logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 20 Intimidasi

“Wah, Anda cantik sekali calon Nyonya Evans!” puji seorang desainer yang didatangkan khusus oleh Enchanted Bridal. “Semua gaun terlihat lebih bersinar di tubuh Anda.”
Gabriella hanya menaikkan sudut bibirnya tipis. Gaun yang dipenuhi butiran kristal itu merupakan gaun kesepuluh yang dicobanya.
“Jadi, apakah calon istriku sudah menemukan gaunnya?” tanya Max tiba-tiba masuk dan duduk di sofa. Tanpa menunggu perintah, sang pelayan menghampiri tuannya.
“Bukankah Anda berencana pergi sore ini, Tuan?” tanya Minnie dengan suara pelan.
“Urusanku sudah selesai. Sekarang, aku ingin melihat calon istriku,” ujarnya seraya tersenyum kepada Gabriella. Gadis yang melirik itu sontak mengalihkan pandangan.
“Dari semua gaun yang telah dicoba, kekasih Anda paling cocok mengenakan gaun ini, Tuan,” terang sang desainer seraya menarik Gabriella ke hadapan sang pria.
“Benarkah? Berputarlah!”
Setelah sempat ragu, sang gadis akhirnya berputar dengan kepala tertunduk.
“Tidak terlalu buruk,” komentar Max seraya melipat tangan dan mengelus dagu. “Gaun mana yang paling kau suka?”
Wajah sang gadis seketika terangkat mengikuti alisnya. “Eh? Semuanya bagus.”
“Kau ingin kubelikan semuanya?”
Telapak tangan Gabriella spontan melambai-lambai mengiringi gelengan kepala. “Tidak. Yang ini saja.”
“Oke. Kalau begitu, tolong urus pembayarannya, Bi.”
Usai menitipkan pesan, Max menyunggingkan senyum singkat dan melangkah pergi.
Tanpa sadar, Gabriella terus menatap punggung pria itu hingga menghilang dari pandangan.
“Apakah dia datang hanya untuk memilih gaun?” batin gadis yang tidak menyadari bahwa dirinya kecewa.
Sampai proses fitting selesai, Gabriella terus memikirkan reaksi Max saat mengomentari penampilannya tadi. Sesekali, ia menarik napas panjang. Namun, rasa sesak dalam dadanya tak juga hilang.
“Apa yang mengganggu pikiran Anda, Nona? Anda tampak murung,” selidik si kepala pelayan yang berjalan lambat mengimbangi langkahnya.
Sang gadis pun mengerjap dan memaksakan senyuman. “Tidak ada apa-apa, Bi.”
“Apakah karena perlakuan Tuan Max? Karena sikapnya yang dingin dan kasar kepada Anda?”
Gabriella hanya mampu menyembunyikan jawaban di balik senyumnya. Sedetik kemudian, Minnie meraih tangannya dan memberikan tatapan dalam.
“Saya tahu, Anda telah mengalami banyak kesulitan karena Tuan Max. Tapi, tolong jangan membencinya. Tuan Max itu sesungguhnya orang yang sangat baik, Nona.”
Alis Gabriella otomatis melukiskan rasa penasaran. “Kenapa Bibi bisa berkata begitu?”
“Saya sudah merawat Tuan Max sejak dia masih kecil, Nona. Jadi, saya tahu betul dia orang seperti apa. Anda tidak perlu khawatir menjadi istrinya.”
Gabriella masih terdiam. Ia tidak tahu harus menanggapi bagaimana.
“Sebenarnya, saya bersyukur karena Tuan Max memilih Anda. Saya sangat berharap kehadiran Nona bisa mengiburnya. Tuan Max sudah terlalu lama menanggung derita seorang diri.”
Kebingungan kini memiringkan kepala Gabriella. “Derita?”
“Ah, apa yang sudah saya katakan?” Minnie menepuk-nepuk bibirnya sendiri. “Maaf, Nona. Saya harus mengerjakan urusan lain. Permisi.”
Gabriella semakin tak mengerti dengan maksud sang pelayan. Sambil bertanya-tanya, ia berputar menghadap foto keluarga sang CEO.
“Apa yang membuatnya menderita? Dia terlihat baik-baik saja. Apakah yang dimaksud oleh Bibi itu masalah di perusahaannya?”
Selang satu kedipan, kepalanya menggeleng-geleng tegas.
“Kenapa aku mengkhawatirkan laki-laki itu? Dia bukan urusanku,” gumam Gabriella mengingatkan dirinya sendiri.
Sedetik kemudian, ia melangkah masuk ke kamar yang kemarin sangat ingin ditinggalkannya. Gadis itu belum sadar bahwa dirinya mulai bersimpati kepada sang CEO.
***
“Kenapa kau di sini? Apakah aku menyuruhmu untuk membantuku menjiplak pola hari ini?” tanya Max sukses membuat Gabriella melirik ke arahnya.
“Bukankah kau bilang ini bisa membantuku menghilangkan tremor?” sahut gadis itu dengan bibir mengerucut.
“Lalu, kenapa kau diam-diam mencuri pandang ke arahku? Apakah wajahku ini juga bisa menghilangkan getaran pada jemarimu?”
“Kapan aku melakukannya?” sanggah gadis yang membulatkan mata. Ia tidak ingin kebohongan tampak jelas di wajahnya.
Sang pria pun beranjak dari kursinya dan menghampiri si calon istri. Gadis itu mendadak ciut karena kehadirannya.
“Atau jangan-jangan, kau baru menyadari ketampananku?”
Gabriella sontak meringis. “Tolong jangan mengada-ada. Kau sangat jauh dari seleraku.”
“Benarkah? Memangnya, laki-laki seperti apa yang kau suka?” tanya Max seraya melipat tangan di depan dada. Dagunya yang terangkat seakan menyatakan tantangan.
“Yang jelas, bukan pria kasar dan semena-mena sepertimu,” celetuk sang gadis seraya memutar bola mata kembali menuju spidol.
Merasa kesal dan tak terima, Max pun membungkukkan badan, menyejajarkan pandangan dengan wajah calon istrinya. Kecanggungan seketika membekukan sang wanita.
“Kau tahu? Kau juga bukan seleraku,” bisiknya membuat bulu kuduk merinding. Gabriella hampir bergidik mendengarnya. Akan tetapi, gadis itu tak ingin menampakkan perasaan.
“Kalau begitu, batalkan saja pernikahan kita. Lagipula, besok itu terlalu mendesak,” gerutu sang gadis dengan bibir mengerucut.
Tak ingin kalah, Max menaikkan sebelah sudut bibirnya seolah menyindir. “Apa kau lupa? Alasanku menikahimu bukan karena selera.”
Si calon istri akhirnya terpancing untuk menyudutkan mata. Ketegangan dalam dirinya mulai digantikan oleh kedongkolan.
“Aku mana mungkin lupa? Kau sudah mengatakan itu belasan kali.”
Kepala Max pun mengangguk-angguk. “Bagus. Kau harus ingat bahwa pernikahan kita dibangun atas dasar rasa tanggung jawab.”
Sebelah alis Gabriella spontan berkerut. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan sikap calon suaminya itu.
“Apakah kau selalu memaksakan kehendak seperti ini?" celetuknya tanpa pikir panjang.
Kening sang pria sontak mengernyit. "Kenapa kau tiba-tiba menyimpulkan begitu?"
"Kau pasti sudah terbiasa menentukan semuanya sendiri. Lihat saja bagaimana kau menikahiku tanpa meminta restu dari orang tuamu.”
Jawaban Gabriella sukses mengundang desah napas takjub dari calon suaminya.
“Kau memikirkanku sejauh itu?”
Sang gadis pun berkedip kaku. Ia tidak mengira bahwa ucapannya bisa menjadi bumerang yang berbalik menyerang dirinya sendiri.
“Untuk apa aku memikirkanmu? Aku hanya mengatakan apa yang terlintas di otakku. Lagi pula, itu memang benar. Kalau kau meminta restu, pernikahan kita pasti tidak akan terwujud,” sanggah Gabriella sebelum menundukkan kepala. Ada sedikit rasa takut ketika ia berani jujur kepada sang pria.
Sedetik kemudian, dengus napas Max terdengar jelas. “Jadi, kau mengkhawatirkan calon mertuamu?”
Bola mata sang gadis bergerak-gerak tak tentu arah. Selang beberapa saat, ia akhirnya mengangguk mengakui kebenaran.
“Aku yakin, orang tuamu tidak akan menerimaku sebagai menantu.”
Melihat Gabriella tertunduk, Max malah mendesahkan senyum. “Kau sadar diri, rupanya.”
Sedetik kemudian, pria itu menarik kursi dan duduk di samping calon istrinya. Di situlah ia melanjutkan pekerjaan merakit maket baru.
“Apa kau ingat rumah-rumah kecil yang kemarin kita buat?” tanya Max tiba-tiba.
“Ya, di mana mereka sekarang?” Mata Gabriella mulai menyapu ruangan, tetapi gagal menemukan apa yang dicari.
“Sudah kusimpan di tempat yang aman. Tapi, bukan itu poinnya.”
Perhatian sang gadis pun kembali terpusat pada Max.
“Anggap saja, rumah kecil itu dirimu, lalu gedung tinggi kemarin itu aku. Menurutmu, apakah mereka berdua sebanding?”
Alis Gabriella kini melukiskan protes. “Apa kau sedang menghinaku?”
Alih-alih menjawab, Max malah melanjutkan penjelasan.
“Jika dilihat sekilas, gedung tinggi Quebracha memang lebih bernilai daripada rumah kecil itu. Tapi, ketika mereka digabungkan, menurutmu, apa anggapan orang-orang?”
Kernyitan dahi Gabriella seketika terurai. “Kau mau menyusun rumah-rumah itu menjadi gedung tinggi?” terka gadis yang tak bisa menyembunyikan kekaguman.
“Bisa dikatakan seperti itu. Jadi, menurutmu, apakah konsep rumah kecil itu bisa diremehkan?”
Helaan napas Gabriella langsung menjawab pertanyaan si calon suaminya. “Sebenarnya, apa yang ingin kau sampaikan kepadaku? Tolong jangan membuatku bingung.”
Setelah mengulum senyum sesaat, Max menatap gadisnya lekat-lekat. “Konsep gabungan itu adalah kita. Kalau kau sudah menjadi istriku, tidak ada seorang pun yang bisa meremehkanmu.”
Gabriella tertegun mendengar kata-kata itu. Namun, selang satu kedipan mata, ia mendesah samar. “Apa kau sedang merayuku?”
Ekspresi Max spontan berubah kaku.
“Untuk apa aku merayu gadis yang bukan seleraku? Aku hanya ingin menekankan bahwa ketika statusmu telah menjadi istriku, kau tidak perlu mengkhawatirkan apa pun. Aku akan bertindak sebagai suami yang baik.”
“Cih .... Kenapa kau berani berkata begitu? Padahal, kau sendiri belum berhasil memecahkan masalah perusahaanmu,” timpal perempuan yang lupa mengontrol bicara. Pria di hadapannya kini mengernyitkan dahi dan memiringkan kepala.
“Kau menguping pembicaraanku dengan Sebastian?” tuduhnya akurat.
Mulut Gabriella sontak ternganga tanpa kata. Setelah berkedip-kedip tegang, barulah gadis itu menyanggah, “Untuk apa aku mengurusi masalahmu? Sungguh tidak penting.”
“Lalu, dari mana kau tahu bahwa aku belum memecahkan masalahku?”
Bola mata sang gadis kembali bergerak-gerak mencari alasan.
“Itu tertulis jelas di wajahmu. Apa kau tidak sadar bahwa tampangmu sudah seperti orang stres?”
Tanpa terduga, Max memutar kursi Gabriella hingga menghadapnya. Lalu, ia beranjak dan memangkas jarak di antara mereka.
“Coba tunjukkan! Di sisi mana wajahku tampak seperti orang stres?”
Sang gadis seketika bergeming. Otaknya telah dibajak oleh ketampanan yang memenuhi pandangan. Ia sama sekali tidak sadar bahwa napasnya tertahan sementara jantungnya telah berdetak lebih cepat.

Book Comment (242)

  • avatar
    Katrin Chaka Khan

    bagus banget aku suka aku suka... lanjut terus y semoga karyanya semakin banyak lagi...

    26/01/2022

      2
  • avatar
    Susan Utami

    Cerita yg bagus,,, menarik, gak bosan,,happy ending,, the best author good job 👍👍😊

    22/12/2021

      5
  • avatar
    DiasAna

    maravilha

    27d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters