logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 23 Canggung

Gabriella dapat merasakan Max hampir tiba. Semakin dekat jarak mereka, semakin erat pula ia mengepalkan tangan. Pipinya yang merona sedikit lagi menyamai tomat.
Tepat sebelum sang pria memagut bibirnya, bunyi ketukan pintu mengalihkan perhatian. Gabriella dapat mendengar dengus kecil dari hadapannya. Saat itulah, ia baru bisa kembali bernapas dan membuka mata.
“Ya?” Max menatap ke arah pintu dengan alis terangkat tak senang.
“Maaf, Tuan. Sekretaris Anda menunggu di pos penjaga. Dia bersikeras ingin masuk menemui Tuan,” seru seorang pelayan dari balik pintu.
“Katakan saja kalau aku sedang memberlakukan protokol lima!”
“Dia tetap memaksa, Tuan."
Embusan napas cepat langsung terdengar. “Tolong sampaikan kepadanya untuk menghubungiku via telepon!” Usai memberi perintah, Max meraih ponsel dan mengaktifkannya.
Mengetahui kekesalan sang suami, Gabriella tidak berani berkutik. Sesekali, ia memeriksa ekspresi Max lewat ekor matanya.
“Apakah aku boleh pergi sekarang?” tanyanya hati-hati.
“Urusan kita belum selesai,” sahut Max dengan tatapan terkunci pada ponsel. Sebelah tangannya tetap bertengger pada lekuk pinggang sang istri.
Gabriella kini menggigit bibir dan terdiam. Tangannya saling meremas dengan gusar.
“Apakah aku langsung berlari saja ke kamar lalu mengunci pintu hingga pagi? Tapi, bagaimana kalau dia membukanya dengan kunci serep? Haruskah aku menghalangi pintu dengan kursi?”
“Max, apa yang kau lakukan di dalam sana? Apa kau lupa bahwa hari ini batas waktu yang diberikan oleh ayahmu?” Suara Sebastian mengejutkan Gabriella. Sang suami ternyata memasang mode loudspeaker.
“Tentu saja aku tidak lupa,” sahut Max sembari meletakkan ponsel di atas meja sehingga tangannya dapat memanjakan sang istri dengan bebas.
“Lalu, kenapa kau tidak kunjung memberi solusi dan malah mengurung diri di istanamu?”
Max menyunggingkan senyum kecil sembari menatap istrinya yang terus mengerutkan alis.
“Ada hal yang lebih penting menuntutku untuk tetap di rumah.”
“Jangan bilang kau sudah tidak peduli dengan jabatanmu. Sadarlah, Max!”
“Aku sepenuhnya sadar, Bas. Jangan khawatir!” Tangan sang pria kini membelai rambut Gabriella dengan lembut.
“Lalu, apa yang akan kau lakukan dengan rapat dewan direksi besok? Apa kau tidak mau melakukan sesuatu?”
Max menghela napas panjang lalu mengalihkan tatapan ke ponsel.
“Aku masih memikirkannya. Sudahlah, Bas, jangan mengganggu waktu santaiku. Berhentilah menunggu di situ! Pagar rumahku tidak akan terbuka untukmu.”
“Kau benar-benar—“
Max menekan tombol merah tanpa sedikit pun rasa bersalah. Sedetik kemudian, pandangannya berpaling ke arah wanita yang masih di atas pangkuannya.
“Jadi, kau mau melakukannya di sini atau di kamar?” tanya sang pria menerbitkan ketegangan yang sempat tenggelam.
“Eh?”
“Mau melakukannya di sini? Baiklah!”
Begitu Max mengeratkan dekapan, tangan Gabriella spontan menahan dada bidangnya.
“Aku mau berlatih presentasi saja!” seru gadis itu cepat. Sebelah alis sang suami langsung terangkat ringan.
“Jadi, kau lebih memilih tugas itu ketimbang melayaniku?” tanya Max dengan nada mengintimidasi.
Gabriella spontan menelan ludah dan berkedip-kedip canggung. “Ya.”
Sedetik kemudian, sang pria mengerutkan alis seperti sedang berpikir. Selang beberapa saat, ia pun mengangguk memberi persetujuan.
“Kalau begitu, kau harus mempelajari slide presentasi ini.”
Selagi Max mengulurkan tangan untuk mengambil ponsel, Gabriella menurunkan kaki ke lantai. Namun, belum sempat ia menapak, sang suami sudah kembali menaikkan kakinya.
“Kau mau ke mana?” selidik Max dengan nada heran.
“Pindah ke kursiku. Bukankah kau menyuruhku untuk mempelajari slide?”
“Tapi, aku tidak menyuruhmu pindah. Perhatikan ini!” Max memperlihatkan ponselnya kepada perempuan yang menghela napas pasrah.
“Apakah aku tidak boleh mempelajari slide ini dengan cara yang normal? Kakimu bisa pegal kalau terlalu lama menopang beratku,” gerutu Gabriella dengan kerut alis memohon iba. Akan tetapi, sang suami hanya menggeleng samar.
“Jangan cerewet! Sekarang, simak penjelasanku baik-baik! Jangan sampai kau hanya mematung di hadapan dewan direksi besok.”
Dengan bibir mengerucut, Gabriella mendengarkan semua perkataan sang CEO. Dirinya tidak mempunyai pilihan lain. Ia tidak mungkin mempermalukan diri sendiri di hadapan banyak orang.
***
“Apakah maketnya sudah selesai dibuat?” tanya Gabriella seraya menghampiri miniatur bangunan di hadapan Max. Pria yang baru saja merekatkan hiasan pohon pun menegakkan badan dan menoleh.
“Sudah. Bagaimana denganmu?”
Wanita dengan mata sayu itu mengangguk lemah. “Aku sudah mengulangi materi sebanyak sepuluh kali. Seharusnya, itu sudah melekat dalam otakku.”
“Bagus! Kalau begitu, istirahatlah! Aku masih harus menyimpan maket ini.”
Tanpa banyak bicara, Gabriella pergi menuju kamar. Setelah mengambil boneka kesayangannya, perempuan itu naik ke ranjang dan tertidur.
Beberapa menit kemudian, Max menyusul dengan tampang serius. Pikirannya masih tertuju pada misi rahasia besok. Terlalu banyak kekhawatiran yang membebani otaknya.
Akan tetapi, begitu melihat wanita cantik berbaring miring di atas ranjang, ketegangan sontak mengendur. Dalam hitungan detik, pria itu sudah berdiri di sisi istrinya.
“Cih, apa enaknya tidur memeluk boneka seperti itu?” batin Max seraya mendengus samar. Entah mengapa, ia tidak terima melihat wajah damai sang istri.
“Padahal, tidur dalam pelukanku tentu jauh lebih nyaman,” gumamnya sebelum menggeleng-geleng kesal.
Selang satu kedipan, Max tiba-tiba bergeming. Ia baru saja mendeteksi kecemburuan dalam hatinya.
“Tunggu dulu! Apa yang kupikirkan ini? Ah, otakku sudah mulai terganggu lagi. Pasti karena terlalu banyak tekanan akhir-akhir ini.”
Sambil merenungkan keanehannya, pria itu meletakkan ponsel di atas meja lalu pergi ke kamar mandi. Namun, hingga dirinya selesai membasuh wajah, keheranan itu masih enggan pergi.
“Tapi, tindakanku di ruang kerja tadi juga tidak wajar,” gumamnya ketika naik ke ranjang.
Sorot mata penuh curiga kini dilayangkan kepada Gabriella yang berbaring membelakanginya.
“Pasti ada yang salah dengan perempuan ini. Kenapa aku sering teralihkan setiap berada di dekatnya? Dia pasti menggunakan sihir.”
Setelah memperhatikan punggung sang istri sesaat, pandangan Max beralih menuju ponselnya. Tanpa membuang waktu, ia mengulurkan tangan, mencoba menggapai meja di sisi Gabriella.
“Aku lebih baik menyempurnakan rencana untuk besok.”
Ketika tangannya hampir meraih ponsel, Gabriella tiba-tiba mengubah posisi menjadi telentang. Max pun terbelalak dan spontan memindahkan tumpuan hingga kepalanya berada tepat di atas wajah sang istri.
“Gawat!”
Max tidak sadar jika pupil matanya telah melebar. Yang ia perhatikan hanyalah detak jantung yang lebih cepat dari biasanya dan darah yang berdesir aneh dalam nadi.
Selama beberapa detik, pria itu tidak berani bernapas dan terus memandangi perempuan di bawahnya. Bayangan tentang malam ia berkuasa pun otomatis terputar, memancing gairah untuk bangkit dari peristirahatan.
“Sial! Kenapa bibirnya begitu menggoda?”
Max menelan ludah dan perlahan-lahan menggerakkan tangan menuju pipi sang gadis. Namun, begitu ia hampir mendaratkan kecupan, pelupuk lebar Gabriella tiba-tiba terangkat. Letupan kecil dalam dadanya sontak menebar keterkejutan.
“Apa yang kau lakukan?” tanya wanita dengan mata yang membulat. Rasa kantuk telah hilang dalam sekejap.
“Aku ... mau mengambil ponsel,” sahut Max sembari bergegas meraih benda yang tadi gagal didapat. Sambil menyamarkan kecanggungan, ia duduk dengan mata dipaksa melekat pada layar.
Sementara itu, Gabriella terus menatapnya curiga. Boneka di dadanya kini didekap lebih erat.
“K-kenapa kau belum tidur?” tanyanya dengan pita suara seakan terjepit. Max pun melirik sekilas.
“Masih ada yang harus kukerjakan,” jawab pria yang sebenarnya hanya menggeser-geser layar.
Sedetik kemudian, keheningan membekukan udara. Max diam-diam memeriksa pergerakan sang istri, sementara Gabriella terus mengawasi jaraknya dengan sang suami. Jika pria itu tiba-tiba menyerang, ia sudah siap melawan.
“Kenapa? Apa kau berpikir aku akan menyergapmu?” tanya Max tiba-tiba. Sang wanita sontak mengerjap.
“T-tidak. Bukankah kau bilang kalau aku bukan seleramu? Kau pasti tidak akan tergoda meskipun aku tidak mengenakan baju,” timpal Gabriella asal. Ia tidak tahu bahwa ucapannya itu terdengar seperti sindiran bagi Max.
“Ya, tentu saja aku tidak akan tergoda,” ucap sang pria membohongi diri sendiri. “Lalu, apakah karena itu kau kecewa?”
Alis sang wanita spontan melengkung tak setuju. “Kenapa aku kecewa?”
“Kau terdengar kecewa. Apakah kau sedih karena suamimu tidak tertarik untuk melewati malam pertama bersamamu?”
Mata Gabriella seketika membulat. “Benar, ini malam pertama kami,” batinnya sebelum menelan ludah.
“Tentu saja tidak. Aku malah senang kalau kita tidak melakukannya,” jawab wanita itu lantang.
Sedetik kemudian, Max memutar posisi menghadapnya. Gabriella pun refleks beranjak duduk dan mendekap Snowy lebih erat.
“Apa kau lupa? Kita sudah pernah melakukannya,” tutur sang pria sukses membuat pipi istrinya bersemu merah.
“Kenapa kau mengungkit tentang itu lagi?” tanya Gabriella seraya melirik ke arah lain.
“Aku menyesal melakukan hal itu kepadamu. Bukannya mendapatkan kesenangan, aku malah mendapat musibah. Aku hanya ingin kau mengetahui hal itu. Jadi, jangan berpikir macam-macam tentangku.”
Sambil mengerucutkan bibir, Gabriella memutar bola mata, mencemooh perkataan suaminya di dalam hati.
“Apa kau mengerti?” tanya Max seraya merapatkan jaraknya dengan sang istri. Wanita itu spontan mengangkat kedua tangan berjaga-jaga.
“Ya, ya, aku mengerti. Tidak usah mengagetiku begitu!” sahut Gabriella kesal.
Senyum miring langsung tersungging di wajah sang pria. “Ternyata, kau diam-diam mengharapkanku, hm? Jika tidak, tidak mungkin kau gugup begini.”
Bibir sang wanita kini bergetar melebihi kedipan matanya. “Siapa yang gugup? Tidak ada!”
“Kau gugup!” Telunjuk Max meruncing hampir bertemu dengan ujung hidung sang istri.
“Tidak!” Gabriella spontan menurunkan tangan yang menuduhnya. Begitu ia tersadar, tangannya sedang menggenggam telunjuk sang suami.

Book Comment (242)

  • avatar
    Katrin Chaka Khan

    bagus banget aku suka aku suka... lanjut terus y semoga karyanya semakin banyak lagi...

    26/01/2022

      2
  • avatar
    Susan Utami

    Cerita yg bagus,,, menarik, gak bosan,,happy ending,, the best author good job 👍👍😊

    22/12/2021

      5
  • avatar
    DiasAna

    maravilha

    27d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters