logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 17 Kedatangan Julian

Begitu pintu dibuka, seorang pria menyerbu masuk dengan tangan terkepal erat. Pelayan di balik punggungnya hanya bisa meringis khawatir.
“Beraninya kau menyia-nyiakan pengorbananku! Aku sudah mengalah kepadamu, tapi kau malah mengacaukan perusahaan?”
Telunjuk pria itu teracung di depan muka Max.
“Perhatikan bicaramu, Julian! Kau bukannya mengalah, tapi melarikan diri, dan aku tidak pernah mengacaukan perusahaan.”
“Benarkah? Lalu, kenapa wanita ini berada di sini? Di kamarmu.”
Tatapan tamu tak diundang itu tertuju kepada Gabriella yang mengerut di belakang sang CEO.
“Apa salahnya jika calon istriku di sini?” jawab Max dengan nada santai.
Tidak hanya sang gadis, tetapi Julian pun terbelalak.
“Calon istrimu? Ternyata, yang dikatakan oleh Amber memang benar. Kau sudah dihasut oleh perempuan ini.”
“Pelankan suaramu, Julian! Kita bukan di tengah hutan, dan kau tidak berhak meneriaki gadisku seperti itu.”
Sang tamu pun mendengus. Sambil berkacak pinggang, ia memandang ke arah lain berusaha menjernihkan pikiran.
“Ada apa kau datang kemari? Tidak mungkin hanya untuk menimbulkan keributan, bukan?”
“Papa dan Amber yang memintaku.”
Alis Gabriella otomatis berkerut. “Pria ini saudara Max?” batinnya heran.
Sementara itu, sang CEO malah memiringkan kepala.
“Untuk alasan apa mereka memintamu kembali?”
“Papa memerintahkanku untuk mengambil alih Quebracha Company, sementara Amber berkata bahwa dia bersedia menikah denganku.”
Max sontak menghela napas cepat. “Lalu, kau senang mendapatkan kesempatan itu?”
Sorot mata Julian kembali berubah tajam. “Menurutmu? Aku sengaja pergi dari kota ini agar bisa merelakan Amber bersamamu, tapi kau malah menyia-nyiakan dirinya.”
“Oh, jadi, alasan utamamu datang kemari adalah Amber, bukan perusahaan,” cibir sang CEO seraya mengangguk-angguk. Ucapannya itu sukses memancing sang kakak untuk mencengkeram kerah bajunya.
“Berhentilah mempermainkanku, Max. Aku tidak bisa selalu mengalah.”
Anehnya, sang adik malah membalas tatapan Julian dengan sorot ramah.
“Ternyata, kau masih bermasalah dalam mengontrol emosimu, hm?”
Dengan santai, Max menyingkirkan tangan sang kakak dari bajunya.
“Bukankah kau sudah tahu, sejak dulu, aku tidak pernah mencintainya. Yang ada dalam hati dan pikiranku hanyalah perusahaan.”
“Tapi, dia mencintaimu!” sela Julian penuh penekanan.
“Dan, kau mencintainya. Itu salahmu karena tidak mau memperjuangkan cinta. Padahal, kau tahu bahwa adikmu ini sangat keras kepala. Tidak seorang pun bisa mengubah hatiku dengan mudah.”
Mendengar perkataan yang benar itu, Julian hanya mampu mendengus. Max pun tersenyum miring menyaksikan pengakuan yang tak terucap itu.
“Karena Amber sudah menerima lamaranmu, kuucapkan selamat, Kakak.”
Rahang Julian kini berdenyut-denyut menahan kekesalan. Setelah memandang sekilas ke arah Gabriella, dagunya kembali terangkat.
“Kenapa kau lebih memilih gadis ini ketimbang Amber? Ternyata, seleramu tidak setinggi itu, hm?”
“Matamu sudah dibutakan oleh wanita itu,” sanggah Max seraya menggeleng iba.
“Dan, kau sudah dibutakan oleh wanita ini. Kau rela melepas perusahaan deminya, bukan?” balas Julian sebelum menaikkan sebelah sudut bibir.
Tak ingin kalah, sang CEO menyipitkan mata lalu memiringkan kepala. “Kau sangat menginginkan aku lengser, rupanya? Sejak kapan kau berambisi seperti ini? Apakah Amber yang mengubah pikiranmu?”
“Ya. Aku akan membuktikan kalau aku bisa menang darimu. Apa kau takut?”
“Sama sekali tidak. Saat ini saja, aku sudah menang satu langkah darimu. Aku memiliki calon istri yang tulus kepadaku.”
Tangan Max tiba-tiba meraih pinggang Gabriella mendekat kepadanya. Gadis itu tidak punya pilihan lain, selain menempatkan tangannya pada dada sang pria agar mereka masih berjarak.
“Kau menyindirku?” desah Julian merasa terhina. “Meskipun Amber tidak tulus kepadaku, dia tetap lebih baik dari seorang pianis yang bahkan tak punya rumah.”
Alis Max terangkat samar. “Oh, ternyata, kau mengetahui latar belakang calon istriku?”
“Siapa yang tidak kenal dengan gadis yang menolak tawaran langka dari Quebracha? Ternyata, dia diam-diam mengincar sesuatu yang lain. Apa kau yakin kalau gadis ini tulus kepadamu?”
Max tiba-tiba beralih memandang Gabriella. “Apakah kau rela mengorbankan rumahmu demi menjadi istriku?”
“Tentu saja tidak!” seru sang gadis dengan alis berkerut tak terima.
Senyum sang CEO spontan terbentang lebar.
“Kau dengar itu? Gadisku tidak sepicik itu.”
“Cih! Sudahlah! Tidak ada gunanya aku berlama-lama di sini.”
Julian bergegas keluar dari kamar, meninggalkan Max dengan tampang yang perlahan-lahan berubah datar.
“Dia sudah pergi,” bisik Gabriella seraya menepuk tangan sang CEO.
Alih-alih melepas, Max malah memutar pinggang gadis itu agar mereka saling menghadap.
“Bagaimana menurutmu pria itu?”
“Apanya yang bagaimana?” Sang gadis mengerutkan alis tak mengerti.
“Bukankah dia mencurigakan? Mungkin saja, dia yang menghancurkan rumahmu.”
Gabriella spontan berkedip tegas. “Kenapa kau beranggapan begitu?”
Mata sang CEO menyipit dengan sendirinya. “Mulai sekarang, berhati-hatilah dengan semua orang. Jika ada yang mengganggumu, mengakulah sebagai calon istriku.”
“Kenapa?”
“Karena hanya itu satu-satunya cara untuk membuatmu aman.”
Gabriella menggeleng-geleng menyatakan kebingungan. “Apa maksudmu? Bukankah itu hanya akan memperkuat asumsi orang lain tentang pengkhianatanmu?” 
“Sejak kapan kau peduli denganku?” tanya Max sontak membekukan raut wajah sang gadis.
“B-bukan peduli. Aku hanya bingung.”
“Kau tidak perlu mengerti alasannya. Turuti saja perkataanku. Sekarang, lanjutkan latihanmu! Kalau sudah selesai, datanglah ke ruang kerjaku.”
Dengan langkah ragu, Gabriella kembali ke kursi piano. Tanda tanya dalam benaknya berkembang biak dengan sangat cepat. Ia hampir tak memiliki ruang untuk menaruh perhatian pada notasi musik di hadapannya.
Sementara itu, Max diam-diam menghela napas cemas.
“Gabriella tidak boleh dimanfaatkan oleh mereka. Aku bisa kehilangan Quebracha dalam hitungan detik kalau sampai dia berpihak kepada Julian.”
***
“Waktumu tinggal dua hari. Apa kau yakin bisa tampil di kompetisi nanti?” tanya Max di saat Gabriella sedang serius menjiplak pola. Gadis itu seketika berhenti dan menoleh ke arahnya.
“Kenapa tiba-tiba menanyakan itu? Membuatku gugup saja,” gerutunya tak senang.
“Hanya penasaran,” timpal Max seraya mengangkat bahu. “Kemarilah! Aku ingin meminta pendapatmu.”
Dengan gerak malas, Gabriella memenuhi panggilan. Ia duduk di kursi yang semula ditempati oleh sang CEO.
“Perhatikan dua jenis maket ini!”
Sang gadis pun melihat miniatur dari gedung-gedung tinggi dan rumah-rumah kecil secara bergantian.
“Mana yang lebih kau suka?”
Telunjuk Gabriella spontan tertuju pada rumah kecil.
“Kenapa?”
“Karena aku yang menggambar polanya.”
Sudut bibir sang CEO sontak berkedut menahan kesal. “Aku serius, Nona.”
“Memangnya, apa ini? Jelaskan dulu padaku! Baru aku bisa memilih.”
“Gedung tinggi ini adalah proyek Quebracha yang sekarang. Konsep yang diusung adalah green building yang digabungkan dengan teknologi tinggi. Keunggulannya terletak pada kemudahan dan efisiensi energi.”
Gabriella mengangguk. “Lalu, rumah kecil yang dibuat dengan campur tanganku ini?”
“Micro living yang dipadukan dengan smart house. Prinsipnya adalah menghemat ruang dan lahan, serta memperkecil emisi karbon.”
“Kalau begitu, aku lebih memilih ini.” Sekali lagi, sang gadis menunjuk ke rumah kecil.
“Kenapa?”
“Karena itulah yang kubutuhkan sekarang. Rumah.”
Napas sang CEO spontan berembus cepat. Ia baru saja mendeteksi kesedihan pada nada bicara sang gadis.
“Apa kau sangat merindukan rumahmu?” tanya Max pelan.
Gabriella melirik dengan bibir mengerucut. “Tentu saja.”
“Kalau aku bisa membantumu menghapus kerinduan itu, apakah kau mau berjanji padaku?”
“Berjanji apa?” selidik sang gadis dengan kepala miring.
“Berjanjilah untuk selalu patuh dan setia kepadaku.”
“Cih, memangnya kau Tuhan?” tolak Gabriella tanpa pikir panjang.
“Maksudku, berjanjilah untuk selalu patuh dan setia kepadaku sebagai suamimu.”
Kerut alis sang gadis perlahan kembali terbentuk. “Kau terlalu percaya diri. Aku belum tentu menjadi istrimu.”
“Jadi, kau tidak mau berjanji?”
Sang gadis menggeleng.
“Berarti, kau siap kehilangan sesuatu yang bisa menghapus kerinduanmu,” pancing Max seraya menaikkan sebelah alis.
Sambil tersenyum misterius, pria itu bergegas mengambil sesuatu dari balik meja kerja.
Begitu Gabriella melihat boneka beruang kutub di tangan sang CEO, mulutnya spontan melebar.
“Snowy!”
Dengan mata berkaca-kaca, gadis itu menghampiri Max. Namun, begitu tangannya hampir meraih, Snowy terangkat tinggi di puncak tangan sang pria.
“Berjanji dulu kepadaku, baru kau bisa mendapatkan boneka ini lagi.”
Kening sang gadis spontan mengernyit tak terima. Dengan kepala mendongak, ia menyampaikan protes.
“Kenapa kau mengancamku dengan Snowy? Itu milikku.”
“Kalau aku tidak menemukannya, dia tidak akan menjadi milikmu lagi. Jadi, bagaimana?”
“Ck, baiklah! Aku berjanji! Sekarang, berikan Snowy kepadaku!” Gabriella membuka telapak tangan meminta bonekanya.
“Buktikan dulu!”
“Buktikan apa lagi? Aku sudah berjanji. Cepat berikan bonekaku!” Sang gadis mencoba berjinjit dan menarik lengan sang pria, tetapi usahanya gagal.
“Buktikan kalau kau memang patuh kepadaku. Cium aku!”
Gabriella spontan mundur selangkah dan menurunkan tangan.
“Perintah macam apa itu? Bukankah kau tidak sudi dekat-dekat denganku? Lalu, kenapa perintahnya seperti itu?”
“Aku perlu menguji kepatuhanmu,” jawab Max sembari menggaruk hidung.
“Apa tidak ada perintah lain? Jangan-jangan, kau ini CEO mesum seperti yang sering dikisahkan dalam novel-novel erotis?”
Raut wajah Max spontan berubah datar.

Book Comment (242)

  • avatar
    Katrin Chaka Khan

    bagus banget aku suka aku suka... lanjut terus y semoga karyanya semakin banyak lagi...

    26/01/2022

      2
  • avatar
    Susan Utami

    Cerita yg bagus,,, menarik, gak bosan,,happy ending,, the best author good job 👍👍😊

    22/12/2021

      5
  • avatar
    DiasAna

    maravilha

    28d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters