logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 4 Dia Lagi

"Kamu tinggal di sini?" Wajah Dendra tampak begitu antusias ketika bertanya.
Tak langsung menjawab pertanyaannya, aku membungkuk mengambil ponsel yang terjatuh. Meredam perasaan berkecamuk yang mendadak hadir.
Ah! Kenapa hati ini masih saja belum mampu untuk benar-benar melepaskannya. Padahal rasa sakit yang dulu kurasakan, cukup menjadi alasan untuk tak lagi memberinya sepetak ruang dalam hatiku.
"Untuk saat ini, iya," sahutku sekenanya. Aku tak ingin Dendra tau kalau aku memang tinggal di sini.
"Aku juga baru pindah ke sini, kamu lantai berapa?" Nada suara itu masih saja mampu menggetarkan seutas senar yang membentang dalam hati. Namun aku tak mau terpedaya akan pesona nya, yang masih saja membuatku mabuk. Dia sudah dimiliki perempuan lain.
Heran, dia masih mampu terlihat bersikap biasa setelah apa yang pernah terjadi diantara kami. Setelah meninggalkan luka yang begitu mendalam di hatiku. Entah karena aku hanya memang tak pernah ada di hatinya atau baginya kisah masa lalu kami hanyalah kisah usang yang tak membekas dalam memorinya.
"Lantai delapan," jawabku ngarang. "Sudah ya, Ndra. Aku capek banget, baru pulang," potongku ketika melihat gelagat Dendra yang ingin bertanya kembali. Menatapnya seperti ini, membuat luka yang hampir mengering kembali berdarah.
"Eh, iya. Nanti kapan-kapan mampir, ya. Aku di lantai lima belas," sahutnya dengan senyum simpul yang pernah membuatku terpikat.
"Ya, bye." Aku meninggalkan Dendra yang bergeming di tempatnya, masih menatapku ketika pintu lift menutup.
Mau tak mau, aku memencet tombol lantai delapan untuk memperkuat alibi. Denting penanda pintu lift akan terbuka berbunyi. Kubiarkan pintu stainless itu membuka, lalu ku pencet kembali nomor lantai tempat unitku berada.
Capek fisik, sekarang ditambah lagi luka hati yang kembali menganga. Kemunculannya masih saja menyisakan sedikit rasa perih. Aku pikir, waktu akan mampu menyembuhkan luka ini, atau membuatku terbiasa dengan rasa sakit yang pernah tercipta. Namun semua itu tak berlaku, sosoknya masih saja mampu memporak porandakan segenap rasa.
***
Dua minggu sibuk dengan jadwal penerbangan penuh, sehingga aku lebih banyak menghabiskan waktu diluar rumah. Membuatku sedikit lupa akan pertemuanku dengan Dendra. Bekerja kadang memang obat yang ampuh untukku melupakan hal-hal yang sulit untuk dienyahkan dari pikiran.
Hari ini jadwal terbangku malam hari. Tadinya aku hanya ingin menghabiskan waktu berkurung di dalam kamar. Berhubung persediaan makananku habis, terpaksa aku harus turun untuk berbelanja di minimarket yang terdapat di lantai dasar gedung apartemen.
Jika sedang tidak bertugas, aku menikmati hari tanpa riasan wajah dan pakaian rapi. Masih dengan wajah lusuh serta piyama yang belum kuganti, aku melangkah keluar dari unitku. Menunggu di depan lift yang akan membawaku ke lantai dasar.
Wajahku mendadak pias, sesosok tubuh jangkung berwajah tampan berpakaian rapi, dan tentu saja sudah wangi, tampak berdiri di dalam lift, ketika pintu di hadapanku terbuka.
"Hei, Mei?" sapanya dengan wajah terkejut. "Kamu dari mana masih pakai piyama?" lanjutnya menatapku yang tetap memilih masuk lift dengan wajah sembab.
"Oh, aku suka jalan pas tidur. Pas bangun ternyata di lantai ini." Jawaban ngasal keluar dari mulutku.
"Serius? Bahaya juga. Memangnya kamu tinggal sama siapa?" Ada gurat khawatir tercetak jelas pada wajahnya.
Ya Tuhan, rencana apa yang sedang Engkau persiapan untukku? Kenapa manusia ini Engkau hadirkan kembali di hadapanku? Apa salahku hingga membuatku pantas menerima semua ini? Lirihku dalam hati.
"Aku tinggal sama sepupu, semalam mungkin dia enggak nyadar kalau aku keluar." Kebohongan lain kuutarakan.
"Lalu sekarang mau kemana? Kok turun?" selidiknya. Mendekatkan wajahnya menyelidik ke arah wajahku. Aroma mint dari after shave-nya menyapu indera penciumanku. Membangkitkan kelebat kenangan yang telah lama terkubur.
"Mau ke coffe shop dulu," sahutku menunduk, tanpa memandang wajahnya. Sebisa mungkin aku tak boleh menatap mata itu jika tak mau mati berdiri.
"Bareng, ya," ujarnya lembut.
"Jangan deh, aku barusan abis janjian sama cowokku, takutnya dia cemburu." Kebohongan lain kembali terlontar.
Ampuni aku Tuhan, entah berapa kebohongan yang telah kuucapkan dalam sekian menit.
Sebelum Dendra sempat menyahut, pintu lift terbuka. Aku melenggang dengan langkah panjang keluar dari lift.
"Mei, tunggu!" teriak Dendra mensejejeri langkahku.
Aku berhenti, menatap sekilas padanya kemudian berkata, "Den, udah deh. Enggak usah menggentayangi aku lagi."
"Apa enggak bisa kita memulai pertemanan dari awal?" Nada suaranya terdengar kaget mendengar apa yang baru saja kuucapkan.
"Saat ini aku belum bisa, maaf ya," sahutku meninggalkannya mematung di depan pintu lift.
Dia pikir hatiku terbuat dari kertas, seenaknya menuliskan kisahnya, lalu menghapusnya tanpa rasa bersalah. Jika ia robek, bisa dengan mudah direkatkan kembali.
Aku mendengkus kesal. Masih pagi, ada saja yang membuat mood-ku memburuk. Aku melangkah pasti menuju coffe shop yang terletak di seberang pintu lift. Semoga saja segelas kafein dan sepotong kue bisa memperbaiki mood-ku.
***
"Pagi Mba," sapa salah seorang pegawai coffe shop ramah. "Mau pesan apa, Mba?" lanjutnya masih dengan senyum terkembang, tak peduli dengan tampilanku yang masih muka bantal, memakai piyama, rambut diikat asal, dan mata masih agak sembab.
"Breakfast Sausage dan Kolasi Toraja, ya," sahutku menyebutkan pesanan.
Setelah membayar, aku mencari tempat yang agak pojok untuk menikmati sarapan. Terpaksa kuurungkan niat untuk ke minimarket gara-gara pertemuan tak terduga dengan Dendra. Emosi, membuat perutku protes minta diisi.
Ternyata Dendra cukup tebal muka, setelah apa yang kukatakan tadi padanya, dia masih saja mengikutiku ke coffee shop ini. Setelah memesan, dia dengan wajah tak berdosa, duduk di hadapanku. Aku tak ingin terlihat begitu kekanak-kanakan, jadi kubiarkan saja.
"Kenapa harus menghindar seperti itu, Mei? Apakah kamu masih marah padaku?" tanyanya menghenyakkan tubuh jangkungnya di kursi kosong di depanku.
Ingin kuteriakkan ke mukanya untuk enyah saja, tapi kutahan. Tak ingin dia tau bahwa hatiku telah dia hancurkan hingga menjadi debu. Lalu ketika aku berusaha untuk bangkit diantara serpihan debu itu, dia datang kembali dengan wajah tak bersalah. Entah dari apa hatinya terbuat.
"Aku tidak marah, hanya saja terlalu menyakitkan bagiku untuk melihatmu kembali." Jujur kuutarakan apa yang kurasakan dengan nada suara yang kubuat setenang mungkin.
"Lalu, apakah kita tidak bisa menjadi teman? Toh banyak pasangan kekasih yang putus, lalu mereka masih bisa menjalin pertemanan tanpa ada rasa saling menyakiti atau tersakiti," tuturnya menatapku tajam.
Ya Tuhan, tolong jaga mulutku agar tak mengeluarkan kata makian terhadap pria ini, pintaku dalam hati.
"Ya, enggak bisa disamain, dong, Ndra. Aku bukan perempuan yang kamu ceritakan." Kusandarkan tubuh pada sandaran kursi, menyilangkan kedua tanganku di dada. Menandakan bahwa aku sudah tak nyaman dengan perbincangan ini.
"Iya, maaf. Aku memang pria brengsek," akunya kemudian.
Nah! Akhirnya sadar diri, kan. Aku bersorak dalam hati.
"Enggak perlu minta maaf lagi. Toh cerita kita sudah selesai, kan? Tak perlu berdalih ingin menyambung silaturrahmi atau apalah itu. Bullshit sajalah itu semua," tuturku masih dengan nada datar. "Aku sudah bahagia dengan hidupku, kamu juga begitu. Sudah bahagia dengan istrimu. Tak usah ada lagi cerita diantara kita."
Dendra terdiam. Tampak seperti meresapi kata-kataku. "Aku tidak bahagia dengan istriku, Mei. Kau kan tau, pernikahan kami bukan berdasarkan cinta. Aku menjalankan ini semua agar tidak mengecewakan mama," tukasnya kemudian.
Percakapan kami terhenti ketika salah seorang pramusaji mengantarkan pesanan kami.
"Lalu, kalau kamu enggak bahagia, bisa seenaknya mengusik ketenanganku setelah sekian tahun aku berusaha untuk bangkit?" tanyaku dengan nada sinis.
"Aku hanya meminta kesempatan supaya kamu bisa membuka hatimu untuk memaafkan aku."
Kali ini nadanya mulai terdengar gusar.
"Buat apa?" Aroma makanan yang kupesan benar-benar menggugah selera, tapi sayang kehadiran Dendra membuat selera makanku mendadak lenyap.
"Ya buat ketenanganku dan kamu," sahutnya tampak tak yakin dengan apa yang diucapkannya.
"Tanpa itu aku sudah cukup tenang. Kalau misalnya aku mati pun, aku sudah tak akan gentayangan karena penasaran," paparku asal.
Dendra diam, menyesap espresso yang dipesannya. Lalu memandangku lama.
"Mama sudah meninggal tahun lalu, tak ada kewajibanku lagi untuk membahagiakan siapa-siapa kecuali diriku. Apakah kamu mau aku menceraikan istriku, lalu kita kembali seperti dulu?" pintanya dengan tatapan yang terasa mengintimidasi.
"Wow! Menurutmu semudah itukah? Setelah dulu, kamu membuangku begitu saja demi kebahagiaan mamamu. Lalu ketika mamamu sudah tak ada, kau ingin memungutku kembali." Kutahan agar suaraku tidak meninggi. Berhadapan dengan pria ini membuatku harus menekan emosiku sekuat mungkin.
"Egois kamu, Ndra. Kamu hanya memikirkan kebahagiaan dirimu sendiri. Apa kamu tidak memikirkan bagaimana perasaan istri dan anakmu?" geramku.
Wajah Dendra kembali gusar, mengacak rambutnya dan kembali menatapku. Kali tatapannya tampak menghiba. Aku tak akan tertipu dengan tatapan itu.
"Sebenarnya ... tanpa bertemu denganmu pun, aku memang sudah berniat untuk bercerai ...." desahnya.
Hening. Bagaimana mungkin. Padahal beberapa minggu yang lalu aku masih melihat mereka tampak sebagai pasangan serasi. Tak ada tanda-tanda mereka sedang mempunyai masalah. Walaupun rasa ingin tahuku cukup tinggi, tapi aku bersikap seolah tak peduli.
"Istriku merasakan kalau aku memang tak pernah benar-benar mencintainya. Dulu ketika akan menikah, dia berpikir kalau dia mampu membuatku mencintainya ...." Dendra kembali mengunci tatapannya padaku. "Setelah sepuluh tahun menikah, dia menyerah. Karena aku memang tak bisa benar-benar melepaskamu dari hatiku, Mei," gumamnya hampir tak terdengar olehku.
Andai saja hati ini tak pernah hancur, inginku menghambur ke pelukannya. Mengatakan bahwa akupun tak pernah mampu mengenyahkan rasa yang pernah tercipta diantara kami. Namun egoku menahan tubuh ini untuk bergeming. Menatapnya dingin.
"Sudah beres ngedongengnya?" ketusku.
Dendra mengembuskan napas kasar. Terjejak jelas kegusaran dari wajahnya, tapi dia tahan.
"Sekali lagi aku minta maaf, karena telah mengecewakanmu dulu, Mei," lirih dia berkata, lalu bangkit dari duduknya meninggalkanku.
Tertegun, melihat sosok jangkung berbahu bidang itu berjalan menjauh. Langkahnya tak seperti biasa yang penuh percaya diri. Dia berjalan gontai menuju pintu keluar. Meninggalkanku dengan perasaan yang tak mampu kuungkapkan dengan kata.
Tuhan, kenapa justru disaat aku telah merelakannya, Engkau kembalikan dia. Aku hanya memohon untuk menghadirkan seorang pria yang mampu mengisi kekosongan hatiku setelah ditinggalkan Dendra. Aku tak ingin dia yang Engkau izinkan untuk kembali masuk.

Book Comment (84)

  • avatar
    FerdinandFerdinand

    bagus banget

    25d

      0
  • avatar
    Leni Binti Gusmar

    bagus

    05/03

      0
  • avatar
    Cahya kamilqNayla

    ya bagus sekali

    16/11

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters