logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 93 L'Automne Du Coeur/XCII

Akhirnya tiba juga hari ini. Hari yang tak kunantikan, tapi kuharapkan cepat berlalu. Hari di mana aku akan masuk istana dan menjalani pelatihan sebagai seorang putri.
Dua minggu terakhir kujalani dengan monoton. Bahkan saking monotonnya, aku seperti sedang menyetel auto pilot. Semuanya berjalan serba otomatis; bangun pagi, mandi, Richard menjemput, sarapan, membaca atau menggambar sampai makan siang, kemudian Richard akan menjemput lagi, dan aku akan makan siang di dapur bersama Richard dan Brigitte. Istirahat siang, dan sorenya aku akan bangun, membereskan tempat tidurku, sebenarnya ini dilarang Brigitte, tapi aku berdalih ini untuk melatih ototku agar tak kaku. Dan karena Brigitte tau seberapa kepala batunya aku, maka dia mengalah dan membiarkannya saja.
Daddy, Corrine dan Tante Milguetta? Dua minggu ini mungkin aku hanya pernah melihat mereka tak lebih dari tiga kali. Dan dalam waktu yang singkat saja. Granny Louisa? Tentu saja aku ingin tahu bagaimana kabarnya dan keadaannya. Tapi aku tak punya tempat bertanya.
Hari ini kukira akan special. Daddy akan menjemputku atau bagaimana. Tidak. Semuanya biasa saja. Richard memintaku mengepak beberapa baju untuk kubawa ke istana nanti. Dia juga mengingatkanku untuk membawa baju formal.
“Blouse dan rok, atau dress formal biasa. Mungkin kau harus banyak mengepack yang seperti itu. Itu akan menjadi seragammu sehari - hari selama pelatihan.” Begitu katanya.
Aku hanya mengiyakannya saja dan tak bertanya lebih lanjut, meskipun aku tak tahu kategori baju formal itu yang bagaimana.
Di Indonesia, jika kita tidak memiliki dress formal, maka, tak perlu pusing, kenakan saja batik, maka penampilanmu seketika akan menjadi formal. Tapi tentu saja itu tak akan berlaku di sini, kan? Jadi aku menggunakan komputer di perpustakaan di dekat ruang kerja Daddy untuk mencari seperti apa dress formal yang sebenarnya.
Ternyata yang dimaksud Richard adalah dres - dres dengan model A line, dengan round neck atau square neck. Yang jelas bukan dress one piece seperti yang sering digunakan oleh teman - temanku saat di kampus. Termasuk Sonia. Setelah mendapatkan gambaran, aku beranjak ke kamar, dan mencarinya di lemari yang sebenarnya adalah walk in closet itu.
Aku tak heran saat menemukan baju - baju serupa yang dicarinya di sana. Apa yang aku harapkan? Bukankah Arlaine dulu juga bertugas menjadi duta kerajaan sama seperti Corrine? Jadi pasti baju - baju seperti itu sudah seperti baju dinasnya.
Aku mengambil beberapa dan mengapaknya di dalam koperku. Aku juga mengambil dua baju pesta. Tak tahu apakah akan terpakai atau tidak, yang jelas, lebih baik berjaga - jaga. Saat packing, aku menemukan baju berkuda milik Arlaine juga.
“No, lebih baik tidak.” Kataku pada diri sendiri saat melihat baju tersebut dan mengembalikannya ke tempatnya. Aku punya alasan yang bagus untuk menolak jika harus melakukan kegiatan ini.
Yang pertama, baju itu terlalu besar untukku. Aku datang dengan ukuran M lokal, menyusut menjadi XS dan sekarang aku sedang mempertahankan diri di S. Berharap tak turun lagi. Aku tak keberatan untuk naik. Karena meskipun ukuranku kembali ke M, aku tetap harus memakai ukuran XS di sini. Mereka semua seperti raksasa untukku.
Tak membutuhkan waktu lama bagiku untuk berkemas. Karena aku memang hanya berkemas sesuai yang diinstruksikan Richard saja. Satu koper besar, berisi semua barang - barangku entah untuk berapa lama.
“Sudah siap?” Richard menjemputku seperti biasanya pagi ini setelah sarapan. Aku mengangguk. Dia kemudian meraih koperku dan mendorongnya melewati selasar untuk dimasukkan ke dalam mobil di depan.
Sementara itu, aku tak langsung mengikutinya. Aku berbalik menatap Brigitte yang matanya mulai berkaca - kaca dengan tangan menempel di bibir. Menahan diri agar tak terisak. Melihatnya seperti itu, pertahananku runtuh. Autopilot yang kupasang dua minggu terakhir terlepas begitu saja. Aku bergegas dan langsung memeluknya.
“Mira, berusahalah sekuatmu di sana, namun jangan memaksakan diri. Wanita tua ini akan berada di sini menunggumu pulang.” Katanya tersedu.
Aku hanya mengangguk, karena tenggorokanku tercekat sehingga susah bagiku saat ini untuk membalas ucapannya. Aku baru membalasnya setelah beberapa saat,
“Doakan aku. Aku hanya takut di sana tak ada yang bisa kuganggu selain Richard, pasti akan sangat membosankan jika itu yang terjadi.”
Kami berdua terkikik kecil. Kemudian aku melepaskan pelukan kami dan berjalan beriringan ke depan. Aku harap ini, bukan kali terakhir aku menapakkan kaki di rumah ini. Rumah yang sudah kuanggap sebagai rumahku sendiri, entah sejak kapan. Aku harap, ini bukan kali terakhir aku bertemu dengan Brigitte.
Aku berkata begitu karena aku tak tahu, selama pelatihan ini, apakah nantinya aku diperbolehkan untuk mengambil libur yang bisa kugunakan untuk pulang ke sini atau tidak. Berkaca dari Daddy, Corrine dan Tante Milguetta… mereka amat jarang berada di rumah. Apakah aku akan seperti mereka juga?
“Bodoh! Kau kan hanya pelatihan, bukannya menjadi putri sungguhan,” Akal sehatku menegur.
Tapi siapa yang tau? Lama waktu pelatihannya saja aku masih tak tahu, apa saja yang akan kupelajari aku juga tak tahu.
Aku menatap mobil hitam yang dulu amat familiar dengan ku ini. Richard selalu membawanya saat mengantarku ke mana pun dulu. Sekarang, aku bagaikan tahanan di rumah sendiri. Mungkin karena terlalu lama tak pernah bepergian, aku jadi sedikit… bersemangat? Mungkinkah?
“Sudah siap?” Richard bertanya,membukakan pintu penumpang untukku.
“Yah, mau tak mau, kan.”

Book Comment (56)

  • avatar
    yuliantiyesii

    hangus bngt ya😊😊

    08/08

      0
  • avatar
    SamNaf

    ok mantap

    11/01

      0
  • avatar
    rahmawatinanik

    baguss

    14/12

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters