logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 15 L'Automne du Coeur/XIV

Semalam aku bermimpi. Tentang Mama, yang pergi menjauh meninggalkanku, yang tak menghiraukan tagis dan teriakanku agar tidak pergi meninggalkanku. Tentang Oma yang menolakku di sisinya dan memintaku pergi untuk menemui Daddy, tak perduli seberapa keras aku memohon, dia tetap bergeming di balik pintu rumah yang tertutup rapat untukku. Tentang kecaman Violeta Villich yang terus menggaung setelahnya, bahwa aku tidak pantas berada di sini dan Daddy tidak seharusnya membawaku kembali. Almarhumah Arlaine juga mampir di sana, bertanya dengan wajah muram apakah aku kembali untuk menggantikan posisinya, merebut semua yang dia miliki selama ini, sebelum wajahnya perlahan - lahan berubah menjadi mengerikan seiring tawa horor yang menggelegar. Kalimat terakhirnya adalah, ‘tidak akan kubiarkan kau hidup nyaman di rumahku! Memakai pakaianku! Menikmati perhatian keluarga dan teman - temanku! menikmati hidup dengan statusku dan sedangkan aku perlahan dilupakan! Aku akan menghantui dan membayangimu selama kau di sini! Aku akan membuatmu mati tak tenang sama sepertiku!'
Aku terbangun setelahnya dengan nafas memburu, kepala berat dan dada kiri nyeri luar biasa. Tersengal mengambil nafas saat kepanikan melandaku. Orieantasiku masih belum genap, apakah masih di dalam mimpi atau sudah berada di alam nyata. Setelah megap - megap hampir semenit penuh, aku ingat untuk mengambil minum. Mungkin segelas air putih bisa menenangkanku dan meredakan sakitku. 
Tersengal dan mencengkeram dada kiri atasku, aku beringsut ke nakas sebelah tempat tidur tempat Brigitte selalu menyediakan roti baguette dan sebotol air putih untukku. Ternyata tidak mudah menyeret diri saat sedang kesakitan seperti ini. Semua sendiku terasa nyeri dan kaku untuk digerakkan. Sedikit lagi, seruku menyemangati gerakku yang makin kepayahan ke tepi ranjang. Tanganku terulur menjangkau botol air yang bertengger di atas meja nakas. 
Greb!
Aku mendesah lega saat permukaan botol kaca yang dingin itu menyentuh tanganku, tapi tidak lama, karena saat berusaha mengangkatnya tanganku gemetar hebat tak terkendali. Semuanya terjadi dengan kecepatan cahaya ; aku memaksa mengangkat botol kaca tersebut dan seketika badanku luruh ke samping ranjang dengan pecahan kaca berserakan di sekitar ku. Ponsel yang diberikan Corrine tempo hari ikut terjatuh di sampingku. Aku meraihnya dengan tertatih, sesaat sebelum kesadaranku menghilang.
“Tolong…”
***
Richard’s
Aku mengambil liburku hari ini karena Mira juga libur kuliah. Aku pulang ke rumah sesaat setelah bertemu Pak Tua tadi pagi. Aku bersiap meninggalkan rumah dengan peralatan memancingku sore harinya.
Memancing adalah hobiku, tapi aku tidak bisa sesering itu melakukannya karena kesibukanku. Aku lebih banyak menghabiskan waktu luangku di rumah, jika aku punya. Istirahat, dan membaca buku atau bermain game. Tidak seperti Cedric dan kebanyakan pengawal Elit Kerajaan yang lain, yang suka nongkrong di bar dan menonton pertandingan olah raga ramai - ramai atau bermain kartu, aku lebih sering menyendiri. Bukan tidak pernah berkumpul, hanya jarang saja. Dari 10 ajakan, paling aku hanya menerima tiga hingga empat undangan di antaranya. 
Entahlah, aku sedang ingin memancing hari ini. mumpung air danau tenang. Perahu kulajukan hingga ke tengah danau dan berhenti di sana. Kupasang tongkat pancingku, dan mulai menunggu ikan yang menyambar umpanku. 
Aku masih di atas kapal setelah matahari terbenam lama. Ikan? Tentu saja… tidak ada yang tertangkap. Yah, ini cuma hobi kan. Jadi hanya satu dari sekian banyak kegiatan untuk membunuh waktu. Kukemasi alat pancingku dan kunyalakan mesin perahuku dan kulajukan kembali ke dermaga kecil di tepiannya.
Setelah berada di atas mobil, kukeluarkan ponselku dan kunyalakan. Sengaja tidak kunyalakan sesorean karena aku sedang tidak ingin diganggu. Banyak hal yang ingin kupikirkan dan kupilah - pilah dalam kepalaku. Tentang Arlaine, tentang diriku, tentang Abe Villich dan tentang… Mira. Oke, kebanyakan tentang Nona Kecil Judes itu.
Layar ponselku menunjukkan pukul 21:40 malam. Sebaiknya aku pulang, di sini kawasan yang sangat sepi. Walaupun sebagai pengawal kerajaan biasanya aku dipersenjatai dengan pistol, tapi karena ini hari libur, semua aku kembalikan ke kantor pusat istana. Dan walaupun aku jago berantem, lebih baik menghindari arena bertarung yang tidak perlu. Lebih baik kusimpan tenagaku untuk mengurusi Nona Kecil Judes itu. memikirkannya membuatku kesal dan senang sekaligus.
Ponsel ku bergetar saat memasuki kawasan apartement ku. Nama Mira tertera disana. Hmm, baru dipikirin, sudah langsung telepon dia.
“Ha…”
“Tolong….” BRUG!
Lalu hening. 
“Mira? Mira!” Dia tidak menjawab, membuat rasa takutku menjalar dengan cepat merambati punggung bawahku. Kuputar mobilku menjauhi apartement dan mencari jalan terdekat menuju Maison. Sialnya, jarak antara apartement ku dengan Maison memerlukan waktu kira - kira tiga puluh menit tanpa traffic light.
Jarak yang membuatku memiliki agak banyak privasi dari Maison dan istana itu kini kurutuki setengah mati.
Why it takes so long to get there?
Are you okay, Mira? 
*** 
Aku terbangun dengan suara dengung aneh menggema di telingaku. Sendi bahuku masih terasa sakit, tangan dan kaki ku juga sulit digerakkan. Yang paling menyiksa adalah tekanan berat di atas kepalaku. Rasanya seperti terhimpit batu, sakit luar biasa hingga kernyitan dalam dan lenguhan kesakitanku terlepas.
“Mira?” Suara samar sesorang menembus kabut pekatku, merambat masuk di sela - sela rasa sakit yang tidak mau berkompromi. “Jangan dilawan, please. Rileks. Aku tau rasanya pasti sakit sekali, mais c’est OK mainant. Kau sudah baik - baik saja.”
Suaranya pelan, menuntunku memerangi rasa sakit yang menghimpit rapat, yang dengan keraskepalanya tidak mau membiarkanku bangkit. Mataku tak kunjung mau terbuka. Sepertinya, selain ada batu menghimpit kepalau, ada lem super yang merekatkan kelopak mataku. Di antara sadar dan tidakku, kudengar pintu terbuka dan suara kaki berderap menghampiriku.
“Dia tidak mau tenang, sepertinya sudah sadar.” Sayup – sayup suara itu berkata tegas, terdengar gumaman dan seseorang membuka kelopak mataku untuk menyorotkan senter. Sepercik sinar masuk ke penglihatanku, tapi tidak membuatku bereaksi apapun, seperti mata yang menutup lalu disinari lampu redup. Merah, lalu kuning, dan kemudian gelap.
Lalu kurasakan seseorang menyuntikkan sesuatu di lengan kiriku, dan berangsur - angsur, batu di atas kepalau terangkat. Dan kebisuan yang tenang tapi pekat kembali menyelimutiku.
Aku tidak tau berapa lama aku mengambang dalam kegelapan. Tapi saat setitik cahaya muncul dari kejauhan, aku berusaha keras menggapainya seolah itu adalah tali kehidupan terakhirku. Mungkin memang benar demikian.
Tamparan cahaya putih menusuk mataku mebuatku reflek menggerung kesakitan. Tidak sekeras yang kumaksudkan, tapi cukup untuk membuat seseorang di sebelahku bergerak.
“Mira?”
“Richard?” aku mengenali suaranya. Dan ya, dia benar berdiri di sana dengan pandangan aneh, menatapku. Seperti…cemas? Mungkin Anestesi yang diberikan dokter atau suster tadi terlalu banyak sehingga aku melihat hal - hal yang tidak mungkin. Ya, aku tau Richard. Dan ya, aku tau pandangan khawatir saat melihatnya. Tapi Richard dengan tatapan khawatir? Guyon macam apa itu.
“Jangan bangun dulu.” Cegahnya menahan bahuku agar tetap terbaring.
“Haus.” Akhir - akhir ini aku selalu terbangun kehausan. Kebetulan?
“Akan kunaikkan punggung ranjangmu. Tetaplah seperti itu.” Papan ranjang di punggungku bergerak naik perlahan, lalu berhenti setelah kemiringannya mencapai 80 derajat. Richard mengangsurkan gelas dengan pipet ke bibirku, tangannya yang satu menyangga tengkukku agar lebih nyaman. “Tanganmu terkena pecahan kaca botol, beberapa lukanya agak dalam karena kau menindihnya saat jatuh. Ada satu goresan juga di sini.” Ucapnya menyentuh pipi kananku. 
Tangan kananku terbebat perban dari pertangahan lengan sampai pangkalnya. Sepertinya lukanya cukup parah karena rasanya lumayan nyeri. Selang infus tertanam di punggung tangan kiriku. Hm? Ada selang biru?
“Aku tidak cukup cepat. Jadi kau kehilangan cukup banyak darah sehingga harus ditranfusi.“ Setelah beberapa saat, dia melanjutkan. “Kenapa tidak pernah bilang kalau kau menderita hiperkoagulabilitas? Itu yang membuat dadamu sering nyeri, kan? Kau sering mengalaminya akhir - akhir ini. Obatmu juga sudah habis.”
Ah, dia menyebalkan saat cerewet begitu. Tapi aku jadi agak senang dicereweti, dan bukannya dikasihani seperti yang selalu orang - orang lain lakukan setelah mengetahui penyakitku.
Kelainan darah merah ini kuderita sejak aku mulai puber dan mengalami menstruasi. Atau, begitulah awal mula kami semua mengetahui ada yang salah dengan tubuhku. Sejak saat itu, aku harus rutin mengkonsumsi obat dan menjalani diet gluten yang ketat, menghindari minyak dan MSG. Mama sering memaksaku membawa bekal karena aku memang sebandel itu tidak menganggap serius kondisiku.
“Seharusnya kau juga tau kondisi kesehatanku,” jawabku menghindar, sengaja tidak menatap matanya. 
Richard menarik kursi ke samping ranjang, masih memandangku lekat. Jambangnya terlihat jelas seolah memang tidak bercukur berhari - hari, dan untuk pertama kali, aku melihat Richard bukan dalam balutan kemeja dan chinos dan kemeja ataupun tuxedo, melainkan jeans dan kaus abu tipis berlapis jaket jeans.
“Kau yang menjadi waliku?” Kesadaran tiba - tiba menghampiri. Jangan bilang dia yang menungguiku sejak aku dirawat. “Berapa hari sih, aku pingsan?”
“Ini hari ketiga.” Hah? “Hanya aku dan Brigitte yang tau kau ada di sini. Monsieur Goureille belum tau. Kami belum bisa menghubunginya karena…”
“Jangan.” Bisa kurasakan Richard menatapku bingung.  “Jangan bilang apapun.”
“Kau ingin merahasiakannya?”
“Tidak. Aku tidak ingin merahasiakannya dan tidak ingin menjelaskannya. Jika mereka tau, biarkan. Jika tidak, jangan beritahu apapun.” Ucapku panjang yang langsung kusesali karena nafasku langsung tersengal.
“Terik nafasmu pelan - pelan. Kau perlu berlatih untuk melemahkan detak jantungmu. Dan agar tidak selalu terbawa emosi. It’s bad for your body.”
Aku mendelik. Lagi-lagi ceramah. “Je le sais." Tentu saja aku sudah tau. Kondisiku ini buikan hal yang baru. "Aku sudah berlatih sejak umurku ua belas tahun untuk itu.”
“Dengan temperamenmu yang seperti itu? Aku terkejut kau bisa bertahan enam bulan di sini sebelum serangan pertama datang.” 
Ejekannya membuatku geram. Tapi aku tidak boleh terpancing. Detak jantungku sudah hampir mencapai seratus sepuluh dan itu buruk. Aku harus melambatkannya. Batasku hanya boleh 70BPM, atau lebih rendah dengan latihan rutin. “Jika kau mendoaanku agar cepat mati, aku terima, dan semoga doamu cepat terkabul. Sekarang pergilah, kau mirip zombie. Dan aku ingin beristirahat tanpa gangguan.” Usirku memalingkan muka.

Book Comment (56)

  • avatar
    yuliantiyesii

    hangus bngt ya😊😊

    08/08

      0
  • avatar
    SamNaf

    ok mantap

    11/01

      0
  • avatar
    rahmawatinanik

    baguss

    14/12

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters