logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 22 Lakukan Tugasmu, Istriku

Gabriella tidak pernah membayangkan dirinya akan menikah dengan seorang pria kaya nan rupawan. Seumur hidup, ia hanya mengenal piano dan partitur. Tidak sedetik pun gadis itu memikirkan persoalan cinta. Namun, sekarang, ia termenung menatap cincin berlian yang melingkar di jari manisnya.
“Aku benar-benar menikah?” batinnya tak percaya. Sedetik kemudian, ia menelan ludah, membasahi kerongkongannya yang mendadak gersang.
“Gabriella?”
Perempuan itu perlahan menegakkan kepala, menghadap wajah tampan yang memanggilnya.
“Dan, laki-laki yang bahkan belum kukenal ini adalah suamiku?” Sang pengantin menarik napas panjang, membebaskan rongga dadanya dari sesak. “Apakah keputusanku ini tepat?”
“Gabriella,” panggil Max seraya memberi sentakan kecil pada jemari yang digenggamnya. Sang wanita akhirnya mengerjap.
“Ya?”
Sang pria memberi sinyal lewat lirikan mata. Gabriella pun mengikuti arah pandangnya yang berakhir pada sebuah cincin dalam kotak.
“Ah, maaf,” desahnya sembari mengambil benda berkilau tersebut. Sedetik kemudian, jemari gemetarnya mulai berusaha memasangkan cincin.
“Apa kau kesulitan?” bisik Max yang memperhatikan kerut alis pengantinnya.
“Aku pasti bisa,” gumam Gabriella sebelum menyunggingkan sekilas senyuman.
Selang beberapa detik, cincin pun terpasang di jari manis sang pria. Max kini tersenyum dan menggamit kedua tangan istrinya.
“Apakah aku boleh menciummu?” bisiknya tak terdengar seperti orang yang sedang bersandiwara.
“Ya,” sahut Gabriella kaku. Sebisa mungkin, ia menekan gejolak aneh yang mendesak pita suaranya.
Melihat Max mulai memangkas jarak, jantung sang wanita mendadak berdetak lebih cepat.
“Aneh. Aku tidak mencintainya, tapi kenapa reaksiku seperti ini?”
Ketika sang pria membagikan kehangatan, mata Gabriella otomatis terpejam sementara napasnya tertahan. Tangannya terkepal tanpa perlu diberi aba-aba.
“Ciuman ini hanya formalitas belaka,” batin si wanita mengingatkan hati. “Ini sama sekali tidak memiliki arti.”
Untuk pertama kalinya, Gabriella menyambut bibir seorang pria. Sambil mengesampingkan kecurigaan dan kekhawatiran, ia mulai mendalami perannya sebagai pengantin.
***
“Kalau kau hanya mengundang pelayan dan sopirmu, kenapa kau membelikan aku gaun pengantin semahal ini?” tanya Gabriella saat ia sedang dalam perjalanan pulang bersama sang suami. Pria di sampingnya itu pun menoleh dan mengangkat sebelah alis.
“Apa kau kecewa karena pernikahan kita berlangsung sangat sederhana?”
“Seseorang yang tidak berharap tidak akan kecewa,” sanggah sang wanita seraya menggeleng samar. “Lagipula, gaun ini sangat jauh dari sederhana. Kau seharusnya membeli yang murah.”
“Aku tidak mungkin memajang foto pernikahan yang biasa-biasa saja, Nyonya Evans,” terang Max sukses membuat istrinya bungkam. “Dan, meskipun tamu yang hadir sedikit, kau harus tampil maksimal sebagai pendampingku.”
Kedipan Gabriella sontak menyiratkan kebingungan. “Aku benar-benar tidak mengerti. Sebenarnya, kau bermaksud menyembunyikan statusku atau tidak? Saat melihat tamu yang datang, kukira kau ingin merahasiakannya. Tapi, kau baru saja menyebutkan foto pernikahan.”
Tanpa terduga, Max malah mendesahkan tawa.
“Apa kau ingat pesan ancaman yang kutunjukkan kepadamu? Si peneror ingin membenturkan kepentingan kita dan mengharapkan kehadiranmu menjatuhkan nama baikku.”
Sang pria mengetuk-ngetuk telunjuk, menunggu wanita di sebelahnya mengangguk.
“Aku ingin membalikkan harapannya. Akan kubuat kau menjadi orang yang mengukuhkan nama baikku,” sambung Max tanpa sedikit pun keraguan.
“Bagaimana caranya?”
“Dengan menjadikanmu sebagai pencetus ide proyek rahasiaku. Ketika orang-orang mulai mengakui prospek gedung itu, barulah kita ungkapkan statusmu sebagai istriku. Bukankah itu kejutan besar bagi si peneror?”
Mulut Gabriella kini menganga mengumpulkan kata.
"Kau mengarang kebohongan untuk menaikkan namaku? Apa kau sudah gila? Aku sama sekali tidak mengerti tentang proyek pembangunan,” geleng Gabriella dengan kerut alis penuh kekhawatiran.
“Itu bukan suatu kebohongan. Aku memang mendapat ide itu darimu. Bukankah sudah kubilang kalau gedung baru itu merupakan pernikahan kita?”
Embusan napas samar spontan diiringi oleh tawa hambar. Sang wanita semakin tidak mengenal pria yang dinikahinya.
“Kau memang gila,” cetusnya tak habis pikir.
“Dan kau adalah istri dari seorang pria gila,” timpal Max sembari menaikkan sebelah sudut bibirnya.
Beberapa saat kemudian, tatapan sang pria berpaling ke luar jendela. Senyum tipis di wajahnya perlahan memudar.
“Kau tidak akan mengerti, Gabriella. Ketika karyamu sudah direbut orang lain dan tidak bisa diambil lagi, satu-satunya cara untuk bertahan adalah dengan membuat karya baru yang jauh lebih unggul. Dengan begitu, orang-orang akan tetap menyorotimu. Aku hanya menambahkan sedikit kejutan dalam karya baruku.”
***
Gabriella tiba-tiba meletakkan spidol dengan kasar. Matanya membulat dan terisi oleh kekesalan, sementara deru napas telah menemani ringisannya.
“Kau menyuruhku menginterupsi rapat dewan direksi dan mempresentasikan proyek barumu? Kau benar-benar tidak waras!”
Pria di sampingnya pun menggaruk pelipis sejenak sebelum mengerutkan alis.
“Kenapa? Bukankah kau sudah paham dengan gedung hybrid ini? Apa lagi yang kau takutkan?”
“Aku ini bukan siapa-siapa, Max. Mana mungkin aku melakukan presentasi sepenting itu? Tidak akan ada yang mendengarkanku.”
Sang CEO spontan mendengus cepat dan memiringkan kepala. “Apa kau lupa? Kau adalah Nyonya Evans. Jangan mempermalukan nama keluargaku!”
“Tapi, para dewan tidak tahu tentang hal itu. Bukankah kau belum mau mengungkapkan statusku?” sanggah Gabriella sambil menggelengkan kepala.
“Apakah anggapan orang lain lebih penting daripada penilaianmu terhadap dirimu sendiri? Kau sama sekali tidak percaya diri, rupanya. Pantas saja kau belum berhasil memenangkan kompetisi piano,” sindir Max sukses mengubah makna pada kerut alis istrinya. Percikan api dalam hati sang wanita sudah mulai membara.
“Kenapa kau meremehkanku? Presentasi itu tidak ada hubungannya dengan permainan pianoku.”
“Tentu saja ada. Keduanya sama-sama membutuhkan mental yang kuat. Apakah kau memilikinya?”
Gabriella menggigit bibir bawah dan termenung sesaat. Ia ingin membantah, tetapi apa yang dikatakan oleh suaminya memang benar.
“Tetap saja, itu bukan tanggung jawabku,” gerutunya sembari menunduk. Dugaannya benar. Max masih akan bertindak semena-mena meski mereka sudah menikah.
“Bukankah kau sudah sepakat untuk membantuku? Itu tanggung jawabmu. Ayolah, Gabriella. Lakukan tugasmu!”
Sang wanita memberanikan diri untuk menggeleng tegas. “Itu tugasmu sebagai CEO.”
Helaan napas lelah sontak terdengar dari sang pria. “Belum 24 jam kau menjadi istriku, kau sudah berani membantah.”
“Meskipun kau suamiku, kau tidak berhak mendesakku untuk menuruti semua keinginanmu. Lagipula, hal itu tidak berhubungan dengan peran seorang istri.”
Mata Max kini menyipit ke arah sang wanita. “Jadi, kau menolak presentasi karena itu bukan tugas seorang istri?”
“Tentu saja,” sambar Gabriella tanpa pikir panjang. Ia bahkan menaikkan alis agar tampak lebih garang.
Mendengar jawaban spontan itu, sudut bibir Max otomatis terangkat licik.
“Berarti, kau sudah siap melayani suamimu, hm? Kau tidak mungkin mengingkari tugas seorang istri, bukan?”
Lengkung alis Gabriella sontak menegang, sama seperti kedipan mata yang mendadak tertahan. Ia baru sadar bahwa dirinya sudah salah bicara.
“Kalau begitu, apa kita bisa mulai sekarang? Meskipun kau bukan seleraku, tubuhmu tetap tubuh seorang wanita. Kau memiliki fungsi yang bisa memuaskan seorang pria.”
Bibir Gabriella mulai bergetar mencari alasan. Namun, begitu Max menarik kursinya mendekat, otaknya sudah lebih dulu beku dan tak mampu lagi mengolah pikiran. Apalagi, ketika tangan sang pria mulai membelai rambutnya, seluruh perhatian Gabriella telah disita oleh pesona sang CEO.
“Kau mau kumulai dari mana?” pancing Max yang kesulitan menahan tawa. Bagaimana mungkin pipi sang istri sudah memerah hanya karena satu sentuhan?
“Haruskah aku mulai mengecup pipimu?” tanya sang pria seraya mengelus rona merah pada wajah Gabriella. Tangan perempuan itu seketika terkepal menahan ketegangan.
“Atau, bibir tebalmu ini?” Ibu jari Max kini bergerak menelusuri tekstur lembut yang baru ia nikmati tadi pagi.
Sang wanita tidak mampu lagi menatap suaminya. Ia kini tertunduk menyembunyikan rasa gugup yang hampir meledakkan jantungnya.
Merasa gemas dengan tingkah sang istri, Max membawa telapak tangannya menuruni leher Gabriella.
“Mungkin, aku bisa mulai dari favorit para pria.”
Tepat sebelum suaminya tiba di area terlarang, sang wanita berdiri dengan dua tangan terkepal erat.
“Kumohon, jangan mempermainkan aku! Kau jelas-jelas tidak tertarik padaku. Jadi, tidak ada gunanya kau mengintimidasi dengan cara seperti ini,” ucap Gabriella dengan suara bergetar. Ia tidak tahu bahwa wajahnya terlihat aneh karena diwarnai oleh berbagai rasa.
“Apa kau kira, suamimu ini tidak normal? Tentu saja aku tertarik pada wanita.”
“Sudahlah! Aku ke kamar saja! Tidak ada gunanya meladeni gurauanmu.”
Gabriella memutar badan hendak pergi. Namun, begitu kakinya baru melangkah, sang pria menarik pinggangnya. Hanya dalam sekejap, sang wanita telah duduk di pangkuan suaminya.
“Apa yang kau lakukan?” pekiknya dengan mata bulat sempurna.
“Aku tidak bisa membiarkan istriku melalaikan tugas.”
“Sudah kubilang, presentasi itu bukanlah tugasku,” timpal Gabriella seraya mencoba menurunkan kaki. Akan tetapi, tangan Max telah menahan lututnya agar tidak ke mana-mana.
“Kita sudah tidak membicarakan tentang presentasi lagi, Nyonya Evans,” bisik sang pria dengan nada rendah yang menggetarkan hati.
Tanpa sadar, sang wanita menelan ludah dan mulai mempercepat napasnya.
“Berhentilah bercanda! Biarkan aku pergi!” pinta Gabriella dengan suara tercekik. Ketegangan telah menekan keberaniannya.
“Ayolah, Istriku! Lakukan tugasmu! Aku penasaran. Seperti apa performamu saat tidak sedang mabuk.”
Degup jantung sang wanita sudah tidak terkendali. Naik turun dadanya semakin memperjelas rasa gugup, sementara bibirnya yang gemetar tidak sanggup berbicara lagi.
Perhatian Gabriella kini tertuju pada sentuhan yang berpindah dari pinggang menuju tengkuk. Ketika Max kembali menargetkan bibirnya, tidak ada yang mampu dilakukan, selain menutup mata dan menahan napas.

Book Comment (242)

  • avatar
    Katrin Chaka Khan

    bagus banget aku suka aku suka... lanjut terus y semoga karyanya semakin banyak lagi...

    26/01/2022

      2
  • avatar
    Susan Utami

    Cerita yg bagus,,, menarik, gak bosan,,happy ending,, the best author good job 👍👍😊

    22/12/2021

      5
  • avatar
    DiasAna

    maravilha

    27d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters