logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 18 Menepati Janji

“Tentu saja bukan,” sanggah Max dengan nada kesal.
“Lalu, beri aku pilihan lain. Bagaimana dengan memijat? Bukankah pundakmu sering pegal?”
Sang CEO mulai memutar bola mata. Selang beberapa saat, ia memberikan boneka beruang kutub itu kepada Gabriella. “Sekarang, tepati janjimu!”
Dalam sekejap, mata Gabriella berkaca-kaca memperhatikan pemberian orang tuanya. Setelah membelai boneka itu dengan lembut, ia memeluknya dengan mata terpejam. Setetes air mata mengalir saat ia menghela napas dari tenggorokannya yang mendadak gersang.
“Aku sangat merindukanmu,” gumamnya sukses menyentuh hati Max.
“Jadi, aku berhasil mengobati kerinduanmu?” tanya pria itu setengah berbisik.
“Ya,” desah Gabriella seraya menatap sang CEO setulus hati. “Terima kasih.”
Sebisa mungkin, Max menahan bibirnya agar tidak melengkung.
“Kalau begitu, pijat aku sekarang!”
“Ya,” angguk sang gadis sambil mendekap Snowy dengan erat.
Dengan langkah gembira, Gabriella mengikuti sang pria kembali ke kamar. Namun, begitu melihat Max menanggalkan kaos yang dikenakannya, senyum sang gadis mendadak pudar.
“Kenapa kau membuka bajumu?”
“Bukankah kau mau memijatku?”
“Ya, tapi ... kau tidak perlu buka baju,” ujar Gabriella sambil mengarahkan matanya ke dinding. Ia tidak ingin terhipnotis oleh pahatan sempurna di perut sang pria.
“Sudahlah, tidak usah protes. Gunakan minyak pijat yang berbotol hijau!”
Max sudah mengambil posisi tengkurap di atas ranjang.
Dengan gerak canggung, Gabriella meletakkan bonekanya di atas meja dan mengambil sebuah botol sebagai gantinya.
Namun, beberapa detik berlalu, sang gadis tidak kunjung naik ke kasur.
“Kenapa lama sekali?” periksa Max seraya menoleh.
“Aku kesulitan membuka ini.”
Gabriella ternyata sedang membungkuk menekan botol. Tangannya yang bergetar hebat masih belum berhasil memutar penutup.
“Sini!” Max kembali duduk dan mengulurkan tangan. “Apa kau yakin bisa memijat? Membuka tutup botol saja tidak bisa.”
“Minyak itu pasti sudah lama tidak digunakan. Karena itu botolnya sulit dibuka,” gumam Gabriella dengan bibir mengerucut.
“Jika aku tidak puas dengan pijatanmu, kau harus menerima hukuman,” imbuh sang pria seraya menyerahkan botol yang telah terbuka.
“Kenapa begitu? Sungguh tidak adil!”
“Kalau kau tidak mau menerima hukuman, lakukan tugasmu dengan benar.”
Sambil mengerucutkan bibir, Gabriella naik ke kasur. Ia pun mulai memijat dengan setengah hati.
“Apakah kekuatanmu hanya sebesar itu?”
Selang satu embusan napas, sang gadis menambah tenaga.
“Apa kau mau membunuhku?”
“Kau ini cerewet sekali!” gerutu Gabriella kesal.
Max spontan mengatupkan mulut mendengar kejengkelan si pemijat.
“Oke, silakan lanjutkan! Kalau aku tidak puas, kau tinggal kuberi hukuman.”
Sambil menggigit bibir bawahnya, Gabriella memberi pijatan ke seluruh punggung sang pria.
“Sudah!” seru gadis itu ketika tangannya mulai terasa pegal.
Tiba-tiba, Max berbalik dan menyodorkan lengannya kepada si pemijat. “Lanjutkan!”
Gabriella ingin sekali menolak, tetapi ia takut akan hukuman. Dirinya tidak punya pilihan lain selain menurut.
“Pria ini benar-benar tidak punya hati. Apa dia tidak tahu kalau tanganku sudah sakit?” batin gadis yang tak bisa lagi tersenyum. Bibirnya terkatup rapat menyembunyikan kekesalan.
Ketika Gabriella selesai memijat lengan kiri, sang CEO menyodorkan lengan kanannya, lalu berlanjut hingga ke kaki.
Ketika pijatan berakhir, tangan sang gadis tidak dapat merasakan apa-apa lagi.
“Ternyata, kau berbakat menjadi pemijat. Terima kasih, Nona,” ujar Max seraya mengenakan kaos. Gabriella hanya bisa tertunduk menyembunyikan air mata.
Tanpa banyak bicara, gadis itu turun dari ranjang. Ia mengambil Snowy lalu masuk ke kamar mandi. Selama beberapa menit, Gabriella tidak keluar dari sana.
"Apa yang dia lakukan selama ini?"
Setelah menduga-duga, Max akhirnya pergi ke kamar mandi.
Saat pria itu mengintip, matanya spontan melebar. Sang gadis ternyata sedang meringkuk di dalam bathtub memeluk bonekanya. 
“Dia lebih memilih tidur di kamar mandi dibandingkan di kasur?”
Tanpa menimbulkan suara, Max masuk menghampiri Gabriella.
Ketika ia hendak bertanya, sang gadis tiba-tiba menggerakkan tangan mengusap mata. Langkah Max seketika membeku dan napasnya tertahan.
“Kenapa dia jahat sekali? Padahal, dia bilang mau menebus kesalahan. Tapi, kenapa masih saja menyiksaku?”
Mendengar aduan Gabriella kepada Snowy, alis Max pun berkerut.
“Aku tidak menyiksanya,” batin pria itu tak mengerti.
Tiba-tiba, sang gadis mengangkat tangannya yang sangat merah ke depan mata. Saat ia mencoba menggerakkan jemari, getaran hebat mengejutkan sang CEO.
“Bagaimana aku bisa mengikuti kompetisi jika seperti ini? Apa yang harus kulakukan, Snowy? Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi kepadaku saat menjadi istrinya nanti.”
Jantung sang CEO seketika berdenyut. Ia tidak tahu bahwa Gabriella diam-diam menderita karena ulahnya.
“Dia pasti akan lebih bebas menyiksaku nanti,” gumam gadis yang terdengar putus asa.
Max tanpa sadar menghela napas samar. Dadanya ikut sesak mendengarkan kekhawatiran Gabriella. Setelah mengamati gadis itu sejenak, ia akhirnya menggeleng-geleng lalu menegakkan punggungnya.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Max sukses menghentikan isak tangis sang gadis.
Alih-alih menyahut, Gabriella malah memejamkan mata, berpura-pura tertidur. Akan tetapi, pundaknya yang sesekali terangkat tak mampu berbohong. Ia masih menangis.
Saat sang pria mendekat, tubuh gadis itu otomatis melengkung lebih kecil. Sekarang, bukan hanya tangannya saja yang bergetar, melainkan sekujur tubuhnya.
“Apa kau sakit?” tanya Max seraya menyentuh pundak gadis yang tak bisa lagi menahan kedongkolan.
“Aku sudah memijatmu dengan benar. Tolong jangan hukum aku! Aku mau tidur,” jawab Gabriella dengan suara yang menyayat hati.
“Aku tidak akan menghukum. Sekarang, kembalilah ke kamar,” ajak Max yang enggan melembutkan nada bicaranya. Ia takut jika kepeduliannya terdengar.
“Aku mau di sini saja.”
"Kau yakin?" tanya pria yang mengharapkan jawaban tidak. Namun, beberapa detik ia menunggu, sang gadis tetap bungkam.
Sadar bahwa Gabriella lebih memilih bak mandi ketimbang dirinya, sang pria spontan mengembuskan napas cepat. Tanpa bicara lagi, ia keluar lalu kembali dengan selimut dan bantal.
“Terserah kau saja! Tapi, kalau sampai kau sakit, jangan menyalahkan aku!” seru Max seraya menjatuhkan bawaannya.
Tanpa menunggu respon dari sang gadis, pria itu keluar seraya menggaruk kepala dengan kasar.
“Dasar gadis aneh,” umpatnya dalam hati, “bisanya hanya membuatku tak tenang.”
Malam itu, Max sama sekali tidak bisa memejamkan mata. Hati dan pikirannya terus tertuju pada Gabriella.
“Ck, ini tidak bisa dibiarkan lagi,” gumamnya sebelum mendesak kepalanya ke dalam bantal.
***
Keesokan harinya, Max mengajak Gabriella ke suatu tempat. Meski curiga, gadis itu tak punya keberanian untuk menolak. Ia hanya bisa menenangkan diri dengan melihat pemandangan di luar kaca jendela mobil yang terasa asing baginya.
Begitu mobil memasuki pekarangan rumah sakit, Gabriella termenung.
“Apakah dia mau menjual organ tubuhku?” gumamnya tanpa sadar. Pria di sampingnya pun menarik napas panjang dan berdeham.
“Buktikan kepatuhanmu kepadaku! Jalani prosedur pemeriksaan tanpa banyak bicara!”
“Pemeriksaan apa?”
“Tanganmu.” Setelah melirik ke arah Gabriella sekilas, Max turun dari mobil, meninggalkan gadis itu dengan beribu pertanyaan.
“Dia mau menyembuhkan tanganku? Apakah aku bisa percaya padanya?” batin Gabriella ragu.
Beberapa detik kemudian, pintu di sampingnya terbuka lebar. Sang CEO pun mengulurkan tangan untuk membantunya keluar.
“Ayo! Dokter sudah menunggu.”
Meski sempat ragu, sang gadis akhirnya menyambut tangan itu dan melangkah keluar. Banyak hal yang ingin ditanyakan, tetapi berakhir mengendap dalam benaknya. Tidak heran jika ia tampak tertekan sepanjang pemeriksaan.
“Gadis ini menderita tremor psikogenik, tremor yang disebabkan oleh gangguan kecemasan atau serangan panik,” terang seorang dokter wanita sambil mengetuk-ngetuk laporan medis milik Gabriella.
Pria yang mendengarkan spontan mengangkat alisnya.
“Gangguan kecemasan?”
“Ya, sepertinya dia baru saja mengalami sesuatu yang memicu tekanan besar dalam dirinya. Hal itu membuat otak melepas hormon stres dan tangannya menjadi bergetar.”
Max terdiam sesaat. Rasa bersalah dalam hatinya mulai menjalar menyesakkan dada.
“Lalu, bagaimana cara menghilangkan tremor itu, Dok?”
“Kuncinya adalah penyebab stres yang dialami pasien. Jika pasien bisa mengatasi tekanan itu dan menenangkan diri, tangannya akan berhenti bergetar. Opsi terakhir jika pasien tidak mampu menghilangkan traumanya adalah terapi. Tapi, menurut pengamatan saya, gadis ini belum membutuhkannya.”
“Jadi, saya harus membuat Gabriella mengatasi rasa takutnya?” gumam Max mencerna keterangan dari sang dokter. “Berapa lama penyakit ini bisa disembuhkan, Dok?”
“Ada yang berhasil sembuh dalam waktu satu tahun, enam bulan, atau bahkan satu bulan. Tergantung pada masing-masing individu.”
“Tidak bisakah tremornya hilang dalam waktu satu hari?”
Sang dokter mendesah. “Maaf, Tuan. Selama ini, belum pernah ada yang sembuh secepat itu. Bahkan, dengan terapi pun, hasilnya baru terlihat setelah tiga atau empat sesi.”
Sang pria tidak lagi bicara. Otaknya telah dipenuhi oleh rasa bersalah.
Ketika keluar dari ruang dokter, matanya langsung tertuju pada gadis yang duduk di kursi tunggu. Melihat jemari yang tak bisa berhenti bergetar di atas pangkuan, hati Max seketika berdenyut aneh. Ada lubang besar yang mendesak untuk ditambal.
“Gabriella,” panggilnya lembut. Sang gadis pun menoleh dengan kegusaran tergambar jelas pada raut wajahnya.
“Bagaimana hasil pemeriksaanku?”
Max menarik sudut bibirnya dan memiringkan kepala. “Kau baik-baik saja. Getaran di tanganmu akan segera hilang.”
“Benarkah?”
“Hm,” angguk Max sebelum memasukkan tangannya ke dalam saku celana. “Sekarang, apakah kau mau mengikuti ke suatu tempat?”
“Ke mana?”
“Tempat di mana aku bisa menepati janjiku.”
Kerut alis Gabriella spontan menggariskan kegusaran. Meskipun begitu, ia tetap beranjak dari kursi dan mengangguk lemah.
Saat Max tidak lagi menghadapnya, desah samar terlepas dari mulutnya. “Pria ini tampak jelas sedang berbohong kepadaku.” 
"Tanganku pasti tidak bisa sembuh," simpul Gabriella tanpa sempat memikirkan ke mana sang pria mengajaknya. Otak gadis itu terlampau penuh dengan keputusasaan.

Book Comment (242)

  • avatar
    Katrin Chaka Khan

    bagus banget aku suka aku suka... lanjut terus y semoga karyanya semakin banyak lagi...

    26/01/2022

      2
  • avatar
    Susan Utami

    Cerita yg bagus,,, menarik, gak bosan,,happy ending,, the best author good job 👍👍😊

    22/12/2021

      5
  • avatar
    DiasAna

    maravilha

    28d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters