logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 7 Senyummu Itu Cukup

“Maaf, ya, Nak, nyusahin kamu terus.”
Wanita berusia hampir enam puluh tahun tersebut duduk di samping Adit. Tangan-tangannya yang keriput ada di dalam genggaman pemuda 19 tahun tersebut. Seno mewarisi hampir seluruh wajah wanita tersebut. Setelah diterpa berbagai penyakit dan masalah dalam rumah tangganya, kini wajah cantik itu terlihat lelah.
“Mama nggak pernah nyusahin Adit. Jangan ngomong gitu lagi,” pintanya.
Adit menepuk-nepuk pelan tangan yang masih dalam genggamannya. Ia memberi kekuatan pada sang ibu.
Sebenarnya tugas untuk menemani Mami pergi ke rumah sakit adalah tanggung jawab Papi. Namun, lelaki yang pulang dan pergi sesuka hati itu mengabarkan tak bisa melakukannya tadi siang.
“Mami harus cepat sembuh,” ungkap Adit dengan tenang.
Ia sudah terbiasa menyimpan sendiri rasa sakit hati dan penyesalan untuk perlakuan Papi pada mereka. Sejak dulu hingga sekarang, ia tak mau memberi beban lebih pada Mami yang menurutnya jauh lebih terluka.
“Oh, ya, Reno sekarang sering ke rumah, ya?”
Adit tersenyum. Sebelumnya walau memang akrab, Reno mengambil jarak sejak mereka lulus. Temannya tersebut kecewa terhadap kelakuan Adit di SMA.
“Ya, ada yang mau dibicarakan katanya.”
“Mama kangen deh sama Sena. Dia sekarang sibuk banget, ya, sebagai artis. Kalian kuliah di tempat yang sama, kan?”
Adit menelan ludah. Maminya sama sekali tak tahu tentang kejadian buruk yang ditimbulkannya pada Sena. Dalam pikiran Mami, Adit masihlah berhubungan baik dengan gadis cantik itu.
“Ya, Mi. Kemarin setelah lulus dia ambil cuti. Tapi kemarin aku sudah lihat dia masuk kok. Walau dia harus ngulang dari awal lagi,” kata Adit bercerita.
Ia memang sempat melihat mobil Sena berhenti dan gadis itu berlari masuk ke dalam gedung kampus beberapa hari lalu dan hari ini. Ingin sekali Adit menghampiri. Namun, ekspresi Sena yang seperti melihat hantu kala bertemu dengannya sangat menyakitkan hati. Ia sadar betul kenapa hal itu terjadi.
“Ajak dia ke rumah lagi kalau sempat, ya. Dia anak yang baik, Mami suka sama dia,” ungkap Mami dengan riang.
Adit mulai berandai-andai hal tersebut terjadi secepatnya. Padahal banyak tak mungkin dalam rencananya.
“Sudah sekarang Mami jangan banyak pikiran dulu. Setelah kondisi Mami stabil, Sena pasti datang.”
Rupanya Adit harus berbohong lagi.
***
Reno melambai ke arah tangga di dekat teras. Sena terlihat sangat manis hari ini. Ia seperti melihat Sena saat SMA dahulu, bukan seorang artis terkenal.
Sena setengah berlari menuruni anak tangga. Rasanya semalam ia tak sabar menanti pagi datang dan waktu bergulir lebih cepat. Langkah memelan saat tahu Reno sedang berdiri bersama siapa kini. Pemuda teman Reno juga bersandar pada pintu mobil, tangannya bersidekap di depan dada. Aditya sama sekali tak berubah sejak terakhir mereka bertemu. Mimik wajah, warna kulit, gaya berpakaian, potongan rambut, bahkan caranya memandang Sena masih tetap sama.
Langkah Sena berhenti. Ia tak memiliki cukup tenaga untuk berjalan dan kemudian berhenti tepat di depan pemuda itu. Ada rasa sakit yang menjalar perlahan di hatinya. Ada kemarahan yang teramat besar mengetahui kehidupannya harus bersinggungan dengan orang yang sama.
“Sen!” Reno melambai.
Pandangan Sena yang sempat terpaku pada Adit kini beralih. Ia mencoba tersenyum, tetapi sulit untuk melakukannya. Ia paksakan diri untuk kembali melangkah. Hati nuraninya sendiri menolak untuk lebih dekat lagi.
“Apa kabar?” Reno mendekati Sena.
Reno tahu jika sulit bagi Sena untuk semakin dekat dengannya jika ia masih berdiri di tempat yang sama.
Mata Sena melirik Adit sedikit sebelum menjawab. Pemuda yang ditatap seolah tak peduli, sibuk dengan sesuatu di gadget. Sebuah earphone terpasang di telinganya. Sena mendesah. Sampai sekarang, Adit sama sekali tak merasa bersalah.
“Baik, kamu sendiri?” tanya Sena balik.
Ia menyingkirkan siluet Adit yang mau tak mau harus dilihatnya. Berusaha hanya memasukan sosok Reno yang berdiri di depannya kini.
Reno mengangguk. Ia melepaskan sebelah tali tas, menghadapkan bagian depan, lalu membuka reselting tas dan mengambil sebuah botol dari dalam. Botol setinggi lima belas sentimeter itu diberikan pada Sena. “Selamat belajar, ya,” ucapnya saat botol diterima Sena dengan setengah menganga.
“Ini … beneran buatku?” tanya Sena tak percaya.
Ia mengagumi Reno, bukan karena lantaran sering diberi hadiah kecil seperti ini. Reno adalah satu-satunya orang yang percaya jika ia tak bersalah saat SMA. Bahkan pemuda yang ia harapkan adalah pangkal permasalahan awal.
“Ya, ini kan minuman kesukaan kamu.” Reno tersenyum seimpul.
Sena mengigit bibirnya sedikit. Ia merasa amat senang kini. Ia bahkan dengan senang hati melupakan kejadian buruk di masa lalu dan tersenyum penuh kebanggaan pada Adit yang kebetulan melirik.
Adit terpana, tak mengerti apa yang sedang terjadi. Selanjutnya Sena berbalik dan kembali masuk ke dalam gedung fakultas.
“Sesuatu sepertinya benar-benar membuatnya senang,” ujar Adit.
Ia menyimpan ponsel di dalam tas dan berjalan mendekati Reno. Tepukan ringan dilayangkan ke bahu Reno.
Reno mengatupkan bibirnya menjadi garis lurus dan melambai sebagai gantinya. Ia harus kembali ke fakultasnya sendiri kini.
***
Menyakitkan melihat senyun Sena tidak ditujukan padanya. Namun, Adit senang. Ia bahagia mengetahui gadis itu telah berjalan lebih jauh dari masa lalu.
Lama ia pandangi punggung Sena yang perlahan menjauh sambil memeluk botol minuman yang baru diberikan Reno. Setelah yakin Sena tak akan lagi melihat sosoknya, didekati Reno.
“Aku masuk dulu, ya,” pamitnya sambil menepuk bahu Reno.
Reno tak menjawab, hanya melambai pelan dan bergegas pergi.
Adit melangkahi beberapa anak tangga sebelum bangunan dan menaiki tangga spiral menuju ruangan kelasnya sendiri. Langkahnya terhenti saat mendengar seseorang membicarakan soal Sena di anak tangga.
“Kudengar dia sombong.”
“Maksudmu artis itu, kan? Ya, emang sombong. Dia bahkan manfaatin Uno si kutu buku.”
“Kita kerjain dikit nggak apa, kan, toh dia nggak tahu juga.”
Seno berbalik dan memperhatikan ketiga orang yang suaranya semakin jauh semakin hilang. Ia gigit bibir dan memilih mengikuti mereka dalam diam. Namun, ia berhenti saat tahu mereka masuk ke toilet wanita.
Baru dirinya ingin kembali mengejar waktu menuju kelas, tiga orang itu keluar. Di tangan salah satu dari mereka ada botol minuman yang sama persis dengan milik Sena.
Tak ambil pusing, Adit mengambil botol yang sama dari dalam tas sandangnya. Dengan jantung yang berdebar cepat karena takut, ia lekas masuk ke dalam toilet wanita dan meletakkan botol minum di depan kaca wastafel.
Akan tetapi, sekelompok murid memergoki Adit di depan pintu dan berteriak kencang. Reflek, ia berlari menjauh dengan sangat cepat. Ia tahu harusnya tak melakukan itu. Namun, mengingat betapa senang Sena mendapatkan minuman itu dari Reno, masalah yang akan dihadapinya terasa tidak seberapa.
Adit mencapai kelasnya berbarengan dengan dosen yang masuk. Lega. Paling tidak ia hanya akan mendapatkan satu masalah saja kini. Yaitu dilaporkan karena masuk ke toilet wanita.

Book Comment (41)

  • avatar
    AS

    Seruu asik bgt cerita nyaa

    15/07

      0
  • avatar
    Galih Tgiel

    sedih

    14/06

      0
  • avatar
    badrishaaina

    Nice story

    18/03

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters