logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 4 Kepercayaan

“Hanya percaya, jadi percayalah.”
***
Anna menatap layar monitor yang ada di depannya. Sudah hampir satu jam ia menatapnya tanpa suara. Harry ikut memperhatikan dan menemukan sesuatu yang membuatnya memajukan tubuhnya untuk melihat lebih jelas.
"Orang itu. Aku pernah melihatnya bersama Arthur saat aku membeli makanan untuk rekan-rekanku," ujar Harry membuat Anna mengernyit.
"Rey, salah satu mahasiswa fakultas seni rupa yang di DO satu tahun lalu karena menjadi provokator berbagai tawuran antar mahasiswa. Aku rasa dia juga salah satu kelompok yang dimasuki Arthur saat ini," tutur Richee—detektif yang sangat terkenal akan kegeniusannya—sembari menunjukkan kartu identitas milik lelaki yang dibicarakannya.
"Wah, hebat. Kau memang tak pernah kehilangan keahlianmu." Harry berujar kagum, sementara lelaki itu hanya tersenyum tipis.
"An, kau hanya perlu meminta bantuanku. Maka, jalan akan terbuka lebar," ujar Richee. Anna mengangguk pelan dan menarik bibirnya untuk tersenyum. Dia mengakui bahwa Richee selalu melaksanakan tugas dengan sangat cepat dan tanpa cacat. Dia salah satu detektif yang ia kagumi setelah An—kakak kandungnya. Sepertinya meminta bantuan detektif cerdas sepertinya bukanlah hal yang buruk.
***
"Akh! Pelan sedikit, sakit." Rey meringis saat Jovi menekan luka di pipi kirinya.
"Siapa suruh kau melawannya sendiri. Kau pikir kau siapa," ujar Jovi kesal. Rey hanya bisa menunjukkan cengirannya. Kini pandangannya tertuju pada seseorang yang sudah menyelamatkannya.
"Brian, kau tidak apa-apa?" tanya Rey dengan suara sedikit pelan. Mendengar itu, Brian memakai kembali bajunya setelah Arthur selesai mengobati luka di punggungnya.
"Aku tidak apa-apa. Sudahku bilang, jangan mencoba mencari masalah sendirian. Kau pikir, kau sehebat apa? Jika kau mengulanginya lagi, aku pastikan kita tidak akan pernah bertemu lagi," tutur Brian, Rey menunduk dalam penuh sesal. Meski perkataan mereka sedikit melukai perasaan, tapi Rey tahu ada kekhawatiran dari teman-temannya.
"Erick masih belum pulang?" tanya Edward yang duduk di samping Brian dengan laptop di pangkuannya.
"Bahkan aku tidak tahu kalau dia pergi malam tadi," sahut Jovi.
"Mungkin dia ...." Ucapan Brian terhenti saat mendengar pintu terbuka dan menampakkan lelaki yang mereka tunggu. Erick menatap mereka semua heran, dan menghampiri Rey yang segera memalingkan wajahnya ke arah lain.
"Ada apa?" tanya Erick khawatir. Ia duduk di samping Rey, perlahan mengangkat wajah itu dengan tangan kananya. Melihat luka lebam di sekitar bibir dan matanya.
"Siapa yang melakukannya?" tanya Erick lagi. Diam, tak ada yang berani membuka suara. Bahkan Arthur dan Brian yang paling berani dari yang lain pun hanya bisa saling tatap dalam keheningannya.
"Rey, siapa." Lagi, Erick bertanya, kali ini dengan suara lebih lembut.
"Orang itu," ucap Rey pelan masih dengan kepala tertunduk. Mengerti siapa 'orang itu' yang di maksud Rey, Erick menarik pelan tangannya dari wajah temannya itu.
"Mulai besok, kita hentikan pembunuhan sementara." Ke lima pria yang berada di ruangan itu menatap Erick bingung. Meski begitu, tetap tak ada kata penolakan yang bisa mereka keluarkan.
"Brian, Edward! Kalian tetap pantau petinggi yang ada dalam daftar minggu lalu. Arthur dan Jovi, pantau polisi wanita yang bernama Anna." mendengar nama Anna, ekspresi Arthur berubah tegang. Namun, buru-buru ia menetralkan ekspresinya.
"Aku dan Rey akan mengurus beberapa hal lain," lanjut Erick yang dengan mudah disetujui ke lima rekannya.
Begitulah jika Erick memerintah. Tak ada alasan untuk mereka menolak apa lagi menentang perintahnya. Karena bagi mereka melawan perintah Erick, sama saja seperti menyerahkan nyawa mereka. Juga satu hal, balas budi. Apa yang dilakukan Erick satu tahun lalu sangatlah berarti bagi ke lima pemuda itu. Erick menolong Brian yang hampir di penggal salah satu pengawal direktur salah satu pusat perbelanjaan. Menolong Edward dan Rey yang kewalahan menghadapi puluhan anggota gangster yang menguasai satu wilayah di LA. Juga membantu Jovi yang begitu frustrasi dengan hidup yang begitu banyak kekangan.
Entah bagaimana Erick menemukan Arthur dan membawanya ke sebuah gudang lama dengan keadaan yang sangat menghawatirkan. Terlihat banyak luka sayatan dan lebam di sekujur tubuhnya.
Meskipun mereka tahu apa yang dilakukan Erick bukanlah hal yang baik, tetapi mereka tak menyangkal tidak semuanya buruk disana.
***
Sesuai dengan apa yang diperintahkan Erick. Kini Arthur dan Jovi berada tak jauh dari kantor tempat Anna bekerja. Sedari pagi buta mereka menunggu di sana. Jovi mengucek matanya dan sesekali menguap lebar sementara Arthur yang duduk di belakang kemudi terus memperhatikan keadaan sekitar yang masih sangat sepi.
"Aku akan ke WC dulu. Kau jaga disini, jangan menghilang," ucap Jovi memperingatkan. Ya, pernah saja Arthur meninggalkannya saat menjalankan aksinya dengan alasan ia terburu-buru mengejar target yang bahkan tidak ada disana.
"Jangan lama," ancam Arthur dengan cengiran khasnya.
Arthur memperhatikan lelaki itu hingga menghilang dibelokkan. Ia merogoh saku celananya dan menghubungi seseorang.
"Anna, Erick meminta aku dan Jovi mengawasimu. Aku takut kau akan menjadi sasaran selanjutnya. Sekarang aku ada di depan kantor tempatmu bekerja." Tanpa menunggu jawaban wanita itu, Arthur buru-buru mematikan sambungan teleponnya saat melihat Jovi yang tiba-tiba kembali.
"Tumben cepat sekali, biasanya tidak kurang dari setengah jam." Arthur mencoba menetralkan kegugupannya. Jovi melirik tajam.
"Kau lupa? Rey yang selalu masuk ke dalam WC hampir setengah jam. Bahkan Edward terkadang menghabiskan banyak waktu di WC." Hampir saja Arthur mendapatkan sebuah pukulan karena menertawakan bagaimana ekspresi Jovi saat ini.
"Kau sudah melihatnya?" tanya Jovi setelah mereka kembali serius.
Arthur menggeleng pelan, "Tak ada siapa pun. Ini sudah jam delapan dan yang masuk kantor hanya polisi dan beberapa polwan saja. Aku tak melihat polwan bernama Anna itu."
Jovi juga melihat jam di ponselnya yang menunjukkan pukul 08.02 pagi. Memang yang terlihat hanya beberapa orang berlalu lalang di sekitar kantor.
"Lalu bagaimana? Kita ke rumahnya saja," ajak Jovi yang sukses membuat Arthur terkejut. Melihat bagaimana ekspresi temannya itu, Jovi membenarkan posisi duduknya dan menatap lurus ke depan.
"Kita pulang saja," decak Jovi, tanpa aba Arthur melajukan mobilnya menjauh dari kantor polisi.
*
Erick terus menatap Rey lurus. Sejak hampir dua jam lalu ia fokus pada lelaki yang duduk di depannya. Sementara Rey hanya bisa menunduk dalam. Selama mereka bersama, tak sekali pun Erick pernah menatapnya seperti sekarang ini. Meski ia pernah menatap Arthur lebih tajam dari ini, rasanya berbeda, seperti dia benar-benar melakukan kesalahan yang fatal. Rey hanya berharap Erick tidak marah padanya.
"Huh! Kau tetap akan diam?" Rey menegakkan kepalanya menatap Erick dengan satu alis terangkat. Melihat itu, lelaki di depannya itu tersenyum tipis.
"Masih berurusan dengan para preman itu?" tanya Erick, kini lebih santai dan juga sedikit membuat Rey menarik nafas lega.
"Sedikit. Kemarin aku terbawa emosi, karena salah satu dari mereka berencana menghancurkan bangunan yang ada di kiri rumah sakit," tutur Rey.
"Rumah sakit?" Erick memperjelas, Rey mengangguk, "maksudmu ... JSc?" lanjut Erick yang dengan cepat diiyakan Rey. Raut muka lelaki tampan itu berubah, rahangnya mengeras dan tangannya mengepal kuat.
Ada rasa sakit saat mengingat apa yang terjadi di sebuah rumah sakit swasta itu. Ya, rumah sakit itu milik salah satu teman terdekat ayahnya. Sejauh ingatannya, dulu mereka sangat akrab. Saling membantu satu sama lain, sebelum satu kebusukan mereka terbongkar. Sang direktur dan ayahnya bekerja sama untuk membangun rumah sakit yang sangat besar di sudut kecil kota. Namun, bukan kerja sama keduanya yang menjadi masalah bagi Erick. Cara mereka membuat bangunan megah itu dengan mengeruk lahan para penghuni yang membangun rumah sederhana di bantaran sungai. Dan perumahan itu sangat berarti bagi Rey.
Suara pintu terbuka dengan keras mengalihkan perhatian Erick dan Rey. Mereka menatap dua orang yang baru saja masuk dengan tatapan aneh.
"Kalian?" heran Rey. Jovi menjatuhkan diri di samping Erick, wajahnya tertekuk membuat kedua lelaki itu semakin heran.
"Aku gagal. Tidak bertemu wanita yang bernama Anna." cetus Jovi. Rey menatap lelaki bertubuh mungil itu lembut, sementara yang ditatap sedikit memalingkan wajahnya ke arah lain. Jovi memang kerap merasa bersalah jika tugasnya tidak berhasil.
“Lalu? Kau akan menyesalinya?” pelan tapi syarat penekanan. Jovi terdiam, lututnya naik dan di dekap kedua tangannya. "Kau masuk ke dalam kelompok ini dan terus mengikuti apa yang kita lakukan. Bukan berarti kau dituntut untuk bisa menyelesaikan tugas,” lanjut Rey.
Erick menepuk pundak Jovi pelan. Membuat lelaki itu mendongak menatap Erick sendu. “Sudahlah. Kau bisa melakukannya lain kali.”
Lelaki jangkung yang mengenakan kaos putih itu melangkah pergi. Tak ada yang berani bertanya, bahkan Arthur hanya bisa terdiam sembari menatap punggungnya yang hilang di telan pintu.
“Tidak apa-apa.” Rey masih mengelus pelan pundak Jovi.
***
Sementara di sebuah tempat latihan tenis, Brian dan Edward asyik bermain dengan sesekali mereka melirik satu orang yang juga bermain di sisi kiri mereka. Meski hanya bermain biasa, terlihat Edward sungguh-sungguh ingin memenangkan pertandingan.
"Edd, kau tak takut kurus?" celetuk Brian tanpa perasaan. Edward menatap lelaki itu tajam.
"Apa kau bosan hidup?" decak Edward tak terima. Lelaki gempal itu memang sangat sensitif jika menyinggung tentang fisik. Di tempatnya, Brian hanya tersenyum. Fokus mereka kembali memantau pergerakan target sebelum dering ponsel Brian berbunyi.
"Ya, kenapa?"
" ...."
"Baiklah, aku mengerti." Brian menutup ponselnya dan menatap Edward penuh arti.
*
Anna memutuskan untuk meminta bantuan pada Richee. Tentu dengan senang hati lelaki berusia 28 tahun itu menerima tawaran Anna. Juga Harry pastinya tak tertinggal untuk membantu dua sahabatnya.
"Kau tidak perlu merasa sendirian. Kita akan menjagamu." Harry membuat Anna selalu bersyukur bisa mengenalnya. Lelaki yang selalu menghiburnya di saat ia terpuruk dan selalu membuat gelak tawa.
"An, kalau tidak salah aku pernah melihat salah satu dari mereka memasuki perumahan di dekat gang biru," ujar Richee dengan tangan yang sibuk mengaduk kopi instannya.
"Kau tahu dari mana?" tanya Anna heran, pasalnya mereka bahkan belum tahu wajah mereka kecuali Arthur dan Rey.
"Aku cukup sering melakukan pengintaian disana. Ada banyak posko gangster yang sembunyi seperti tikus," tuturnya. Ya, tak heran jika lelaki ini mengenal banyak daerah rawan gangster. Tugasnya memburu mereka dan menggiringnya kesel. Suatu tugas yang amat mudah bagi seorang Richee, terkadang itu yang membuat Harry iri.
*
Kembali ke ruangan persegi itu, kini Brian dan Edward sudah bergabung disana. Terlihat Jovi masih duduk di kursi panjang, sementara Rey sibuk membuatkan makanan.
“Kau terlihat lesu. Why? Ada masalah?” Brian menjatuhkan diri di samping Jovi sementara Edward memilih mendekati Rey.
“Aku gagal,” gumam Jovi lirih. Brian mengerling malas.
“Hei! Kau pikir aku dan Edward berhasil? Bukan memburu, kami kehabisan tenaga karena bermain tenis,” ujar Brian bersungut kesal. Jovi melirik sekilas masih dengan raut sendu.
“Sudahlah! Toh, Erick tidak akan membunuhmu saat ini.”
“Apa maksudmu tidak saat ini?”
“Ti-tidak.”
“Dia akan membunuhmu nanti,” celetukkan Rey membuat Jovi melebarkan matanya kesal.
***
Erick menatap seseorang yang tengah meringkuk di sudut ruangan kecil. Kedua tangannya terikat oleh baju dengan lengan panjang yang melilit hingga belakang tubuhnya. Dokter bilang, beberapa jam yang lalu dia kembali mengamuk. Merusak fasilitas yang ada dikamar rawatnya. Kondisinya akhir-akhir ini kembali memburuk, terutama setelah seorang lelaki menemuinya. Erick mengepalkan tangannya kuat, mengutuk orang yang tega membuat gadis malang itu menderita.
"Kak, aku pasti membawamu pulang," gumamnya lirih.
Erick ingat bagaimana senyum manis gadis itu. Gadis yang selalu hadir saat ia merasa kesepian karena sang ayah yang tak pernah ada untuknya. Sekarang dia satu-satunya orang yang dia punya. Meski keadaannya seperti sekarang ini, Erick tak pernah menyerah membuatnya kembali seperti semula. Hanya perlu menunggu dan semua akan baik-baik saja.
**
Harry memperhatikan Anna yang duduk di depannya sembari mengetuk-ngetuk jarinya di meja. Mereka menunggu seseorang yang sudah hampir satu tahun tak terlihat.
“Kau tenang saja, dia sebentar lagi pasti datang.” Harry mencoba menenangkan.
“Kau yakin dia akan baik-baik saja jika bertemu kita?” Anna terlihat khawatir. Lagi-lagi Harry hanya bisa membuatnya tenang.
“Kau percaya padanya? Percaya padaku?”
Satu anggukan membuat Harry mengembangkan senyumnya. Anna tak boleh terlihat sedih sedikit pun.
Tak lama kemudian, orang yang mereka tunggu datang dengan penyamaran yang sangat rapi.
“Kau yakin mereka tak curiga?” tanya Anna masih terlihat khawatir.
Arthur terkekeh pelan sembari menjatuhkan diri di depan Anna. “Aman. Erick dan yang lain sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing,” ucap lelaki berwajah Asia itu santai.
“Baguslah. Bagaimana kondisi di sana? Bagaimana perkembangan kelompok itu. Ba—“
“Kau cerewet sekali,” potong Arthur cepat.
“Aku tidak sabar ingin memusnahkan komplotan itu.” Anna berdecap kesal.
Lagi-lagi Arthur hanya bisa terkekeh pelan. Sementara Harry terus memperhatikan keduanya.
“Har, apa yang kau perhatikan? Dari tadi jadi hanya diam,” ucap Arthur kini.
Harry tersenyum singkat “Tidak ada. Aku hanya berusaha untuk tidak tertawa mendengar bagaimana Anna menghawatirkanmu.”
“Kenapa membahas hal lain? Ayo kita selesaikan tugas kita.” Anna menaruh beberapa dokumen di atas meja.
Ketiganya kini fokus pada apa yang ada di depan mereka. Nyatanya mereka tak bisa bertemu hanya untuk sekedar melepas rindu. Tujuan mereka lebih penting dari apa pun.
**
“Aku rasa ini cukup.”
“Benar. Kita tidak bisa membiarkan ini.”
“Jangan sampai kehadirannya membuat usaha kita sia-sia.”
“Tak bisa lagi kita percaya.”
TBC. . .

Book Comment (789)

  • avatar
    MaulidhahRizqi

    novelnya seru dan gak membosankan satu lagi selalu buat penasaran untuk terus membaca

    22/12/2021

      1
  • avatar
    Annur Hasni

    Verry good

    29/06

      0
  • avatar
    absadieveland

    👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻

    26/06

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters