawa perjodohan pun mulai terasa.
"Kamu masih ingat Keanu, anaknya om Danu?"
Tepat seperti dugaanku, kalau bukan untuk proyek perjodohan, tidak mungkin ayah akan menyuruhku untuk mengingat anak temannya, laki-laki pula.
"Iya masih, Yah. Yang kuliah di Inggris, kan?" tanyaku untuk meyakinkan bahwa orang yang dimaksud ayah adalah orang yang sama dalam pikiranku.
"Iya, kamu masih ingat, ya?" sahut ayah terdengar penuh semangat.
"Iya, masih ingat lah, Yah."
Tentu saja masih ingat, dia teman masa kecilku. Anak sahabat karib ayah. Dulu ketika sama-sama masih tinggal di Jakarta, kami sering saling mengunjungi. Lalu, om Danu pindah ke Kalimantan, aku sudah tak pernah bertemu Keanu lagi.
Sampai akhirnya ketika aku kuliah ke Bandung. Aku bertemu lagi dengan Keanu dan satu jurusan dengannya. Lulus Sarjana, dia melanjutkan pendidikan magisternya di Inggris. Lalu menurut kabar, setelah lulus dia mendapat tawaran kerja di sana. Jadi sudah lama juga aku tak bertemu.
"Eh, kamu pernah satu kuliahan, kan dengannya?" tanya ayah seperti membaca pikiranku.
"Iya, Ayah. Terus kenapa dengannya?" tanyaku pura-pura tak mengerti kemana arah pembicaraannya.
"Kamu off yang agak lama, kapan?" Bukannya menjawab pertanyaanku, ayah malah balik bertanya.
"Dua minggu lagi, kenapa memangnya, Yah?"
"Nah! Pas jadwalnya!" sorak ayah. "Dua minggu lagi Keanu pulang ke Indonesia, kamu bisa tidak menemaninya jalan-jalan di Jakarta?"
"Jadi semacam usher gitu, dong, Yah?"
"Anggap saja reuni, kan teman lama ini."
"Uhm, ok. Nanti aku coba liat jadwal lagi, ya ... tapi apa enggak ada gitu temannya yang lain yang bisa dimintai tolong buat anter-anter? Kenapa harus aku, sih?" tanyaku menyatakan protes.
"Yaa ... Ayah mana tau, om Danu kemarin nanya kabar kamu, terus cerita kalau anaknya mau pulang. Dia ingat kalau Keanu pernah satu jurusan dulu sama Kamu," sahut ayah dengan nada terdengar agak mencurigakan.
"Ini semacam proyek perjodohan lagi, ya?" tembakku pada ayah.
"Kalau nanti kalian ngerasa cocok kenapa enggak, ha-ha." Tawa ayah terdengar begitu puas. "Tapi tenang saja, Mei. Kamu enggak usah maksa, kalau enggak cocok anggap saja reunian. Ayah juga bilang ke om Danu kalau ini bukan ajang jodoh menjodohkan," lanjut ayah.
Mungkin ayah kapok juga menjodohkanku dengan beberapa anak teman-temannya. Terakhir kali aku mengamuk pada salah seorang anak kenalan ayah. Pasalnya dia memperlakukanku dengan tidak sopan. Ketika aku protes, dia malah menudingku sok suci, membuatku naik pitam, lalu menyiramkan minuman kewajahnya. Terlalu mainstream memang, tapi memang itu yang kulakukan karena emosi kala itu.
Lalu sebelumnya lagi, laki-laki yang terlalu otoriter, belum apa-apa sudah banyak aturan yang diberikan. Bahkan sampai menyuruhku berhenti bekerja jika sudah menikah. Melihat gelagatnya, sepertinya aku tidak akan bisa terikat dengan orang yang terlalu mengekang seperti itu. Proses perkenalan berhenti.
Itu hanya sebagian kasus perjodohan yang selalu batal. Aku sampai tidak ingat berapa orang yang disodorkan ayah dan bundo untuk dikenalkan dalam waktu dua tahun ini, lebih tepatnya di jodohkan denganku. Walaupun mereka tidak memaksa. Mereka hanya beralih, sebagai bentuk usaha.
"Mei, masih di sana?" tanya ayah ketika aku tak langsung menjawab.
"Masih, Yah."
"Sudah, enggak usah terlalu diambil beban. Ya namanya orangtua pastilah ingin anaknya punya pendamping hidup, tapi ayah enggak terlalu memaksakan. Karena yang nantinya menjalaninya kan kamu," ujar ayah seolah mengerti kekhawatiranku.
"Iya. Aku juga enggak terlalu beban kok, Yah. Toh selama ini ayah sama Bundo kan enggak terlalu maksain."
Ah, mataku memanas. Memang selama ini kedua orangtuaku jarang menagihku untuk menikah. Namun beberapa bulan belakangan ini bundo memang agak cerewet menanyakan keinginanku untuk menikah. Mungkin di umurku sekarang, sudah memasuki level mengkhawatirkan jika masih melajang.
"Lalu, hari ini kamu kemana saja? Tadi pertanyaan Ayah belum dijawab." Ayah kembali ke topik awal pembicaraan.
Buru-buru kuhapus airmata yang terlanjur turun. Berdeham untuk melegakan tenggorokan, yang tadi sempat tercekat.
"Hari ini, aku jadwal ya cuma malam. Jadi seharian aku tidur. Karena bangun kesiangan, aku jadi terburu-buru menyiapkan semua kelengkapan untuk terbang." Aku menjelaskan semua alasan kealpaanku mengabari." Maaf ya, Yah. Jadi bikin khawatir," sesalku.
"Oh, jadi begitu. Ayah takut kamu kenapa-kenapa." Kelegaan jelas terdengar dari suaranya. Ayahku yang posesif. "Besok ada jadwal lagi?" tanyanya kemudian.
"Ada, penerbangan jam sembilan ke Jakarta."
"Sekarang kamu di mana?"
"Di Jogja, Yah."
"Kalau begitu, kamu istirahatlah. Nanti ayah kabari kapan Keanu pulang, ya."
"Baik, Yah. Aku mau tidur dulu, Ya. Eh, bundo sudah tidur? Tumben enggak ada suaranya?" Biasanya kalau ayah menelpon, suara bundo tak pernah absen.
"Iya, sudah dari tadi Bundomu tidur. Ayah yang tidak bisa tidur karena memikirkan anak gadis ayah."
"Ha-ha, dasar bapak-bapak posesif," kelakarku.
"Nanti kamu juga akan merasakan," kekeh Ayah. "Sudah, sana istirahat. Besok telat bangun," lanjutnya kemudian.
"Baik, Yah."
"Dagh, Mei. Assalamualaikum."
"Waalaikum salam, Yah."
Hening seketika, membuatku kembali memikirkan percakapan dengan ayah. Sontak wajah Keanu hadir. Sesosok pria jangkung, wajah tirus, dengan rambut yang agak gondrong dibiarkan acak-acakan. Terlihat urakan, tapi otaknya cemerlang. Terkesan cuek, tapi perhatian.
Dulu, Dendra sempat cemburu ketika aku dan Keanu terlihat akrab. Bagaimana tidak, setelah sekian tahun tak bertemu tentu saja ada banyak cerita yang ingin kami bagi. Bagi Dendra, hanya Keanu yang membuat posisinya terasa terancam. Aku menarik nafas panjang, kenapa semua ingatanku kembali lagi menuntunku pada Dendra. Tak bisakah ia membiarkanku memikirkan pria lain tanpa dia datang membayangi.
Lebih baik aku segera istirahat, agar nanti aku bisa bertugas dengan baik. Berdoa sebelum tidur, supaya nanti Dendra tak menggangguku lagi dalam mimpi. Kulirik jam yang tertera pada layar ponsel, sudah menunjukkan angka 01.00. Aku hanya punya waktu beberapa jam saja untuk istirahat, agar wajahku bisa terlihat segar ketika melayani penumpang.

Book Comment (84)

  • avatar
    FerdinandFerdinand

    bagus banget

    25d

      0
  • avatar
    Leni Binti Gusmar

    bagus

    05/03

      0
  • avatar
    Cahya kamilqNayla

    ya bagus sekali

    16/11

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters