logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

DENDAM DAN CINTA NOYA

DENDAM DAN CINTA NOYA

JUMAINAHSLL


Chapter 1 SEDIHKU

Tok, tok, tok. Sebuah suara diketuk terdengar di sebuah rumah yang dihuni seorang perempuan berusia dua puluh lima tahun yang sekarang ini sedang mengenakan daster hijau dan tampak pucat dengan mata bengkak sehabis menangis.
"Ada apa?" tanyanya setelah membuka pintu dan memandang kedua polisi di depannya.
"Bisa ikut kami sebentar?" tanya salah satu dari mereka.
"Apakah sudah ada kabar tentang anak saya yang hilang itu?" tanyanya penuh harap.
"Sebaiknya ikut dulu, kami tidak dapat memastiakannya," saran Polisi itu.
"Tunggu sebentar." Ia segera masuk dan mengambil jaket merahnya dan segera menutup pintu untuk ikut bersama mereka ke mobil polisi.
Dengan perasaan cemas dan takut. Perempuan itu menggigit bibirnya kemudian menangis diam-diam. Bagaimanapun betapa sangat menderitannya ia. Anaknya hilang sudah tiga hari yang lalu saat sedang dalam perjalanan sekolah. Ia tidak sempat menjemputnya dan sekarang malah diminta datang ke rumah sakit. Semoga saja bukan hal buruk.
Polisi yang bernama Arsyat melirik dari kaca spion depan. Betapa kasihannya ibu muda itu. Ia menghela napas dan hanya bisa memandangnya tanpa bisa berkata-kata. Mobil mereka telah tiba di Rumah sakit. Dengan tidak sabar tanpa diberitahu letaknya, perempuan itu langsung berlari ke dalam dan mencari meja ruang informasi.
"Biar saya tunjukkan," kata Arsyat saat perempuan itu ingin bertanya pada resepsionis.
Perempuan itu memandang Arsyat sejenak kemudian mengikuti langkah pemuda itu untuk menuju tempat yang akan dituju mereka. Kamar jenazah berada tepat di depan mereka. Perempuan itu meneteskan lagi air matanya, dadanya naik turun menahan sakit sembari berjalan pelan memasuki kamar itu. Tubuhnya limbung hampir jatuh kalau saja tidak disangga oleh Arsyat.
"Anda bisa berjalan sendiri?" tanya Arsyat saat perempuan itu menepis tangan Arsyat yang menyangganya.
Perempuan itu tidak menjawab, ia tetap maju dengan perasaan campur aduk. Terdengar isak tangis darinya saat menghampiri jenazah anak-anak yang ditunjukkan padanya oleh dokter lelaki di hadapannya. Pelan sekali ia buka dan berharap itu bukan anaknya, tapi nasib berkata lain. Anaknya yang berusia lima tahun kini terbujur kaku dengan keadaan menyedihkan. Kepalanya hilang. "Tidakk!!" jeritnya setelah melihat baju yang terakhir kali dikenakan putranya.
Semua panik dan berusaha menenangkannya. Perempuan itu mengamuk dan mendorong semua ranjang jenazah di sekitarnya.
***
Mimpi itu terus datang menghantuinya. "Mama ... Mama! Gilang sakit, Mama. Gilang takut, Mama. Tolong Gilang!" teriak seorang anak berusia lima tahun yang sedang menjerit meminta tolong padanya saat akan di bunuh.
"Gilaang!!" teriak perempuan itu. Ia langsung terbangun dari tidurnya.
Dia menangis dan mengepalkan tinjunya ke pahanya. Terdiam sebentar kemudian mengambil jaket merahnya dan pergi keluar sejenak tanpa mencuci wajahnya terlebih dahulu. Sebuah kedai ramen tepat berada di depan rumahnya. Ia masuk ke kedai itu dan memesan ramen panas kemudian memakannya tanpa memedulikan pandangan mata setiap orang yang melihat keadaan lusuhnya. Baginya ia harus bertahan hidup untuk membalas dendam atas kematian putranya. Apa pun caranya akan ditempuh walau harus melawan hukum.
"Anda berada di sini?" tanya Arsyat saat melihat perempuan itu sedang makan di sana.
Perempuan bernama Noya, sebenarnya berwajah cantik dengan kulit putih bersih bak model. Tetapi semenjak kejadian tragis itu, perempuan ini menutup diri dan tidak memerhatikan keadaannya sendiri. Arsyat memandang kasihan padanya dan hanya bisa menepuk pelan bahu perempuan itu.
Noya menaruh ramen yang dipegangnya dengan kasar ke meja. Ia kemudian memandang Arsyat dengan pandangan menghina. "Jangan terlalu kasihan denganku. Aku memang janda dan sekarang ditinggal anakku, tapi aku bukan orang yang mengharapkan belas kasih dari seseorang. Asal kamu tahu saja ... aku gak akan melepaskan mereka semua. Kalau belum mati di tanganku, maka aku pun tidak bisa hidup dengan tenang!" tegasnya.
Arsyat menghela napas. "Bersabarlah, kami sedang mengusahakan pencarian tersangka," katanya.
"Kapan?" Noya memandang ke depan seraya mengejek.
"Baiklah, kami akan segera menyelidikinya, tapi tolong sabar."
"Hem." Noya kembali memakannya. Ia tidak ingin banyak berdebat. Wajah kusutnya kini menambah iba Arsyat. "Sebaiknya cepat. Sebelum jatuh korban lagi," desak Noya. Ia meninggalkan beberapa lembar uang di samping mangkuk ramennya dan segera pergi dari sana.
Arsyat tertegun seraya menatap kepergian Noya. Ia baru sadar setelah pesanan mie rebusnya datang. "Terima kasih."
"Anda melamun?" tanya pemilik kedai tersebut.
"Iya, saya sedang memikirkan perempuan tadi." Arsyat mengaduk mienya.
"Dulu pertama kali datang sangat ceria. Namun, setelah memiliki seorang anak hidupnya jadi tidak terurus."
Arsyat antusias. "Bagaimana maksudnya?"
"Suaminya tukang selingkuh. Dia sengaja mengurung istrinya di rumah agar tidak melihatnya berselingkuh."
"Benarkah?"
"Ya, suaminya amat kejam. Tidak akan membiarkannya hidup tenang."
"Lantas setelah kematian putranya bagaimana kehidupannya saat ini?"
"Entah. Kabarnya dia dicerai dan kurasa perceraian itu hanya alasan agar suaminya dapat menikah dengan selingkuhannya." Ia merapikan mangkuk di meja.
"Jadi bagaimana dia akan hidup, apakah ada pekerjaan?"
"Entahlah. Perempuan malang itu kini sangat kesepian. Sungguh kasihan. Andai aku masih muda akan kuambil dia menjadi istri."
Arsyat tertawa geli mendengar itu. "Anda bisa kan, memberinya pekerjaan?"
"Semua telah penuh. Saya harus perhitungan di zaman susah begini."
"Apakah dia jauh dari keluarga?"
"Sangat. Ayahnya berasal dari negara Korea sedangkan ibu di Indonesia. Suaminya pula warga sana."
"Bila nasih memiliki ibu, kenapa dia harus sendiri?"
"Berat bila hendak dikata. Dia pun kehilangan ibunya." Pak tua ini hela napas. Ia melirik istrinya yang kini sedang melayani pembayaran.
Arsyat mendesah. Tak habis pikir dengan nasib yang kini menimpa Noya. Ia menjadi tambah iba. Dengan perasaan hambar ia suap mienya. Ponselnya berdering. Pemuda ini kemudian menerimanya. "Halo, Pebi."
"Pak, kami belum menemukan pelaku, tatapi kami mendapati banyak sekali pengaduan anak hilang."
"Baiklah, Peb. Terus selidiki pokoknya jangan sampai kehilangan jejak."
"Baik, Pak."
Arsyat kembali memakan mie. Ia melirik seorang anak manis dan anehnya seperti mengenal bocah lelaki itu. Namun, ia lupa di mana pernah bertemu.
"Om, suka sama mama, ya? Om, kalau suka bantu mama cari pembunuhku. Om, Gilang kangen mama, Gilang takut!" Anak lelaki itu kemudian lenyap.
Arsyat tersentak ia mengusap kedua mata. Tidak percaya dengan apa yang barusan dilihatnya. "Benarkah tadi itu Gilang, putra dari Noya?" Ia masih sangsi hingga memandang ke segala arah sementara para pelanggan sedang ramai makan dan berbincang. "Aneh, aku merasa ini nyata padahal nggak mungkin yang mati hidup kembali," gumamnya. Ia lantas memandang pintu. Gilang di sana sedang tersenyum. Tentu Arsyat menjadi syok. Namun, sebisa mungkin mencoba untuk tenang.
"Tolong jaga ibuku!" Gilang kemudian lenyap bersamaan dengan salah seorang pengunjung yang melewatinya.
***
Noya berjalan tiada arah. Ia sebenarnya bingung untuk pulang kerena dirinya masih merasa penasaran dan dendam terhadap pelaku. Noya menatap jalan yang ia lalui. Kendaraan melintas membuat kepalanya sakit. Perempuan ini meremas kepala kemudian menjerit histeris.
"Bu, ada apa?" tanya seorang pengendara bermotor berbaju hitam. Ia mampir ketika melihat Noya menjerit.
Noya memandang pemuda itu. Ia lantas memandang orang sekitar yang mulai berhenti hanya untuk melihatnya. "Tidak. Aku dalam keadaan baik!" Noya segera melajukan langkah. Menerobos mereka yang berkumpul.
"Kenapa dia?"
"Aku tak tahu. Perempuan itu menjerit tadi."
"Nampaknya dalam masalah."
"Iya, terlihat jelas."
"Kasihan sekali dia."
Begitulah mereka berbicara di belakang Noya yang kini berlari kecil seraya mengusap air mata. Noya terhenti di teras toko yang tutup. Ia menyisir rambut ke puncak kepala dengan jemari kanan seraya tangan kiri menyentuh dada. Duduk di sana seraya mengisak. Arsyat tidak sengaja lewat. Ia memandang Noya kemudian singgah.
"Anda?"
Noya tidak menjawab. Ia hanya mengusap air mata.
"Mau apa kamu di sini? Ayo, biar kuantar pulang!" Ia ingin meraih Noya.
"Jangan sentuh aku!" Noya memandang pemuda tampan di hadapannya ini dengan tatapan benci.
"Aku hanya ingin menolongmu, Bu."
"Mau menolong?" Noya tertawa menghina. "Cari pembunuh anakku baru itu kuanggap menolong!"
Arsyat hela napas. Ia berjongkok. "Kami pasti mencarinya. Kami saat ini sedang ber-"
"Berusaha!" potongnya. "Heh, berusaha apanya?"
"Tolong mengertilah, Bu."
"Diam!" Noya menuding wajah Arsyat. "Aku akan cari sendiri sampai kudapat! Bila kudapat akan kuhabisi mereka semua!"
"Anda saat ini sedang emosi. Jadi tolong tenang."
Noya menepis saat Arsyat ingin meraih tangannya untuk diajak pulang. "Aku bisa pulang sendiri!" Ia berdiri kemudian berjalan.
"Noya, tunggu!" Arsyat meraih tangan Noya kemudian menariknya. Mereka menjadi pusat perhatian karena kini Arsyat merangkul Noya. Setelah sadar Arsyat melepaskan Noya. Ia serba salah dengan sikapnya yang khilaf. "Maaf."
Noya menatap tajam Arsyat. Membuat pemuda ini ingin sekali meremas kedua pipi imutnya. "Jangan ganggu aku!"
"Maaf, aku tidak bisa. Kalau kamu bilang begitu maka aku akan mengusikmu."
"Hem!" Noya segera berbalik. Ia pergi dengan kemarahan.
Arsyat memandang punggung Noya. "Noya, aku suka padamu. Kamu menghindar terus tetap kukejar."
Noya berjalan tak tentu arah sehingga nyaris menabrak mobil parkir di hadapannya. "Ish!" desisnya kesal lantaran terkejut.
"Hati-hati, Bu! Untung mobil saya diam. Kalau jalan bagaimana ceritanya?" omel seorang ibu berbaju biru. Ia memandang sinis pada penampilan Noya yang kusut. "Kayaknya orang setres!" Ia kemudian masuk ke mobil.
Noya menyingkir saat klakson berbunyi. Ia memandang kepergian mobil. Arsyat terus memperhatikan Noya dari kejauhan.
Ponsel Arsyat berdering. Ia segera meraih dari kantung celana bagian depan sebelah kanan. "Ya, halo Adi?"
"Ke mana saja kamu, Pak? Kita nih, nunggu di kantor."
"Lagi ada urusan."
"Urusan apa, nggak kerjakah?"
"Kerjalah."
"Terus?"
"Kamu tahu Noya?"
"Ibu yang anaknya tewas mengenaskan itu?"
"Ya."
"Hem, ada apa?"
"Aku penasaran dengannya."
"Asal penasaran dengan tugas kita, Bos. Tugas menuntaskan kasus bukan lagi mau ini dan itu," sindir Adi seraya meminum secangkir kopi.
"Keduanya kalau boleh?"
"Yang atasan siapa, Pak?"
"Hehehe ...."
"Sebagai bawahan cuma mau mengingatkan saja. Jangan lupa kerja."
Arsyat mengakhiri pembicaraan. Ia segera pergi untuk bertugas kembali. Walau sebenarnya sayang untuk meninggalkan Noya.

Book Comment (511)

  • avatar
    NegeriAnak

    Novel ini memiliki alur hambel dan graudal sehingga mampu menjerat rasa penasaran pembaca. Perlahan kita jadi menikmati setiap kejadi-kejadian kecil dan kejadian yang besar. Konstruksi kisahnya seperti melukis di atas batu karam, dimana kisah ini memulai dari hal sosial yang hampir sama di setiap lingkungan hidup kita. Saya jadi semakin penasaran untuk lanjut membaca, karena kisah ini juga ibarat mendaki gunung. Namun setelah saya membaca ada beberapa ejaan dan kosa kata yang kurang hurufnya.

    06/02/2022

      0
  • avatar
    Fujii Ann

    Lanjut

    10/08

      0
  • avatar
    ALARM_THAILOOK

    keren cui novel nya bagus iii aku suka bangettt tpi lagi asli kalau dia sexy lagi bagussss

    08/07

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters