logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 16 Perhatian Terselubung

“Ah, kurasa cukup untuk malam ini,” gumam sang CEO seraya memutar lehernya yang terasa pegal. Sudah empat jam ia fokus, tetapi maket di tangannya belum juga rampung.
“Besok aku harus meluangkan lebih banyak waktu,” pikirnya seraya menoleh ke arah Gabriella.
Gadis itu tertidur dengan tangan masih memegang pena.
Tanpa bersuara, Max mendekat lalu meneliti hasil pekerjaan sang gadis. Tiga detik kemudian, sudut bibirnya terangkat ringan.
“Tidak terlalu buruk. Meskipun berantakan, hasilnya masih bisa digunakan,” angguk sang CEO puas.
Selang satu kedipan, matanya beralih pada wajah cantik yang terpejam. Tanpa sadar, Max ikut memiringkan kepala.
“Apakah kamu lelah?” bisiknya seraya membelai rambut Gabriella.
Selang satu embusan napas, pria itu bergeming.
“Tunggu dulu. Kenapa aku menyentuhnya?” 
Setelah berkedip-kedip heran, ia berdiri tegak, melipat tangan, lalu berdeham kencang. Gadis yang semula merebahkan kepalanya di meja sontak kembali duduk tegak.
“Aku menyuruhmu bekerja tapi kau malah tidur nyenyak?” tanya Max dengan nada dingin.
Gadis yang hanya menarik setengah pelupuk itu pun bergegas membetulkan posisi pena di tangannya dan lanjut menjiplak pola. Menyaksikan kepatuhan Gabriella, hati sang CEO mendadak iba.
“Kau beruntung aku sudah mengantuk. Kita lanjutkan besok malam. Sekarang, cepat keluar dari ruang kerjaku!”
Masih dengan tampang linglung, Gabriella beranjak dari kursi dan berputar-putar mencari pintu. Max sontak menggeleng-geleng menyaksikannya. Selang satu kedipan, ia berjalan keluar lebih dulu agar sang gadis bisa mengikutinya.
Ketika melewati lorong, Gabriella berhenti sejenak di depan gambar dua anak laki-laki bersama orang tua mereka. Dengan mata yang masih menyipit, ia memperhatikan wajah anak yang lebih muda.
“Apa kau terpesona dengan potret kecilku?” Max tiba-tiba sudah mendekatkan bibirnya pada telinga Gabriella sehingga gadis itu tersentak.
“Tidak perlu malu begitu. Aku memang sudah menawan sejak lahir. Sekarang, ayo cepat ke kamar! Jangan sekali-sekali berpikir untuk kabur!”
Sang CEO meraih jemari Gabriella dan menarik gadis itu untuk mengikutinya. Akan tetapi, langkahnya terhenti karena sang gadis tidak mau menggerakkan kaki.
“Apakah tidak ada kamar lain yang bisa kutempati?”
Alis Max sontak terangkat tak percaya. Si gadis penurut sudah mulai berani membantah.
“Tidak ada,” geleng sang pria dengan raut datar.
“Kau berbohong. Tidak mungkin rumah sebesar ini tidak memiliki kamar tamu.”
Max mendekatkan wajahnya kepada Gabriella. “Memangnya, kau tamu?”
Sang gadis pun berkedip datar. “Memangnya, bukan? Kau bilang ingin menebus kesalahan. Bukankah itu berarti, kau seharusnya memperlakukanku dengan baik?”
Senyum sang CEO seketika mengembang. “Kau seharusnya merasa terhormat karena bisa tidur di kamarku. Apa kau tidak tahu seberapa banyak wanita yang ingin mendapatkan kesempatan itu?”
Gabriella pun mengerutkan alis dengan bibir yang agak mengerucut. “Orang yang belum menikah tidak wajar tidur dalam satu kamar, apalagi seranjang.”
“Kenapa kau khawatir? Kita tidak melakukan apa-apa, hanya tidur saja. Bukankah sudah kubilang kalau aku sama sekali tidak tertarik padamu?”
Bola mata sang gadis spontan bergerak-gerak tak tentu arah. “Tetap saja, itu tidak benar,” gumamnya seraya menunduk.
“Atau jangan-jangan, kau takut gagal menahan diri saat melihatku tidur? Ck, pikiranmu kotor sekali,” ledek Max seraya mengernyitkan wajah.
Alis Gabriella spontan melukiskan protes. “Aku tidak seperti itu.”
“Kalau begitu, buktikan! Jadilah gadis baik selama aku tidur!” Max menarik tangan Gabriella lebih kuat sehingga gadis itu terpaksa mengikutinya hingga ke kamar.
Usai mengunci pintu, sang pria naik ke ranjang dan berbaring dengan nyaman. Gabriella yang masih berdiri di dekat lemari pun mematung. Ketika matanya menyoroti lapang kosong di sisi sang pria, napasnya berembus pasrah.
“Apa susahnya menyediakan kamar lain untukku?” gerutu gadis itu seraya duduk di kursi piano.
Selang beberapa detik, Gabriella mengeluarkan spidol dari saku celananya.
"Kenapa aku membawa ini?"
Setelah merenung sejenak, gadis itu mengangguk-angguk dan naik ke kasur. Sebuah ide gila baru saja tebersit dalam benaknya.
Keesokan paginya, Max terbangun oleh denting piano. Gabriella yang sudah rapi ternyata sedang berlatih. Ia tidak bosan mengulang lagu setiap jarinya menekan tuts yang salah.
“Ternyata, performanya memang masih kacau,” gumam sang CEO seraya turun dari ranjang.
Tanpa menyapa, pria itu berjalan lurus menuju kamar mandi.
Selang beberapa saat, suara teriakan membelalakkan mata sang gadis.
“Gabriella!”
Tawa kecil pun lolos dari mulut yang berusaha dikatup rapat. Lalu, bukannya menyahut, sang gadis malah melanjutkan latihan dengan wajah tanpa dosa. Bahkan, saat Max menghampirinya dengan tangan terkepal erat, Gabriella masih santai memainkan lagu.
“Apa yang kau lakukan dengan wajahku?” tanya sang pria dengan napas bergemuruh.
“Tidak ada,” sahut gadis itu tanpa menoleh. Tatapannya terpaku pada kertas notasi musik.
“Gabriella!” hardik Max dengan alis berkerut maksimal. Akan tetapi, sang pianis tetap tidak menanggapi serius.
“Kau mau bermain-main denganku, hah? Kau pikir wajahku ini kertas?”
Telunjuk Max terarah pada tulisan “GILA” di keningnya.
“Kenapa kau begitu marah? Aku hanya mencoret jidatmu, tidak seperti kau mencoreng nama baikku,” gerutu Gabriella seraya memutar bola mata.
“Kenapa kau masih menyinggung masalah itu? Aku tidak sengaja menidurimu.”
“Aku juga tidak sengaja mencoret jidatmu.”
Kesabaran Max pun terkikis. Tanpa ragu lagi, ia mengambil spidol di atas piano lalu membuka penutupnya.
“Apa yang mau kau lakukan?” tanya Gabriella spontan beranjak menjauh.
“Apa lagi? Tentu saja membalas perbuatanmu.”
Sang gadis melangkah mundur dengan tangan terangkat ke depan.
“Jangan membuang waktu! Daripada kau menyerangku, lebih baik kau cuci wajahmu itu,” ujar Gabriella dengan suara yang sedikit bergetar.
“Kau pikir karya senimu ini bisa hilang? Ini spidol permanen!”
“Itu salahmu! Kenapa memberiku spidol permanen?”
“Kau ....”
Max menyergap Gabriella lalu mendekatkan ujung spidol pada wajahnya. Akan tetapi, gadis itu terus meronta sehingga sang pria terpaksa menindihnya di atas kasur.
"Jangan! Engh ...."
Max tetap menekan jidat sang gadis dengan tangannya dan mulai menulis.
“Ini tidak adil!” Gabriella tidak berdaya karena tubuh kekar yang mengurungnya.
“Ini pelajaran untukmu agar tidak menjadi orang yang pendendam.”
“Kaulah yang pendendam!”
“Selesai!” seru sang pria dengan senyum penuh kemenangan. Sembari beranjak dari kasur, pria itu memperhatikan karya seni di jidat Gabriella.
“Apa yang kau tulis?” tanya sang gadis sambil bergegas menuju cermin.
“Hei, aku hanya menulis empat huruf. Kenapa kau menulis sepanjang ini?”
“Karena memang benar, kau itu tukang tidur.”
Dengan bibir mengerucut, Gabriella mengambil botol make up remover.
“Akhirnya, kau menyentuh barang pemberianku?” ledek sang CEO sambil menghampiri meja rias. Akan tetapi, sang gadis tidak menggubris ucapannya.
“Sini! Biar aku saja yang membersihkan keningmu!” Max merebut botol itu dari tangan Gabriella lalu mengambil sepotong kapas.
“Untuk apa kau mencoret keningku kalau pada akhirnya kau juga yang membersihkan?” gerutu sang gadis masih mengerucutkan bibir tak terima.
“Mungkin, karena aku sedang tidak ada pekerjaan. Aku dilarang datang ke kantor karena orang-orang di perusahaan menuduhku bersekongkol denganmu. Mereka mengira akulah otak yang ingin menghancurkan proyek itu,” gumam sang CEO terdengar sedih.
Kerut alis Gabriella perlahan terurai. Ia heran, ke mana perginya kebencian yang sempat ia pupuk untuk pria itu.
“Tentang rumahku ... apakah benar, bukan kamu yang menghancurkannya?” tanya gadis itu dengan suara pelan.
“Ya.”
“Lalu, siapa?”
“Aku juga belum tahu. Tidak ada petunjuk tentang orang itu.”
Gabriella sontak terdiam dan mulai merenung.
“Apa kau bisa menemukan orang itu?” tanyanya beberapa saat kemudian.
“Bukan bisa, tapi harus. Jika aku ingin mempertahankan jabatanku, aku harus menemukan orang itu.”
“Lalu, kenapa kau malah sibuk membuat maket?” pikir Gabriella dengan alis berkerut.
Max akhirnya berhenti menggosok kening sang gadis lalu menyipitkan mata. “Kenapa kau menanyakan itu?”
“Kenapa? Kau curiga kepadaku? Mau menuduhku mata-mata?”
Selang satu kedipan, sang CEO tersenyum miring. “Daripada kau memikirkan itu, lebih baik kau fokus dengan kompetisimu.” Max kembali menggosokkan kapas pada kening Gabriella.
Belum sempat sang gadis menimpali, Max sudah menyodorkan kapas ke tangannya. “Sekarang, giliranmu membersihkan wajahku.”
Gabriella spontan membelalakkan mata tak percaya. “Kau bisa melakukannya sendiri. Kenapa malah menyuruhku?”
“Kau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu.”
Gabriella pun berdecak lalu berdiri dengan berat hati.
“Kenapa kau tinggi sekali?” keluh gadis yang harus mengangkat tangan untuk bisa meraih karya seninya.
Tanpa diduga, Max duduk di kursi lalu menarik sebelah kaki Gabriella agar melangkahi pahanya.
“Apa yang kau lakukan?”
Begitu selesai bertanya, gadis itu telah berada di pangkuan sang pria.
“Lakukanlah!”
“Lakukan apa?” tanya perempuan yang mendadak tegang karena tangan sang CEO kini menempel di pinggangnya.
“Bukankah kau sedang membersihkan wajahku?”
“Ya, tapi tidak dengan posisi ini,” protes Gabriella sembari mencoba bangkit.
Anehnya, Max tidak mengizinkan dirinya pergi.
“Kau ini cerewet sekali. Lakukan saja dengan cepat! Semakin lama kerjamu, semakin lama pula aku harus menanggung bebanmu. Kakiku bisa pegal.”
Merasa kesal, sang gadis mulai menggosok kapas dengan sekuat tenaga.
“Tampaknya, tanganmu sudah bisa dikendalikan dengan baik, huh?” celetuk sang CEO seraya menahan tekanan di wajahnya.
“Ini karena aku tidak ingin lama-lama berada di dekatmu.”
“Bukankah itu berarti, kau seharusnya sudah lincah memainkan piano? Apa mungkin, kau diam-diam berharap menjadi istriku?”
Merasa kesal, Gabriella mengubah gosokannya menjadi ketukan ringan.
“Hei, kenapa kau memukulku?”
“Ini teknik yang lebih cepat untuk membersihkan keningmu.”
Di saat Gabriella dan Max sedang asyik meributkan soal gosokan, seseorang tiba-tiba menggedor pintu.
“Max, cepat buka! Jangan bersembunyi dariku!”
Mata sang CEO spontan melebar. “Julian? Sejak kapan dia ada di sini?”

Book Comment (242)

  • avatar
    Katrin Chaka Khan

    bagus banget aku suka aku suka... lanjut terus y semoga karyanya semakin banyak lagi...

    26/01/2022

      2
  • avatar
    Susan Utami

    Cerita yg bagus,,, menarik, gak bosan,,happy ending,, the best author good job 👍👍😊

    22/12/2021

      5
  • avatar
    DiasAna

    maravilha

    28d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters