logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 5 Hati vs Logika

Selepas kepergian Dendra, aku masih belum mampu meredakan perasaan yang mendadak kacau. Ingin rasanya kembali ke unitku, membenamkan diri di dalam kamar. Perutku yang belum sempat terisi mendadak protes. Masa bodohlah dengan Dendra, yang penting perutku terisi.
Kopi yang kupesan sudah mulai dingin dan sedikit pahit, tapi rasa pahit dari kopi yang kuminum masih kalah dari rasa pahit yang kurasakan saat ini. Mengingat percakapan dengan Dendra membuat setitik harap yang pernah ada, muncul kembali.
Perdebatan batin mulai hadir. Entah kenapa aku merasa besar kepala ketika Dendra mengatakan bahwa perempuan yang dia cintai hanya aku. Namun, logikaku membantah, jika memang dia mencintaiku, tak mungkin dulu dengan mudahnya dia melepaskanku.
Terngiang-ngiang kembali bagaimana dulu dia dengan wajah dingin mengatakan bahwa hubungan kami tak lagi bisa berlanjut karena orangtuanya tak merestui. Entah apa yang ada di pikirannya saat itu. Sekarang dengan seenaknya dia hadir dan meminta kembali seakan-akan aku hanya mainan yang sempat membuatnya bosan, ditinggalkan, lalu dicari kembali ketika ia menginginkannya.
Dering telpon genggam yang kuletakkan diatas meja menghentikan segala perdebatan yang terjadi dalam pikiran. Kulirik nama yang tertera di layar. Ayah. Seperti biasa, beliau selalu menelpon setiap pagi, hanya untuk mendengar suara putrinya berkicau.
"Halo, Bapak Ganteng," sapaku mengenyahkan rasa dongkol setelah kepergian Dendra.
"Pagi, Putri cantik. Sudah sarapan?"
"Ini lagi sarapan."
"Hari ini terbang?"
"Iya, nanti malam. Penerbangan terakhir ke Jogja."
"Selamat sarapan, kalau begitu."
"Terima kasih, Yah. Bundo kemana?"
"Lagi shalat Dhuha. Ya sudah, kamu jangan lupa shalat dan makan. See you putri cantik."
Hanya percakapan pendek seperti itu setiap hari, tidak lebih. Semenjak ayah pensiun tiga tahun yang lalu, beliau memutuskan untuk pindah ke kampung.
"Ayah ingin menikmati masa tua yang jauh dari keramaian," alasannya.
Semenjak itu pula ayah lebih sering menelpon. Dia memang laki-laki posesif, sepertinya tidak rela jika putri semata wayangnya ini jauh. Walau terkadang setiap kali menelepon hanya menyapa beberapa menit, tetapi hal itu sudah seperti rutinitas yang tak bia ia tinggalkan.
***
Sambil menunggu driver kantor menjemput, aku membunuh waktu dengan menonton televisi. Ketika mengganti channel, di layar kaca itu terpampang sesosok wajah yang tak asing bagiku sedang diwawancara, Adrian. Sedang membahas tentang bisnis coffe shop yang sedang trend saat ini. Aku ingat, pria berwajah teduh itu memang merintis bisnis coffe shop.
Kalau dilihat-lihat, wajahnya oke juga, cukup camera face. Aku tak begitu menyimak apa yang disampaikannya. Kucari kartu nama bernuasa kopi yang pernah diberikannya tempo hari di dalam dompetku. Ketemu!
Setelah menyimpan nomor yang tertera pada kartu nama tersebut ke ponsel, aku membuka aplikasi chat. Mengetikkan sebaris kalimat, [Hei, remember me? Aku Meinar, yang tempo hari sempat ngobrol di bis dari bandara.]
Begitu pesan terkirim, rasa sesal dan malu mengambil alih perasaanku. Pesan yang kukirimkan terlihat seperti seorang perempuan putus asa yang sedang mencari pendamping. Baru saja ingin kuhapus pesan yang kukirimkan, balasan dari pria itu masuk.
[Hei, Mei. Tentu saja aku ingat, si Gadis Minang. Apa kabar Mei? Mau mampir ke tempatku?]
Wow! Balasannya diluar perkiraanku. Kukira dia tak akan mengingatku. Karena ketika berpisah, dia berlalu begitu saja tanpa banyak basa-basi.
[Ha-ha. Masih ingat ternyata. Aku tadi melihat tayanganmu di televisi, jadi ingat kamu pernah memberikan kartu nama. Belum bisa mampir, masih banyak kerjaan.] balasku.
Alih-alih membalas pesanku, Adrian malah menelpon. Dengan sigap kupencet tombol untuk menerima panggilan.
"Hei, malah nelpon," sapaku terkekeh.
"Ha-ha, capek ngetik-ngetik," sahutnya diiringi tawa renyah. "Enggak ganggu, kan?" sambungnya.
"Ah, enggak kok, aku lagi nyantai. Memangnya kamu enggak sibuk?" Aku balik bertanya. Lebih tepatnya bingung mencari topik percakapan.
"Enggak juga. Eh, nanti malam ada waktu? Meet up yuk," ajaknya dengan nada ringan seperti tempo hari saat mengobrol denganku.
"Sorry, malam ini aku dinas luar kota," tolakku.
"Oh, ok. May be next time ...."
"Eh, sorry Dri. Sepertinya ada telpon yang masuk," potongku ketika mendengar nada sela pada ponselku.
"Ok, see you."
"See you, thanks udah nyempatin nelpon," ucapku sedikit malu.
"You are welcome." Adrian memutuskan sambungan.
Nomor tak di kenal tertera pada layar ponsel. Pasti dari driver kantor.
"Halo, selamat sore."
"Halo. Sore Mba, saya Seno driver yang mau jemput Mba. Nanti saya nunggu dimana ya, Mba?" tanya pria di ujung sambungan telpon, sopan.
"Nanti Bapak kabari saja kalau sudah dekat, saya tunggu di loby gedung A biar Bapak enggak perlu parkir."
"Baik, mba. Selamat sore." pak Seno memutuskan sambungan.
Kuperiksa ulang semua barang yang akan kubawa. Yakin semua sudah terkemas rapi dalam koper, akupun melangkah keluar. Menatap pintu lift sambil berdoa, supaya wajah pria yang telah meporak porandakan hari-hariku belakangan tak lagi muncul dari dalam sana.
Keluar dari area apartmen, aku disambut udara panas dan warna keemasan cahaya matahari sore, tepat disaat mobil yang dikendarai pak Seno merapat ke loby. Tanpa menunggu lama, mobil meluncur meninggalkan area apartemen, membelah kemacetan kota Jakarta yang makin menggila.
Perjalanan makin terasa lambat, karena pak Seno bukan driver yang suka mengobrol. Pikiranku kembali tertuju pada Dendra. Desiran halus yang dulu sempat padam, kembali memijar. Tuhan, bagaimana caraku untuk melepaskannya jika dia Engkau kembalikan hadir dalam kehidupanku. Aku masih belum mampu memahami skenario yang Tuhan siapkan untuk kehidupanku.
Semoga saja hati ini tak mengkhianati akal, agar aku mampu melangkah meninggalkan semua rasa yang pernah hancur.

Book Comment (84)

  • avatar
    FerdinandFerdinand

    bagus banget

    24d

      0
  • avatar
    Leni Binti Gusmar

    bagus

    05/03

      0
  • avatar
    Cahya kamilqNayla

    ya bagus sekali

    16/11

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters