logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 13 L'Automne Du Coeur/XII

Richard’s
“Kau tidak mengenalku, dan kau mengenal Arlaine sepanjang hidupmu. Kau tidak menyukaiku tapi kau menyayangi Arlaine sepanjang hidupmu. Kau memujanya dan kau memandang rendah diriku. Pikirkan sendiri apakah itu adil, bagiku? Dan pantaskah jika aku disebut egois dan picik disini?”
Kalimatnya yang panjang sebelum berlari masuk ke rumah membuatku terdiam di mobil. Seharusnya aku datang dengannya untuk menyapa keluarga yang mungkin sedang menikmati teh di salah satu ruangan.
Setitik rasa bersalah menghinggapiku. Tapi dia juga keterlaluan. Dia sudah disini selama enam bulan, dan selama itu pula dia selalu menghindari acara - acara keluarga jika memungkinkan. Membuatku benar - benar geregetan. Dia tentu saja tidak akan mengenal siapa - siapa jika tidak membuka diri, dan sebagai akibatnya dia tidak diterima dimana - mana. 
Hah! Hanya karena satu orang kurang gaul, yaitu dirinya sendiri, dia menyalahkan seluruh keluarga karenanya. Quel Stupid !
***
Malam ini peringatan kematian Istri Daddy dan Arlaine. Tidak banyak yang datang, untuk ukuran perngatan satu tahun kematian. Hanya keluarga inti, beberapa kerabat dekat, perwakilan kerajaan dan keluarga mantan tunangannya. 
Aku masih meringkuk di balik selimutku. Hujan rintik - rintik mengguyur sejak tadi siang. Dan entah kenapa cuacanya jadi semakin dingin, membuatku kembali mimisan berkali - kali sesiangan ini. Aku tidak tertarik untuk menampakkan diri. Selain karena memang tidak ada undangan, aku bisa berdalih sedang tidak enak badan. Dada bagian kiriku mulai agak sakit sejak sore tadi. Dan tidak berangsur hilang walaupun sudah minum obat yang biasanya.
Saat seperti ini, paling nyaman jika bergelung di pangkuan mama sambil mengelus punggungku sayang. Aku tertawa kecil saat mengingat Mama yang suka mendongengkan hal-hal yang tidak penting untuk membuatku melupakan rasa sakitku.
“Mira?” Seseorang mengetuk pintu kamarku. Tidak jelas suaranya karena aku masih berada di balik selimut. “Hei, kau tidak apa - apa? Mon Dieu, mukamu pucat sekali!” Corrine menyibak selimutku dan memekik panik.
“Stt, ça va. Aku baik - baik saja. Hanya sedikit kedinginan.” Jawabku menenangkan sambil meraih tangannya agar tidak beranjak pergi.
“Granny memintaku menjemputmu untuk makan malam. Tapi kupikir aku sudah menemukan jawabannya. Sudah minum obatmu?”
“Ya, sudah lumayan enakan.” Jawabku berbohong menenangkan.
“Aku akan meminta Brigitte membawakan makan malam mu ke kamar saja.” Katanya khawatir, sambil menyibak rambutku. “Ingin kutemani?”
Aku menggeleng. “Tidak usah. Aku baik - baik saja sendiri.” Dan aku memang sedang ingin sendiri. Auraku sedang tidak bagus. Pikiranku penuh dengan hal - hal yang negative, dan aku tidak ingin saat aku tetiba meledak, ada seseorang yang tersakiti karenanya. Biarkan aku sendiri dengan kegalauan ku dulu. Mungkin ini adalah kompensasi karena aku belum pernah merasakan masa puber yang layak sebagaimana teman - teman sebayaku.
“Baiklah.” Corrine mengalah, lalu meletakkan ponselnya di sebelahku. “Sebenarnya sudah ingin kuberikan berminggu-minggu yang lalu, tapi selalu lupa. Quick call nomor 1 akan tersambung dengan Richard, nomor 2 akan tersambung ke nomorku.” Sepertinya dia masih tidak rela meninggalkan ku sendirian, walaupun aku sudah mengangguk mengikuti semua instruksinya.
Ya, ya. Diikuti saja. Semua pertanyaan yang menggunung ini akan ada waktunya memperoleh jawaban. Hopefully, someday.
“Pergilah. Mereka menunggumu.”
*** 
Sepertinya acara semalam berjalan lancar, karena aku tidak mendengar kabar apapun setelahnya. Hanya Brigitte yang mengetuk pintu dan mengantarkan makan malam lalu meminta maaf karena tidak bisa menemani dan harus berada disana sepanjang acara.
Pagi ini cuaca masih agak mendung, tapi hujan sudah berhenti sejak subuh tadi. Bagiku hampir tidak ada bedanya karena masih terasa dingin. Dada kiriku juga masih agak nyeri, tapi sudah lebih baik dari kemarin malam.
Kuputuskan untuk turun sarapan di ruang makan karena aku mulai bosan di dalam kamar.
“Bonjour,” Sapaku pada orang-orang yang sudah lebih dulu disana.
Daddy, Madame dan Duke Villich dan Granny menoleh. Aku sengaja berjalan memutar untuk duduk di dekat Granny Louisa.
“Ma Petite Mira, Bonjour! Aku tidak melihatmu semalam, sembunyi dimana cucuku ini?” Granny memelukku hangat.
“Granny pilih kasih sekali, padahal semalam ada aku yang menemanimu.” Corrine menjawab sebelum aku dengan muka cemberut pura - pura marah. Aku tersenyum penuh kelegaan menyambut kedatangannya, lalu kulihat sekilas dia mengedip padaku sebelum duduk di sampingku. “Aku sakit hati, nih.”
Granny Loisa mengangkat tangan dan menghela nafas dramatis. “Mon Dieu! Apakah orang tua ini tidak boleh berharap didampingi oleh kedua cucunya sekaligus?” Granny cemberut lucu membuat kami berdua tertawa.
Corrine lalu menyapa daddy dan keluarga Villich. “Mama menitipkan maaf karena tidak bisa bergabung dengan kalian pagi ini. Ada urusan yang mengharuskannya terbang ke Inggris subuh tadi. Semoga ketidakhadirannya dimaafkan.” Lanjut Corrine.
“Biensur, Ma Belle. Dedikasi ibumu sangat tinggi, dan kinerjanya bagi keraan juga luar biasa. Tentu saja dia harus berangkat sepagi itu.” Madame Villich menjawab, mencoba terdengar simpatik dari seberang meja.
Kami memulai makan sambil sesekali obrolan ringan lalu lalang di sekitar kami. Di sampingku, Granny, Daddy dan Madame Villich membicarakan tentang politik yang jujur saja, susah sekali kuikuti, sambil sesekali Corrine menimpali. Aku makan dengan hati-hati karena ada satu orang disana yang tatapannya terus menerus kurasakan tertuju padaku. Sepertinya Corrine menyadari sesuatu, dan menyenggol sikuku pelan.
“Dia mengganggumu?” Tanyanya pelan, hampir berbisik.
Yah, teknisnya, tidak. Tapi, iya, aku terganggu! Bingung kan? “Dia tidak berhenti menatapku, apakah ada yang aneh padaku?” Tanyaku cemberut
“You’re as gorgeous as always.” Dan kami terkikik pelan karena candaannya.
“Sepertinya aku tidak menyukainya. Dia terlalu terang - terangan tidak menyukaiku.”
“Hampir tidak ada yang disukai keluarga Villich, Mira. Hampir tidak ada. Malangnya, keluarga ini adalah salah satu dari sedikit hal yang menarik perhatian mereka.”
“I’m not included.”
“Hanya karena kau baru disini.”
”Hanya karena aku menempati kamar Arlaine dan dia nyaris mendobraknya tempo hari.”
“Dia melakukan itu?” Aku menggumam mengiyakan. “Seperti bukan dirinya.”
“Maksudnya?”
Suara deheman keras memecah penantianku akan jawaban Corrine. Aku mengangkat kepala dan yang pertama kali kulihat adalah tatapan Madame Villich yang mencela.
“Ya?”
“Anak muda yang arogan sekali. Sibuk sendiri di meja makan sampai mengabaikan yang lebih tua.” Cibirnya.
“Maklum lah, Victoria. Obrolan kita memang kurang menarik bagi anak muda seusianya.” Granny menepuk - nepuk lembut telapak tanganku.
Madame Villich mendengus dengan tidak anggunnya. “Saat seusianya, Arlaine, Abe dan Corrine sudah sibuk mengabdikan diri pada Negara. Pembicaraan politik bukan hal yang asing bagi mereka. Tapi lihat dia. Sangat acuh sekali. Sikap yang tidak pantas sebagai sebagai keluarga anggota kerajaan.”
“Cukup Victoria. Kau tidak mengenal anakku. Tidak ada hak mu untuk menilainya.” Daddy terlihat jengah dengan suasana yang tiba-tiba tidak nyaman.
“Aku? Tidak berhak? Kau lupa siapa ibunya! Urakan dan tidak tahu diri! Miskin sopan santun dan pengetahuan!” 

Book Comment (56)

  • avatar
    yuliantiyesii

    hangus bngt ya😊😊

    08/08

      0
  • avatar
    SamNaf

    ok mantap

    11/01

      0
  • avatar
    rahmawatinanik

    baguss

    14/12

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters