logo
logo-text

Download this book within the app

Fox Demon's Revenge

Fox Demon's Revenge

Mey Olivia


One

“Xiao Chen ... Xiao Chen ... cepatlah bersembunyi, jangan kembali ke desa.” Salah seorang penatua desa berteriak memanggil nama Xiao Chen dan memintanya untuk tidak kembali ke desa.
Nama penatua desa tersebut adalah Tuan Li. “Tuan Li, mengapa aku tidak boleh kembali ke desa? Apa yang terjadi? Bagaimana keadaan Ayah dan Ibuku?” tanya Xiao Chen kecil penasaran.
Tuan Li berlari ke arah Xiao Chen kecil dengan tergopoh – gopoh kelelahan. Bercak – bercak darah menghiasi tubuh dan baju yang dikenakannya.
“Para prajurit kerajaan menyerang desa kita dan membantai para penduduk, termasuk Ayah dan Ibumu. Kumohon padamu Xiao Chen, cepatlah lari ke tengah pegunungan dan jangan menampakkan diri dalam waktu dekat ini.” Xiao Chen kecil terperanjat tidak percaya dengan semua yang dikatakan oleh Tuan Li.
Ikan hasil tangkapannya hari itu lepas dari genggaman tangannya dan terjatuh. Baru saja tadi pagi dia bermain dan bersenda gurau dengan ibunya, kini dia sebatang kara, menjadi yatim piatu hanya dalam sekejap.
Apa takdir tengah mempermainkannya? Apa salah mereka hingga mereka diserang dan dibantai? Apa karena mereka kaum siluman rubah? Apa salah jika mereka ingin hidup berdampingan dengan manusia dan menjalani hidup normal layaknya manusia biasa? Semua pertanyaan-pertanyaan tersebut berkecamuk di dalam kepala Xiao Chen kecil.
“Tuan Li, aku akan bersembunyi sekarang. Apa kau tidak mau ikut denganku?” tanyanya penuh harap. Tuan Li hanya menjawab jika dia tidak akan melarikan diri dan bersikap layaknya seorang pengecut. Dia akan kembali ke desa dan menghadapi para prajurit tersebut.
Lalu, Tuan Li memberikan Xiao Chen kecil sebuah plakat giok berbentuk kepala Naga sebagai tanda bahwa gadis kecil bermata coklat tersebut adalah salah satu dari Klan Siluman Rubah Kuno.
“Pergilah Xiao Chen, jangan hiraukan aku. Cepat pergi!!” Tuan Li mendorongnya untuk segera pergi menjauh. Saat itu juga Xiao Chen kecil langsung berlari menuju ke tengah pegunungan tanpa menoleh ke belakang.
Air mata mengalir membasahi pipinya. Batinnya menjerit dan menyalahkan Sang Dewa. Ia telah kehilangan semuanya. Ia berlari tanpa tujuan dan tanpa harta. Entah bagaimana ia akan bertahan hidup. Yang ia tahu saat ini ialah berlari secepat mungkin dan menghilang.
Entah sudah berapa lama ia berlari. Napasnya mulai menjadi tidak teratur. Ia mulai kelelahan dan kelaparan. Matanya mulai berkunang – kunang. Perutnya sakit. Lalu ia mengarahkan pandang ke sekeliling mencari tempat untuk sekedar berlindung. Tidak lama dilihatnyalah sebuah gubuk rusak di tengah – tengah pegunungan.
Gubuk tersebut tampak gelap dan tak berpenghuni. Xiao Chen kecil berpikir gubuk tersebut adalah tempat yang tepat untuk ditinggali sementara, sembari ia berusaha mencari cara untuk kembali ke desa dan mencari ayah dan ibunya.
Ia melangkahkan kaki ke arah gubuk tua tersebut dengan lunglai, fisiknya sudah terlalu lelah untuk berjalan. Seharian ini ia hanya makan sedikit nasi dan sayur pagi hari tadi, sebab setelahnya ia berjalan ke arah sungai di belakang gunung untuk menangkap ikan.
Ia berjalan sambil memegangi perutnya. ‘Aku akan makan apa malam ini? Aku sangat lapar dan perutku sakit sekali,’ batinnya sambil meringis menahan sakit.
Setelah sampai di gubuk tua tersebut. Xiao Chen kecil memandang dan memeriksa ke setiap sudutnya secara seksama. Keadaan di dalam gubuk tersebut sangat kotor, gelap dan juga pengap. ‘Sepertinya penghuni sebelumnya telah lama meninggalkan gubuk ini,’ batinnya.
Dengan kondisi tubuhnya yang sudah letih lesu. Xiao Chen berusaha mencari sesuatu untuk membersihkan gubuk tersebut. Tidak lama ia menemukan sebuah sapu, diambilnyalah sapu tersebut dan dia mulai membersihkan setiap sudutnya.
Debu-debu tebal menghuni setiap sudut ruangan. Bau pengap begitu menyesakkan napas. Xiao Chen kecil berusaha sekuat tenaga untuk membersihkan setiap ruangan dan mulai menata tempat untuk ia melepas lelah.
Setelah semua ruangan dirasa sudah cukup bersih, ia mengambil sebuah selimut tua yang tegeletak di salah satu kamar. Diletakkanlah selimut tersebut ke atas lantai, lalu ia mulai berbaring diatasnya.
Ia menarik napas lega dan matanya mulai terasa berat. Lama kelamaan Xiao Chen kecil telah tertidur dan masuk ke alam mimpi.
Di dalam mimpinya Xiao Chen kecil melihat banyak genangan darah meliputi seluruh desa tempat ia tinggal. Mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana dalam kondisi yang sangat mengerikan. Bau amis darah tercium begitu pekat.
Xiao Chen kecil terus berjalan di antara tumpukan mayat-mayat. Ia melayangkan pandang ke sekelilingnya berusaha mencari keberadaan ayah dan ibunya. Namun sampai sejauh ini ia belum menemukan mereka.
Ia terus berjalan semakin jauh ke arah yang berlawanan dari rumahnya, hingga sampailah ia di sebuah padang rumput. Pemandangan mengerikan masih terlihat di kiri dan kanan sekitar dirinya. Ia melemparkan pandangannya jauh ke tengah padang rumput masih berusaha untuk menemukan ayah dan ibunya.
Dari kejauhan setitik harapan mulai muncul ketika dilihatnya dua orang terbaring berdampingan di tengah padang rumput dan mengenakan baju berwarna biru muda, warna baju yang sama seperti yang dikenakan oleh ayah dan ibunya.
Xiao Chen kecil lantas berlari mendekati dua orang tersebut, jantungnya berdegup kencang. Hatinya berharap agar dua orang tersebut bukanlah jenazah ayah dan ibunya.
Ketika langkah kakinya semakin mendekati tubuh dua orang tersebut, langkahnya terhenti sejenak dan sempat terlintas dalam pikirannya untuk berbalik arah dan mengurungkan niatnya untuk mencari tahu identitas dari dua tubuh tersebut. Akan tetapi, rasa penasarannya terus mendesaknya untuk segera mencari tahu mayat siapakah itu yang terbaring berdampingan.
Xiao Chen kecil menjulurkan tangannya dan mulai menyentuh salah satu dari dua tubuh tersebut. Ditariknyalah pelan pelan dua tubuh tersebut ke arahnya.
Sedetik kemudian napas Xiao Chen kecil tertahan dan mulutnya ternganga tak percaya, ternyata dua tubuh yang terbaring persis di hadapannya adalah tubuh ayah dan ibunya yang sedari tadi ia cari.
Air mata mulai membasahi pipinya, tangis dan jeritan kesedihan keluar dari mulut mungilnya. Ia menggoyang-goyangkan tubuh ayah dan ibunya, tetapi tubuh mereka telah menjadi kaku dan dingin. Gadis kecil itu kini berteriak memanggil-manggil nama mereka. Tangan mungilnya memeluk mayat kedua orang tuanya.
Xiao Chen kecil tidak rela mereka meninggalkan ia seorang diri. Seluruh penduduk desa pun telah tiada. Mereka semua telah dibantai dan dihabisi oleh para prajurit kerajaan.
Dalam tangisnya, tiba-tiba ia mendengar suara beberapa orang pria dewasa yang sedang berbincang.
Nalurinya mengatakan jika ia harus segera melarikan diri. Suara tersebut semakin lama semakin dekat. Xiao Chen kecil semakin ketakutan. Saat sedang berusaha melarikan diri tiba-tiba sebuah tangan menariknya. Xiao Chen kecil menjerit ketakutan. Tangan siapakah itu?

Book Comment (71)

  • avatar
    RidwanDeden

    good novel

    09/08

      0
  • avatar
    TonoIvan

    Ok 👍

    18/06

      0
  • avatar
    SafitriPresilia

    goodd

    06/02/2023

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters