logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 3 Prasangka

Sena tidak buruk. Ia memiliki tinggi 165 centimeter, tubuh yang langsing, wajah bulat telur, hidung mancung, bibir tipis, rambut ikal bergelombang, mata yang jenih, serta berkulit putih. Ia adalah boneka cantik.
Namun, entah kenapa ia selalu menjadi bulan-bulanan teman sekelasnya sejak SMA. Ia tak tahu persis kesalahan apa yang sudah diperbuat. Sebab begitu naik ke kelas dua, semuanya menjadi mimpi buruk.
"Sena!"
Teriakan itu yang pertama kali didengar saat memasuki halaman sekolah pada awal tahun pelajaran.
Sena tersenyum. Sebab sebagai teman, ia merasa perlu bersikap demikian.
Namun, ketika ia diapit dan di seret menuju samping sekolah, senyumnya menghilang. Pikirannya mulai berisi dugaan apa yang akan terjadi. Juga memikirkan berbagai alasan kenapa hal tersebut bisa terjadi.
Seember air berpindah dari wadahnya, membasahi tubuh sena. Seluruh seragamnya basah, begitu pun dengan buku-buku di dalam tasnya.
"Kamu tahu apa yang sedang terjadi?"
Sena tak menjawab, air matanya sudah mengantung, siap terjun. "Bukannya kalian yang harus jelaskan padaku apa yang terjadi?" Sena menjawab dengan suara bergetar.
Para siswa yang ada di sekitarnya tertawa. Tepatnya menertawakan Sena, entah untuk alasan apa.
"Masih saja songong dia!"
Dari arah lain seorang siswa menimpali dan diiringi seruan orang-orang.
Sena melirik tag name gadis yang bicara dengannya. Namun, diplester. Maka dengan saksama dierhatikan wajah gadis itu.
"Sampai kamu sadar apa yang sudah terjadi, setiap hari akan seperti ini."
Kedua tangan Sena yang sejak tadi dipegangi kini dilepaskan. Mereka semua mengelilingi Sena dua kali seperti pemangsa yang tengah menandai buruannya sebelum berlalu pergi.
Sena terduduk lemas di lantai beton. Ia mengingat-ingat apa yang sebenarnya terjadi. Saat tersadar karena bunyi bel, lekas diperiksa buku-buku dalam tasnya. Ia bersyukur karena semua selamat.
Ia kumpulkan kebeRaynan untuk tetap masuk dengan keadaan pakaian separuh basah. Pasti nanti saat pelajaran kedua, pakaiannya akan kering. Syukur-syukur Adit akan meminjaminya jaket.
Sampai di kelas, suasana masih seperti biasa. Hanya saja tidak ada Adit di sana. Meja belajarnya juga hilang.
“Kalian lihat mejaku ke mana?” tanyanya.
Namun, tidak ada yang menjawab. Semua teman sekelas Sena menganggap Sena tidak ada. Mereka masih ayik berbincang atau menyalin tugas yang harus diserahkan hari ini.
“Dit?” Sena menyentuh bahu Adit yang duduk dua meja di depannya.
Adit menepis tangan gadis itu. Ia menatap Sena penuh kemarahan, seolah Sena sudah melakukan kesalahan yang fatal.
“Dit, kamu lihat mejaku nggak? Kok, mejaku kok nggak ada?”
Adit mendesis. Ia melihat sekeliling sebelum kembali menoleh pada Sena. “Kenapa nanya padaku?”
“Dit, kamu kenapa?” tanya Sena tidak paham.
Ia jelas tidak melakukan kesalahan. Ia bahkan baru sampai ke sekolah dan belum berbicara dengan siapapun—kecuali beberapa anak yang baru memperingatinya entah karena apa.
“Kenapa wajah kamu mengatakan seolah kami yang salah? Kamu nggak mau tahu apa salahmu?”
Sena mengernyit. Tiba-tiba teman-temannya berdiri semua dan berdiri mengelilingi. Sena mundur karena takut. Saat berbalik untuk lari keluar kelas, tiba-tiba pintu menghilang. Teman-temannya juga hilang. Ia kini sendirian ditemani suara-suara yang bertanya tentang kesalahan yang diperbuat.
“Tidak! Tidak!” Sena berteriak keras.
Sena kembali ke kamarnya. Ruangan besar yang terang benderang yang ditempati setiap malam. Piala-piala penghargaan dari kontes model dan lainnya masih tersusun rapi di rak dekat pintu masuk. Meja belajar yang telah beralih fungsi menjadi tempat meletakan berkotak-kotak hadiah yang belum sempat dibuka tetap di tempat semula. Isi kamar masih sama. Hal ini membuat Sena bernapas lega.
“Sena … Sena!”
Sena menghapus peluh di keningnya. “Ya, Ma!”
Sena beringsut pelan menuju tepi ranjang. Namun, tidak lantas berdiri dan membuka pintu. Ia duduk saja di tepi ranjang mendengar dan siap menjawab setiap pertanyaan.
“Kamu kenapa teriak? Ada apa?”
Pintu diguncang beberapa kali dan dipukul. Namun, Sena tetap saja duduk di tepi ranjang. Ia tak mau membiarkan Mama masuk dan mulai mengomel segala hal. Itu tidak akan membantunya keluar dari mimpi buruk. Yang jelas sekarang ia sudah bangun dan tidak ada hal buruk yang terjadi.
“Tidak ada, Ma. Sena baik-baik saja.”
“Buka pintunya Sena. Kamu kenapa sih kebiasaan kunci pintu gini?”
Belum pintu terbuka lebar, Mama sudah berencana mengomel. Sena hanya bisa mendesah dan beringsut mundur lagi ke tengah tempat tidur, menarik selimut. Ia berharap bisa kembali tidur. Besok, akan ada banyak jadwal menanti.
‘Ma, Sena mau tidur!” seru Sena.
“Biar Mama temani kamu tidur malam ini. Sena, kamu dengar, kan?”
Sena segera menyuarakan ketidak sukaannya atas permintaan Mama. Ia menarik selimut hingga ke atas kepala.
Mama belum berhenti berusaha untuk membuat Sena membuka pintu. Lalu kemudian ia menyerah setelah lama tak ada jawaban.
Sena menarik selimutnya hingga dada saat suara Mama menghilang. Ia lega. Bukannya Sena tak mau ditemani Mama. Ia hanya takut menyebut nama-nama yang akan menyulut kebencian Mama lagi.
Masih ingat dalam ingatan Sena, bagaimana Mama menyusul ke sekolah dan membuat perhitungan dengan setiap nama yang pernah melakukan perundungan padanya. Mama menanyakan apa kesalahan putri satu-satunya pada tiap orang dan tidak satupun dari mereka menjawab tanya Mama.
***
Apa kabar?
Pesan dari nomor Reno membuat Sena langsung berdiri dari duduknya siang itu. Ia sama sekali tak menyangka jika Pemuda tersebut akan membalas pesannya. Pesan pertama yang dikirimkan Senas ama sekali tidak digubris. Pesan kedua juga begitu. Karena itu Sena malas berharap. Mungkin Reno terlalu sibuk mengurus kuliah dan restorannya dalam waktu bersamaan. Atau Reno menganggap pesan dari Senas ama sekali tidak penting.
Baik.
Pesan balasan dari Sena singkat, tetapi dilengkapi emoticon senyum. Namun, pada akhirnya Sena menyesali pemberian emoticon karena dianggap terlalu berlebihan. Ia kemudian menunggu balasan selanjutnya dengan tak sabar. Sayang sekali, sampai Sena dipanggil untuk pengambilan gambar selanjutnya untuk drama televisi yang dibintangi, pesan yang ditunggu tak pernah sampai.
Karena hal tersebut mungkin, Sena melakukan kesalahan beberapa kali dalam pengambilan gambar. Wajahnya tampak kesal saat kembali ke ruang tunggu.
Apa yang sedang kamu lakukan?
Sena tak kuasa menahan senyum saat mengetahui pesannya telah dibalas Reno. Ia segera menanyakan kenapa lama sekali pesan balasan sampai. Rono menjawab jika ia sedang di kampus dan tadi baru saja selesai perkuliahan.
Aku senang kamu datang ke acara reuni kemarin. Senang melihatmu baik-baik saja.
Sena tak bisa membalas ungkapan Reno. Ia lebih senang bisa menemukan satu-satunya orang yang peduli padanya saat SMA. Walau kepedulian Reno sama sekali tidak membuat perlakukan perundungan terhadap Sena pudar. Akan tetapi, tahu ada satu orang di luar sana yang peduli, membuat ia menjadi kuat.
Aku ingin bertemu denganmu.
Reno sudah off saat Sena menyampaikan keinginannya untuk bertemu. Sena pikir mungkin pemuda itu sudah masuk ke kelas kembali. Sena mulai berkhayal bisa bersama Reno saat ini. Namun, semua itu hanay dalam bayangannya saja. Sebab ia masih duduk kembali menunggu giliran pengambilan gambar hari ini.
***
Apa sebenarnya cinta?
Jika di dalam hati sendiri berisi keraguan.
Apa itu cinta?
Jika hanya bisa saling menyakiti saat saling bersama.
Hari ini Adit tidak tahu kenapa membuat sebuah status galau seperti ini. Ia bahagia, tetapi juga ragu. Senang saat perasaannya bersambut dengan Sena.
Namun, Sena adalah gadis populer. Bukan hanya di sekolah saja, tetapi sampai di luar. Sena gadis yang ramah. Ia bisa cepat akrab dengan orang yang baru saja ditemui. Itu sedikit membuat khawatir Adit.
Hari ini Adit membuktikannya. Sena bertemu dengan pemuda dari sekolah saingan mereka. Gadis yang disukai Adit itu dengan cepat terlibat pembicaraan seru. Bahkan sesekali pemuda dari sekolah saingan mereka mengacak rambut Sena, seolah telah lama bertemu.
“Sena, kamu tahukan siapa orang itu?”
Sena mengangguk. Kepalanya menoleh pada Adit yang duduk di hadapannya. Sena dan pemuda itu akhirnya berpisah beberapa menit lalu. Kini Adit dan Sena duduk di sebuah kafe kecil di dalam mall tempat mereka sedang jalan-jalan.
“Terus kenapa kamu bisa akrab dengan dia?” tanya Adit geram.
“Loh, kan teman. Kenapa tidak boleh akrab?” Sena mengerjap.
Wajahnya yang polos menampakan kejujuran.
Hanya Adit yang merasa khawatir. Tiba-tiba ia mendapat firasat jika Sena sudah menyampaikan sesuatu yang tidak seharusnya.
“Dia nanya apa tadi?”
Sena menerawang sebentar sebelum akhirnya menjawab, “Dia tanya soal perlombaan ilmiah. Terus aku bilang kalau kita sudah siap.”
“Kamu bilang kita sedang bikin apa sama mereka?”
Sena diam lagi. “Mungkin tanpa sadar aku kasih tahu, tapi tenang saja mereka nggak akan niru kok.”
“Tahu dari mana kamu kalau mereka nggak akan jiplak ide kita.” Suara Adit kini meninggi.
Ini yang sejak awal dicemaskan Adit. Kepolosan Sena selalu bisa dimanfaatkan. Adit lalu berdiri dan mulai menelepon teman-teman satu timnya, meminta bertemu kembali.
“Kita balik sekarang!” seru Adit sambil menarik Sena untuk lekas mengikuti.
Sena berseru keberatan, tetapi tetap mengikuti Adit. Ia bingung kenapa obrolan tentang perlombaan ilmiah itu menjadi masalah. Padahal dari obrolan tadi, pemuda temannya itu sudah menyelesaikan proyek mereka seminggu lalu dan yakin akan menang.
“Kalau kita sampai kalah, kamu pasti bakal disalahin anak-anak.”
Adit mengatakan itu kepada Sena.
Sena mengernyit tidak mengerti. Kalau mereka kalah, itu pasti bukan keberuntungan mereka. Bagaimana hal itu menjadi kesalahan Sena.
***
Kamu sedang apa?
Mendapat pesan seperti itu saja sudah membuat Sena bagai terbang di langit yang tinggi. Perasaan yang lebih hebat dari saat mendengarkan namanya dipanggil karena memenangkan penghargaan sebagai artis pendatang baru tahun lalu. Kegembiraan itu bahkan tidak hilang padahal Mama sedang mengeluh soal banyaknya kesalahan Sena selama pengambilan gambar tadi.
“Mama bingung kamu hari ini kenapa?”
“Manusia itu banyak salah, Ma.” Ia menjawab sambil terus membalas pesan-pesan dari Reno.
Tindakannya itu memicu keinginantahuan Mama. Wanita yang melahirkan Sena tersebut berdiri dan mencoba mencari tahu apa yang membuat putrinya demikian aneh. Namun, tidak berhasil.
“Sudah jangan main ponsel terus, sana bersihkan badanmu dan tidur.” Mama merengut kesal.
Ia lantas berdiri dan menuju kamar utama yang terletak di depan ruang tengah.
Sena sendiri mencebik dan memeluk ponsel di dadanya sebelum berdiri dan naik ke lantai dua. Rayna mengikuti Sena dari belakang dengan sebuah tas besar di tangan.
“Mbak Sena ingat jadwal besok, kan?” tanya Rayna lepas menata kembali beberapa barang yang baru keluar dari tas—baju, sepatu, dan aksesoris untuk rambut dan baju.
Sena tak menoleh, kepalanya hanya mengangguk. Ia lalu menjatuhkan diri di atas kasur dan menyuruh Rayna keluar.
Sebelum Rayna menutup pintu, didengarnya suara Sena yang mengucapkan terima kasih dengan keras. Hal yang jarang dilakukan Sena.
“Ada baiknya juga Sena dan Reno bertemu.” Rayna bergumam di depan pintu kamar Sena yang telah tertutup. Di dalam didengarnya Sena tertawa kecil.
Kamu masih jadi Sena yang ceria ternyata.
Untuk Reno Sena sama sekali tak ingin menjadi orang yang berbeda. Ia menemukan dirinya yang dulu saat berbicara dengan pemuda teman SMAnya ini.
Aku selalu menjadi orang yang sama.
Sena menendang-nendang udara untuk menjaga kewarasannya. Ia lalu berpikir untuk lekas membersihkan riasan dan kembali menikmati obrolan dengan Reno setelahnya.
Benar. Sena melakukan semua yang diniatkan. Ia meloncat kembali ke atas kasur beberapa saat setelah mendengar notifikasi pesan masuk. Tak sabar untuk membaca apalagi yang akan dikatakan Reno padanya.
Tidak bisakah kamu memaafkan semua orang, Sena. Aku pikir mereka menyesal sudah memperlakukanmu dengan buruk. Kamu tahu, Adit cukup khawatir mendengar kabar terakhir tentangmu.
Suasana hati Sena memburuk membaca nama Adit dalam pesan terakhir Reno. Ia senang bertemu dengan Reno, bahkan bahagia saat mengobrol. Akan tetapi untuk kembali bersikap baik-baik saja bertemu dengan lainnya, terutama Adit, entah kapan Sena bisa siap.
Ada banyak alasan kenapa aku membenci Adit. Aku capek, maaf.
Sena memutuskan untuk menyelamatkan hatinya.

Book Comment (41)

  • avatar
    AS

    Seruu asik bgt cerita nyaa

    15/07

      0
  • avatar
    Galih Tgiel

    sedih

    14/06

      0
  • avatar
    badrishaaina

    Nice story

    18/03

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters