logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 2 Jejak Awal

Jam menunjukkan pukul 09.36 WIB. Dua petugas kepolisian sudah menyambangi kediaman keluarga Jovi. Ayah dan ibu sepertinya kaget dengan kedatangan polisi, terlebih saat nama putra tunggalnya masuk dalam daftar orang yang dicurigai sebagai komplotan pembunuh para anggota dewan. Sementara Jovi yang kini ditemani Brian terlihat biasa saja, bahkan cukup santai.
"Tanggal 02 Januari, benarkah kalian masih di LA?" tanya salah satu polisi berkacamata bulat.
"Benar. Bahkan kami belum berencana untuk pulang." jawab Jovi santai. Polisi itu tersenyum tipis dengan jemari yang saling bertautan.
"Bisa kalian tunjukkan bukti transaksi selama di sana?" tanya polisi dengan name tag 'Antony'. Tanpa menjawab, Brian beranjak ke kamar Jovi dan tak lama kembali dengan beberapa bukti transaksi saat mereka disana. Menyerahkannya pada polisi bernama Antony itu. Ia melihat dengan saksama, dan benar saja tanggal dan waktunya memang seperti yang mereka ucapkan.
"Untuk apa kalian berada di LA selama itu?" Kini seorang polwan berparas cantik yang bertanya.
"Kami hanya ingin bersenang-senang. Merayakan pergantian tahun juga berlibur," jawab Jovi masih dengan ucapan santai.
"Harus selama itu?" tanya Antony tak yakin.
"Memangnya kenapa? Biasanya Jovi dan teman-temannya berlibur lebih dari sebulan. Bukankah tak ada larangan? Lagi pula mereka bukan siswa SMA." Ibu berujar sedikit kesal. Bagaimana tidak? Seharusnya para polisi itu cukup puas dengan jawaban sang anak juga bukti transaksi yang sudah diberikan. Tapi mereka bahkan tetap mencurigai anaknya.
"Maaf, Bu."
"Pertanyaan terakhir. Kenapa sampai pelacak di ponsel pelaku ada di rumah ini," tanya Anna—polisi cantik.
"Saya bahkan tidak tahu jika ada benda seperti itu di rumah kami. Ayah dan ibu kembali dari Paris tanggal 05 Januari, pengurus rumah kami semua libur di tanggal 01 sampai 05 Januari. Rumah kami kosong, mungkin mereka sengaja untuk menghilangkan jejak," tutur Jovi.
Ke dua polisi itu mengangguk mengerti, merasa cukup dengan kesaksian mereka.
"Maaf, jika kami mengganggu waktu kalian semua." Berdiri, kemudian pamit pergi. Ayah dan ibu mengantar mereka hingga tak lagi terlihat.
"Kalian tidak melakukan hal-hal yang aneh selama berlibur, kan?" Ibu bertanya sedikit ragu.
"Apa ibu juga mencurigai kami? Sudahlah Bu, kami tidak mungkin melakukan hal-hal itu," ujar Jovi meyakinkan. Meski tak begitu yakin ayah dan ibu tetap percaya pada anaknya.
"Bu, nanti malam aku menginap lagi di rumah Erick." Hanya anggukan dan sedikit nasihat yang tentu tak bisa diabaikan begitu saja.
***
Ruang petak itu nampak sepi, bahkan tak ada yang berceloteh ringan hari ini. Buku bertumpuk rapi diatas meja, beberapa kertas tergeletak di atas sofa. Itu menandakan masih ada penghuni rumah.
"Rey! Kau kemanakan kemeja putihku." Terdengar suara keras dari dalam kamar 1.
"Mana aku tahu," sahut satu temannya yang berada di kamar lain.
"kau pasti memakainya," ujar Edward setengah berteriak.
"Mana pernah. Lagi pula, semua bajumu tak mungkin bisa kupakai. Bajumu bisa muat untuk dua orang sepertiku," balas Rey. Edward terdiam, sepertinya dia tersinggung karena ucapan temannya yang terlalu benar.
"Edd, kau tidak marah?" tanya Dandi sedikit hati-hati. Tak ada jawaban membuatnya penasaran dan keluar menuju kamar 1. Beberapa saat mengetuk pintu, akhirnya lelaki gempal itu keluar.
"Sudah ketemu?" tanya Rey, lelaki itu hanya meliriknya sekilas sebelum menjatuhkan diri di sofa.
"Orang tuamu, dua hari yang lalu menemuiku." mendengar itu Edward menatap lurus sahabat yang juga duduk di sofa depannya.
"Apa yang mereka katakan?" tanya Edward antusias.
"Kau ...."
"Apa yang kalian lakukan?" Belum sempat Rey menjawab pertanyaan Edward, dua orang yang baru saja membuka pintu masuk mengalihkan fokus mereka.
"Kalian terlihat tegang." Brian berujar sembari menatap berkeliling ruangan yang hanya menampakkan mereka berdua.
"Tegang? Siapa? Lagi pula kenapa kalian pulang cepat sekali. Bukankah baru semalam?" Giliran Edward bertanya.
"Kenapa kalau kami pulang lebih cepat?" tanya Jovi yang kini duduk di samping Rey. Meski tak tahu apa yang akan menjadi jawaban Edward, toh mereka tidak begitu peduli.
Jovi beranjak dari duduknya masuk ke dalam kamar dan mendapati lemari bajunya terbuka.
"Rey, siapa yang membuka lemari bajuku!" ujarnya sedikit keras.
"Aku! Aku pikir kau mencuri bajuku!" sahut Edward tak kalah keras.
"Tak mungkin ada yang mau pakai bajumu, Dut," celetuk Brian yang sudah di sibukkan dengan kopi hitamnya. Edward hanya bisa merengut kesal.
***
Beberapa pria bersetelan jas hitam itu terlihat sibuk di sekitar gedung presiden. Mereka sedikit kecolongan. Ya, seseorang sepertinya mengintip sedikit dokumen rahasia yang bahkan belum di bahas dalam rapat.
Para petugas kepolisian juga terlihat keluar dari gedung megah itu. Dengan raut wajah yang tampak tak puas, pasalnya mereka kehilangan jejak sang heacker sebelum mereka menyelusurinya.
"Sepertinya dia bukan orang biasa. Seluruh CCTV tak berfungsi selama dia menjalankan tugasnya," tutur salah seorang penjaga keamanan gedung.
"Aneh," sahut seorang wanita dengan setelan kemeja putih dan paduan rok span berwarna hitam.
Selama ini tak ada yang bisa menembus ruang keamanan yang terjaga begitu ketat. Hanya saja kali ini, benar-benar tidak terpikir bisa kecolongan.
"Kumpulkan semua anggota dewan, kita rapat sore ini." Mereka menurut tanpa bantahan.
Sementara sedikit jauh dari gedung megah itu, seorang pemuda mengintai dengan teropong kecilnya. Senyum menyeringai tak lepas dari wajah tampannya. Puas dengan apa yang di lihat, ia beranjak pergi dari tempatnya.
***
"Tak ada sama sekali." Lelaki dengan kaos putih terlihat frustrasi. Ia menyandarkan punggungnya di sandaran sofa dan terlihat sedang memikirkan sesuatu. Di belakangnya melintas lelaki gempal dengan beberapa kertas di tangannya.
"Ndut, kau tidak jadi pergi ke Dubai?" Tanya Brian yang kemudian menegakkan punggungnya dan menatap Edward lurus.
Edward menggeleng, "Mereka bisa melakukannya sendiri."
"Kau mengesampingkan mereka lagi?" kali ini Jovi bertanya sedikit tak percaya.
"Memangnya kenapa? Aku rasa di sini lebih penting. Aku dengar Erick berhasil," ucapnya kini serius. Jelas saja itu membuat ke dua temannya ikut serius. Ya, bagaimana pun lelaki yang sedikit tertutup itu begitu mereka pedulikan. Ada beberapa alasan kenapa mereka ada di sini bersama lelaki yang mereka tahu bukanlah seseorang yang bisa di katakan 'baik'.
Suara pintu terbuka mengalihkan fokus mereka bertiga ke arah dua orang yang kini berjalan perlahan ke arah mereka.
"Apa yang kalian lihat?" tanya Arthur sembari menjatuhkan diri di samping Brian. Sementara Erick memasuki kamarnya tanpa mengatakan sepetah kata pun. Tak ada yang mempermasalahkannya. Toh tak ada gunanya memunculkan masalah yang akan merugikan diri mereka sendiri.
"Tidak ada yang serius?" tanya Jovi sedikit berbisik. Arthur hanya mengedikkan bahunya dengan tatapannya tertuju pada pintu kamar Erick yang tertutup.
Yang lain hanya bisa pasrah. Bagaimana pun mereka tidak bisa memaksa ke duanya bercerita. Ada dinding tinggi yang mustahil mereka panjat, meski jaraknya hanya sekian cm. Ke empat orang itu hanya bisa melaksanakah tugas dan menunggu hasilnya, tak lebih.
***
Hari berlalu, keadaan gedung presiden kali ini mulai kondusif. Toh, aturan dalam file yang bocor tidak ada keharusan untuk diberlakukan. Itu hanya rancangan yang juga belum pasti akan di terima dan disahkan atau tidak.
"Saya akan lebih teliti dalam menangani kasus ini." Anna, polwan berusia dua puluh tujuh tahun itu berujar dan membuat kepala polisi tersenyum tipis. Wanita itu memang tak pernah main-main dengan ucapannya. Bahkan beberapa tahun lalu ia dan timnya berhasil menggagalkan percobaan pembunuhan salah satu menteri.
"Saya percaya dengan apa yang menjadi tujuan utamamu. Berhati-hatilah, karena mereka komplotan yang membunuh dengan begitu rapi," ujar kepala polisi itu menasihati. Anna mengangguk tanpa ragu.
"Saya tidak akan mengecewakan anda, Pak. Beri kami sedikit lagi waktu. Saya ...."
"Lakukan semaksimal mungkin. Masalah waktu tak akan jadi persoalan selama kau berusaha," potong pria berseragam itu. Sekali lagi, tak ada yang meragukan kemampuan wanita itu.
**
Erick menatap bangunan rumah sakit bercat hijau dan merah itu dari kejauhan. Ada rasa sakit dari tatapan dinginnya. Juga gurat rindu terbersit, meski tertutup rasa benci. Ya, masa lalu memang kerap mengganggu, terlebih masa yang membuatnya terpuruk. Masa dimana kenangan indah itu terenggut. Memaksanya mengubur dalam arti sebuah bahagia. Lelaki bernama lengkap Zullio Hedrick itu memang tak banyak di kenal khalayak umum. Dia hanya seorang mahasiswa fakultas hukum, sesekali ia terlihat bekerja di sebuah kafe yang tak jauh dari kampusnya.
Pemuda jangkung yang terkenal akan tatapan dingin dan tak peduli pada siapa pun, membuatnya mampu menghipnotis sebagian besar para gadis kampusnya. Pasalnya, begitu sulit hanya untuk sekedar mendengar kata sapaan darinya. Namun itu justru membuat daya tariknya melonjak.
"Lakukan semaumu, aku tidak akan menyerah denganmu," tutur gadis manis berambut pirang sebahu pada Erick tempo hari. Tak ada sahutan apa pun, hanya tatapan dingin dan tanpa kata pergi dari hadapan gadis itu.
"Heii! Kau butuh seorang gadis untuk mengobrol." Arthur pun turut menyarankan.
"Untuk apa? Dia hanya akan menjadi penghalang semua usahaku," cetus Erick tanpa sadar membuat Arthur menggeleng pasrah. Kecewa tidak, hanya saja ia begitu prihatin pada temannya itu. Ia memang tidak tahu betul apa alasan sebenarnya yang membuat lelaki tampan itu begitu terobsesi akan sebuah pembunuhan. Arthur hanya tahu, Erick sangat membenci para petinggi yang berdalih menyejahterakan rakyat dengan sebuah jabatan.
Lama waktu berselang, akhirnya pemuda jangkung itu pergi dari tempatnya berdiri. Bertemu ke lima temannya adalah tujuan utama.
**
"Kita tetap harus mengawasi kediaman lelaki bernama Jovi itu. Jangan sampai lengah," ujar sang polisi cantik dengan setelan kasual yang menambah kesan cantik juga tegas.
"Baik! Saya dan Andre akan selalu mengawasi rumahnya." polisi bertubuh besar itu keluar bersama temannya yang bernama Andre. Anna—polisi cantik—mengetuk-ngetuk meja di depannya gusar. Entah apa yang ia khawatirkan, hanya saja sesuatu itu amat penting baginya.
Dering ponsel membuyarkan lamunannya. Buru-buru ia meraih ponselnya yang tergeletak di pinggir meja dan melihat siapa yang menghubunginya. Tertulis nama 'Si Bunglon' di sana.
"Bagaimana?" Tanya Anna tanpa basa basi.
" .... "
"Baiklah, aku tunggu informasi selanjutnya. Segera beri kabar jika sudah ada keputusan."
" .... "
Gadis cantik itu memutuskan panggilan dengan wajah sedikit lega namun dipenuhi rasa kebencian.
"Kau tunggu saja. Aku tidak akan pernah melepaskanmu," geram Anna.
***
"Kak Brian, buatkan aku satu," ucap Arthur dengan sedikit nada manja. Brian mengerling malas, selalu saja begitu jika menginginkan sesuatu. Meski sedikit kesal, lelaki penggila kopi hitam itu tetap membuatkan satu gelas untuk Arthur.
"Erick kapan pulang? Lama sekali." Jovi mulai merengek jika lelaki dingin itu tak pulang tepat waktu. Khawatir, mungkin. Tapi wajar, siapa yang tidak khawatir padanya. Setiap kali masalah selalu hadir, dia tak pernah memberitahukannya pada yang lain. Mereka hanya menunggu perintah atas rencana yang dibuatnya tanpa ingin bertanya apa yang sebenarnya terjadi.
"Kau merindukannya?" tanya Brian sembari menyodorkan kopi pada Arthur yang langsung di sambarnya. Jovi mengangguk tanpa ragu.
"Sebentar lagi dia datang," ucap Rey yang datang dari kamarnya dengan tumpukan buku tebal.
"Apa yang akan kau lakukan dengan buku-buku tebal itu?" tanya Arthur sekaligus mewakili keheranan dua temannya.
"Tugas malam," ujar lelaki bertubuh mungil itu dengan cengiran khasnya.
"Kau sudah siap dengan tugas malam?"
"Erick." Jovi hampir berteriak kegirangan. Lagi, lelaki itu hanya meliriknya sekilas dan kemudian menatap Rey yang mengangkat tangannya yang membentuk huruf V dengan dua jarinya, tak lupa cengirannya.
"Aku pikir kau akan pulang besok." Arthur menggeser pantatnya, membiarkan Erick duduk. Wajah itu, mereka semua tahu akan ada hal serius yang akan dibicarakan pemuda itu. Jari tangannya saling bertautan menandakan ada hal besar.
"Malam ini, kita mulai tugas besar." Mendengar itu, semuanya hening. Bahkan lelaki gempal yang baru keluar dari kamarnya ikut terdiam di belakang Arthur.
"Edd, kau sudah mendapat celahnya?" tanya Erick sedikit melirik Edward.
"Sudah. Aku dan Rey sudah siap dengan tugas kami," sahut Edward kemudian bergerak mendekati Jovi.
"Bagus. Aku dan Arthur akan masuk gedung presiden. Sementara kalian berdua berjaga di sekitar pintu masuk," jelas Erick yang langsung disetujui rekan-rekannya.
"Kita akan lakukan tepat jam 12 malam," lanjutnya.
Setelah menyampaikan apa yang sudah ia rencanakan, lelaki itu masuk ke dalam kamarnya. Arthur menatap pintu kamar yang sudah tertutup rapat itu dengan tatapan nanar. Entah apa yang dipikirkannya, hanya saja ada satu kekhawatiran yang selalu ia rasakan saat melihat wajah itu.
Di kamarnya, Erick merebahkan tubuh lelahnya di kasur yang hanya cukup untuk dirinya sendiri. Ia menerawang ke langit-langit kamar. Terlihat bayangan seorang wanita cantik dengan senyum hangatnya. Wanita yang selalu ada dalam lintasan memori yang tak mau pergi. Bayangan itu semakin nyata saat kedua matanya terpejam.
"Zul, ibu tidak pernah membenci apa yang terjadi pada keluarga kita. Ibu ingin ...."
Erick membuka matanya tiba-tiba, tak ingin mendengar hal yang paling ia benci.
"Tidak, Bu. Kali ini aku tidak akan mendengarkanmu," bisiknya lirih. Erick berbalik, menatap tas ransel berwarna hitam milik Arthur. Entah apa yang membuatnya tertarik meletakkan tatapannya disana.
Waktu berlalu dengan cepat. Ke enam lelaki itu siap dengan tugas mereka masing-masing. Bahkan Edward sudah menjejerkan komputer di meja untuk memantau, begitu pun juga dengan Rey yang siap dengan berbagai kertas di depannya.
"Kau benar-benar akan melakukannya?" tanya Arthur, lelaki itu menatap Erick serius.
"Alasan apa yang membuatku tidak serius dengan semua skenario yang selama ini kubuat! Kau pikir ...."
"Sudahlah, kita hanya perlu menjalankannya dan saling percaya. Bukankah kita punya tujuan yang sama?" Brian mencoba menjadi penengah.
"Eumm, lagi pula kita sudah setengah jalan tidak baik jika kita berhenti." Tersenyum dan selalu mencoba berpikir bawa apa yang dilakukannya itu baik, begitulah cara terbaik Jovi untuk bertahan. Mau tak mau Arthur ikut dan berusaha meyakinkan diri jika semuanya akan berjalan lancar.
Setelah mereka—kecuali Edward dan Rey—keluar dan kini berada di depan pintu masuk gedung presiden. Para penjaga begitu ketat kali ini. Tentu saja, mereka tidak ingin kejadian beberapa hari yang lalu terulang kembali. Meski begitu, tak ada rasa takut di benak Erick.
"Brian, Jovi, kalian lakukan tugas kalian disini. Aku akan masuk ke dalam bersama Arthur." Perintah Erick dengan suara sedikit pelan. Mereka mengangguk mengerti.
"Tidak bisakah kali ini ...."
TBC....

Book Comment (789)

  • avatar
    MaulidhahRizqi

    novelnya seru dan gak membosankan satu lagi selalu buat penasaran untuk terus membaca

    22/12/2021

      1
  • avatar
    Annur Hasni

    Verry good

    29/06

      0
  • avatar
    absadieveland

    👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻

    26/06

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters