logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 7 Kekuatan

(02 Februari 2007)
Dua orang anak tengah bermain di halaman rumah yang amat luas. Di sisi kiri dan kanannya terdapat tanaman bunga mawar dengan berbagai warna. Satu pohon besar menjadi satu-satunya tempat yang rimbun disana. Di bawahnya ada sebuah bangku panjang bercat putih, tempat biasa mereka duduk menatap air mancur kecil yang letaknya 5 m dari pohon itu. Tak lupa dua ayunan yang ada disana.
Mentari pagi menyembul ke permukaan, cahayanya sebagian tertutup awan putih.
“Zull, kakak ambil makanan dulu. Kamu tunggu di sini ya, “ ucap seorang gadis kecil berkepang dua pada adik lelakinya. Mereka terpaut usia tiga tahun. Anak lelaki itu mengangguk, ke dua tangannya sibuk dengan mainan transformer hadiah dari ayah minggu lalu.
“Hiaatt! Aku akan membunuhmu.” Anak itu mengangkat transformer di tangan kanannya dan menyerang satu monster di tangan kirinya.
“Apa yang kau lakukan?” tanya ibu yang datang dari arah belakang. “Membunuh monster? Kenapa? Apa dia bersalah?” tanya ibu lagi dengan senyum hangatnya, ia berjongkok di samping anak itu. Anak lelaki itu mengangguk kuat membiarkan rambut depannya menutupi sebagian matanya.
“Dia mau menghancurkan negaraku, Ma. Jadi aku membunuhnya,” ucap anak itu masih merengut kesal pada monster di tangannya. Mama tersenyum lebar, mengelus pucuk kepala anak bungsunya itu.
“Apa, Zull ingin menjaga negeri seperti para transformer?” kali ini anak itu menggeleng kuat.
“Tidak, Ma. Zull hanya ingin menjadi seperti daddy. Masuk sekolah hukum dan membuat rakyat tidak kesusahan.” Senyum polos anak berusia tujuh tahun itu membuat sang mama bangga. Tak jauh dari tempat mereka gadis kecil berusia sepuluh tahun tampak tersenyum bangga.
“Ma, aku pergi sekarang,” ucapan seorang remaja berusia tiga belas tahun cukup keras membuat mama berdiri dan menghampirinya.
“Sudah siap? Di mana daddy?” tanya mama sembari merapikan baju anak sulungnya. Ransel di punggungnya nampak penuh. Topi bulat di kepalanya sengaja di miringkan.
“Daddy, menunggu di mobil. Katanya daddy buru-buru, ada meeting dengan beberapa Klien,” ucapnya, mama mengerti dan ikut mengantar putra sulungnya.
***
(15 Maret 2008)
Rumah megah berlantai tiga itu kini ramai oleh celotehan orang-orang berjas hitam. Mereka terlihat membicarakan sesuatu yang penting. Tak lama kemudian, mama menghampiri Zull dan Karin yang sedari tadi mengintip dibalik pintu kamar Zull.
“Kalian tetap di kamar. Jangan keluar sebelum mama membuka pintu kamar kalian, ya?” ke dua anak itu mengangguk serentak. Mama tersenyum dan mengelus pucuk kepala dua anak itu bergantian. Menutup pintu rapat tanpa menoleh ke belakang.
“Kak Elise, kita keluar saja. Ada banyak kawan daddy, aku rasa tak masalah. Bukankah kita hanya keluar, bukan ingin membuat masalah,” tutur Zull sembari menggerak-gerakkan ujung baju sang kakak.
“Dengar, Zull.” Gadis mungil itu memegang ke dua bahu adiknya. “Mama bilang kita harus tetap disini. Kau tidak ....”
Prank ....
Suara benda jatuh ke lantai—yang sudah menjadi serpihan—terdengar sangat keras. Ke dua anak itu terlonjak kaget.
“Kakak,” Zull mempererat pegangannya. Sementara sang kakak mencoba menenangkannya.
“Zull!” Elise menatap Zull lurus, “kamu tetap disini. Kakak akan mengecek keadaan di luar. Sebentar saja.” Elise meyakinkan. Dengan ragu, Zull mengangguk mengiyakan.
Perlahan, gadis manis dengan baju tidur bermotif panda berwarna pink itu menarik knop pintu dan mengintip keadaan luar. Sunyi. Seperti tak terjadi apa-apa.
Ia turun ke lantai satu, melangkah perlahan dan menyembunyikan tubuh mungilnya di balik tembok. Matanya membulat sempurna, mulutnya menganga, hampir saja ia berteriak keras. Beruntung ia bisa membekap mulutnya sendiri dengan dua tangan mungilnya. Ia meluruh di lantai, tak dapat menahan berat tubuhnya. Ini ....
***
(Juni 2021)
Erick membuka kedua matanya perlahan. Mentari pagi seakan mengintip dari celah tirai coklat yang sudah usang. Lelaki itu menoleh ke kiri menatap jam kecil yang bertengger di meja sudah menunjukkan pukul 10.23. Ia menghela nafas berat, mencoba bangun meski kepalanya terasa sedikit pening. Lelaki yang masih mengenakan hoody hitam itu keluar dan menatap heran ke empat temannya yang tengah duduk di ruangan tengah dengan hening.
“Cepat mandi dan sarapan. Aku membuat nasi goreng hari ini.” Brian berujar dengan senyuman hangatnya. Erick berbalik pergi ke kamar mandi setelah meraih handuk yang tersampir di sisi kulkas.
“Kita memang gagal dalam misi semalam. Tapi, apa yang salah? Erick terlihat tidak baik.” Rey berbisik pelan. Jovi hanya menatap pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Brian menunduk juga turut memikirkannya. Kenapa? Kenapa Erick terlihat sangat kecewa, padahal ini bukanlah hal pertama yang mereka alami. Kegagalan mereka bahkan pernah lebih parah dari ini. Edward termenung dengan ponsel di tangan yang sedari tadi bergetar halus. Terlihat nama ‘Mom' disana.
“Bahkan aku tidak ingin mendengar suaranya,” gumam Jovi pelan yang bahkan hanya bisa di dengar telinganya sendiri.
Satu jam kemudian, Erick sudah bergabung bersama mereka. Rambutnya ia biarkan basah, kaos abu-abu dan celana jins hitam memberi kesan bahwa ia terlihat frustrasi. Tarikan nafas yang begitu berat mengundang prihatin teman-temannya.
“Erick. Aku tahu, semua yang akan aku katakan ini tidaklah berarti apa-apa. Hanya saja ... dengarkan aku sekali saja,” ujar Brian lembut, lelaki itu diam tak membantah seperti sebelum-sebelumnya. “Kita sudah bersama selama dua tahun, apa ... masih pantas saling menyembunyikan masalah satu sama lain? Kau tahu apa masalah kami semua, tapi bukankah tidak adil bagi kami yang tak tahu apa pun masalahmu.” Erick menatap lelaki yang duduk di sampingnya itu sendu.
“Terima kasih. Tapi aku rasa belum saatnya aku menceritakan bagaimana hidupku.” Erick beranjak pergi, tak lupa memakai masker dan hoody hitamnya. Sekali lagi tak ada yang bisa membantahnya. Sekali pun kekangan itu amat keras, tetap tak ada yang bisa meluluhkannya.
“Kita tidak bisa seperti ini terus, kan?” ucap Edward lirih. Jovi mengangguk cepat.
“Benar, kita harus melakukan sesuatu. Apa pun itu yang penting kita bisa membantu Erick. Jangan sampai rencananya gagal dan membuatnya seperti saat ini.” Tak ada yang menyanggah, mereka menyetujui apa yang di katakan Jovi. Memang tak akan ada alasan kenapa seseorang rela melakukan apa pun demi orang lain yang bahkan tak begitu mereka kenal. Hanya saja alasan mereka begitu kuat, hingga tak peduli apa yang dilakukan lelaki itu salah atau benar, yang terpenting membantunya.
***
Anna menatap ke tiga sahabatnya yang kini berada di meja makan. Arthur dan Harry begitu antusias saat Richee membawakan masakan kesukaan mereka. Wanita cantik itu mengerti janji yang mereka ucapkan, bukan hal yang harus mereka lupakan.
“Anna! Ayo gabung.” Harry berujar lantang tentu membuat ke dua lelaki itu ikut menatap Anna. Wanita itu berjalan menghampiri ke tiganya dan duduk di samping Harry. Ia tersenyum tipis dan menatap meja makan yang terdapat banyak makanan.
“Aku buatkan omlet kesukaanmu. Ayo makan,“ ucap Richee yang kini ikut duduk di samping Arthur.
“Terima kasih banyak. Aku tidak .... “
“Diamlah, kita hanya perlu menghabiskan semua makanan.” Cengiran lebar dari Harry membuat Anna tersenyum haru. Ya, mungkin mulai sekarang dia harus mengandalkan mereka bertiga.
“Berapa hari lagi cutimu?” tanya Anna kini menatap Harry yang sibuk mengunyah makanan.
“Aku ....”
“Dia mengundurkan diri,” cetus Richee membuat Anna menatapnya tak percaya. Kenapa? Demi dia lagi? Sungguh, wanita itu tak tahu lagi apa yang harus ia katakan. Berterima kasih tidaklah cukup, sebab ia tahu betul bagaimana perjuangan Harry untuk menjadi pengawal presiden. Menjadi lebih kuat, mungkin itu yang bisa ia lakukan saat ini.
**
Hamparan gedung dan perumahan tampak begitu jelas dari ketinggian 280 m. Lelaki berambut pirang, mata sedikit sipit, berkulit putih, tubuh tegap yang tak terlalu tinggi, menatap berkeliling bangunan 61 lantai itu dengan wajah datar. Ini salah satu gedung milik keluarganya yang hampir satu tahun di pindah tangan kan pada paman satu-satunya yang menjadi orang kepercayaan ayah dan ibu. Embusan nafas berat menjadi penanda bahwa ada sesuatu yang sangat ingin ia utarakan, tetapi terhalang perasaan takut.
“Biarkan ini menjadi pekerjaan kita, tanpa harus ada campur tangan orang tua.” Erick berujar tempo hari. Ya, bagi seorang lelaki bernama Jovi sangat berat terus berbohong pada ke dua orang tuanya. Bagaimana jika mereka tahu anak semata wayangnya melakukan tindakan yang keji, meski berlandasan sebuah keadilan.
“Maaf,” bisiknya pada angin yang sebentar lagi membawa lembayung jingga suasana senja. Sesaat memejamkan mata dan memantapkan hati, bahwa apa yang ia lakukan saat ini bukan hal yang harus ia akhiri. Bukan juga hal yang harus ia sesali nanti.
**
Pria berjas hitam dengan dasi merah menyala, mengetuk-ngetuk meja dengan ujung pena hitamnya. Wajah datar namun syarat akan kekesalan itu terlihat jelas. Lelaki berusia tiga puluh tahunan yang duduk di depannya terlihat gugup, ia menautkan jarinya dan sesekali memainkannya. Lama waktu berselang, pria berjas hitam itu menghentikan kegiatannya dan membuka suara. “Lakukan apa yang seharusnya kau lakukan.” Ia mendekatkan wajahnya ke wajah lelaki tiga puluh tahun itu, “kau bawa Zull ke tempat yang sudah ku siapkan,” ujarnya berbisik tajam.
“Ba-baik, Pak. Akan saya lakukan.” Lelaki itu bergegas pergi.
“Aku tidak akan pernah berhenti sebelum kau kusingkirkan,” gumamnya dengan tangan mengepal kuat.
Sementara itu, di rumah Anna. Arthur menatap foto ke lima buronan yang sempat menjadi rekannya selama dua tahun ini. Ia menandai Erick sebagai target utama. Ya, meski lelaki yang paling dekat dengannya itu terlihat baik, tetapi pembunuhan yang dilakukannya sangatlah tidak manusiawi. Andai saja, mereka berenam bertemu saat masih sekolah dan hanya menjadi bagian dari geng sekolah yang menjadi bulan-bulanan guru kedisiplinan. Tapi sayang, kali ini masalahnya tak sesederhana itu. Bahkan garis pertemanan yang tak memandang status bukan lagi hal yang benar. Nyatanya, seorang polisi tak bisa berteman dengan kriminal. Pemburu harus menangkap buruannya dan buruan tak bisa dekat dengan pemburu.
“Kita akan menyelesaikan ini.” Harry merangkul pundaknya lengkap dengan cengiran khas yang tak pernah hilang. Arthur ikut tersenyum lebar. Ia masih beruntung ada yang menerimanya tanpa syarat. Meski hubungannya dengan Richee tidak terlalu baik, tapi ia yakin dengan berjalannya waktu semua akan bisa teratasi.
Arthur mengangguk mantap, “Eum! Aku yakin.”
**
Edward menjatuhkan diri di kursi kayu yang ada di belakang rumah Erick, sedangkan Rey berdiri di depannya dengan ekspresi bingung. Edward menatapnya serius.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Rey.
Edward menggeleng santai, “aku tidak tahu.”
“Apa semua yang dikatakan orang itu benar?” Rey duduk di samping lelaki bertubuh gempal.
“Seseorang meneleponku waktu itu. Dia bilang ‘Lucca' terlibat dalam organisasi terlarang dan dia menjadi incaran polisi karena telah menyelundupkan senjata ilegal ke seorang ketua mafia di Hongkong,” tutur Edward .
Rey sontak terkejut, “Astaga! Sungguh?”
“Aku harap tidak.” Ia membalas dengan nada lemas. “Aku harap Lucca baik-baik saja.”
Rey menatap lurus bangunan kumuh yang terlihat seperti serpihan atap yang berserakan. Menarik nafas berat, jemarinya tak henti bergerak menandakan ia khawatir.
“Kalian tak perlu menghawatirkan Lucca.” Brian muncul dari pintu belakang sembari membawa secangkir kopi hitam dan sebuah iPad di tangan kirinya. Edward dan Rey menatapnya heran. “Dia baik-baik saja.” Cengiran lelaki berambut hitam itu membuat ke dua orang temannya kembali heran.
“Apa maksudmu?” tanya Edward setelah Brian duduk di depan mereka.
“Aku dengar, Erick meminta Jovi menemui Lucca. Dia akan datang dan mereka sudah menyewa kantor di gedung milik keluarga Jovi,” jelas Brian.
“Tews tower!” ujar Rey dan Edward serempak. Brian mengangguk membenarkan.
“Ahh ... Satu gedung yang aku impikan.” Edward menerawang ke arah langit yang hampir malam. Ke duanya ikut larut dalam pikiran masing-masing. Pemandangan desa kumuh ini tak begitu mengganggu penglihatan, terlebih karena mereka berada di titik tertinggi jadi bisa lebih menikmati mentari senja yang hangat namun hanya sesaat.
“Kau bilang Lucca akan baik-baik saja. Apa benar?” tanya Edward dengan suara pelan.
Brian mengangguk tanpa ragu. “Erick pasti akan menyelamatkannya. Aku rasa ... “ Brian menatap dua temannya lurus, “Erick punya rencana baru.” Tersenyum, dan membuat lelaki gempal itu meluruh. Rey menutup wajahnya dengan ke dua telapak tangannya.
“Kapan dia akan berhenti memutar rencana,” gumam Rey pelan.

***
Erick berdiri di gedung kosong tempat ia membawa Anna dua hari lalu. Ia mengedarkan pandangannya berkeliling dan tak menemukan apa pun. Hanya ada cahaya yang masuk lewat celah atap yang bolong. Melihat jam pada layar ponselnya yang menunjukkan pukul 22.43. Beberapa jam yang lalu seseorang yang mengaku kenalannya meminta ia datang ke tempat ini seorang diri. Meski ada sedikit rasa waswas, karena Erick tahu betul jika orang yang ia kenal akan langsung mengatakan permasalahannya, tanpa mengawalnya bertemu di tempat seperti ini.
Sepertinya kekhawatiran Erick terbukti saat seorang pria bertubuh tinggi tegap dengan tongkat bisbol di tangan datang. Di belakangnya pria berjas hitam sekitar sepuluh orang ikut melangkah dengan tongkat yang di bawa masing-masing. Erick terkesiap saat tiba-tiba mereka serentak menyerang. Perkelahian pun tak terelakkan, satu lawan sepuluh.
Buk!
Erick ter mundur, tubuhnya membentur dinding saat satu tongkat bisbol mengenai perutnya. Ia membungkuk memegangi perutnya yang terasa sakit, mencoba mengatur nafasnya yang terengah. Tangan kanannya belum pulih, itu sedikit membuatnya kesulitan. Ia bergerak ke kiri, menghindari satu pukulan dari pria besar itu. Dua pria melangkah maju memegangi kedua tangannya erat. Meski ingin berontak, Erick tak memiliki cukup banyak tenaga.
Tiba-tiba semuanya berhenti. Pria besar yang memakai kaos tanpa lengan dengan otot-otot besar yang mencuat tampak pula tato naga bersayap di lengan kirinya. Menghampiri Erick yang kini tampak lemah. Menunduk, menyamakan posisi ke duanya.
“Kau ikut dengan kami, maka kau akan selamat,” bisiknya tajam. Erick terkekeh kecil, menatap malang pria itu.
“Orang tua itu? Katakan padanya, aku lebih baik mati di sini dari pada harus bertemu dengannya.” Erick melepaskan tongkat besi yang di pegangnya perlahan. Sementara tangan kirinya masih memegang perutnya seakan akan keluar seluruh isinya.
Sepertinya apa yang di inginkan Erick dengan cepat terkabul. Pria besar itu mengangkat tongkat bisbolnya dan ....
Buk!
Satu pukulan keras mengenai kepala Erick, membuat lelaki itu tergeletak di lantai. Matanya tertutup rapat di susul darah yang mengalir dari kepalanya.
“Kau pikir kau sekuat apa?”
.
.
TBC.

Book Comment (789)

  • avatar
    MaulidhahRizqi

    novelnya seru dan gak membosankan satu lagi selalu buat penasaran untuk terus membaca

    22/12/2021

      1
  • avatar
    Annur Hasni

    Verry good

    29/06

      0
  • avatar
    absadieveland

    👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻

    26/06

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters