logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 15 Menikahlah Denganku

“Ah, aku seharusnya mengajakmu ikut mandi bersamaku,” ucap sang CEO seraya membelai rambut Gabriella.
“Max!” pekik Amber sambil menarik lengan sang pria. Telinga wanita itu terasa panas karena ucapan manis Max kepada perempuan lain. “Jangan coba-coba mengujiku! Aku juga punya batas kesabaran.”
Selama beberapa detik, sang CEO tidak bersuara. Ketika pria itu sudah berdiri bersama Gabriella dalam gendongannya, barulah ia membalas, “Kesabaranku baru saja kau habiskan. Jangan harap aku mau menerimamu sebagai istriku!”
Amber sontak menghela napas tak percaya. Harga dirinya terluka, apalagi ketika Max berbalik tanpa menambahkan kata.
“Kau akan menyesal jika menolakku!” seru wanita muda itu sambil melayangkan telunjuk yang teracung. Namun, sekeras apa pun ia berteriak, sang CEO tetap tidak menggubris.
“Lihat saja! Kau tidak akan bahagia bersama gadis itu!”
“Bibi, protokol empat!” Max tiba-tiba memberi sinyal. Ia benar-benar risih dengan suara Amber.
Si kepala pelayan langsung mengangguk-angguk dan melangkah masuk.
“Maaf, Nona,” ucapnya sebelum menutup pintu.
Sedetik kemudian, erangan kesal terdengar dari arah luar. Semua orang tahu bahwa Amber tak terima diperlakukan seperti itu. Namun, tidak seorang pun berani mengungkitnya, kecuali Gabriella saat Max menurunkannya di ranjang.
"Kenapa kau meniduriku padahal sudah memiliki calon istri?"
Max spontan mengernyitkan dahi. "Dia bukan calon istriku."
“Lalu, kau ingin memanfaatkanku untuk menyingkirkan perempuan itu?” ucap sang gadis dengan suara dingin dan lemah.
Meskipun ekspresinya telah didatarkan, air mata yang menggantung di pelupuk tak mampu menyembunyikan perasaan. Tubuhnya masih bergetar dalam kekesalan dan ketakutan.
Tanpa terduga, Max malah menyunggingkan senyum dan menyelipkan rambut sang gadis ke belakang telinga.
“Ternyata, perempuan yang memberiku kopi pedas sudah kembali? Syukurlah ....”
Raut wajah Gabriella tetap sama. “Apa maumu?”
“Lain kali, kalau seseorang menyakitimu, melawanlah! Jangan biarkan seorang pun memperlakukanmu seenaknya.”
Tiba-tiba, getaran pada jemari sang gadis menjadi semakin hebat. Secepat kilat, Gabriella menggenggam tangannya. Akan tetapi, sang CEO sudah lebih dulu melihat.
“Ada apa?” tanya pria itu seolah tak tahu bahwa perkataannya telah memicu tremor yang lebih besar.
Sang gadis memalingkan wajah. “Kau menyuruhku untuk melawan, padahal, kaulah yang paling banyak menyakitiku.”
Alis yang semula terangkat perlahan berubah menjadi kerutan. Max sadar bahwa ucapan sang gadis memang benar dan hal itu mengingatkannya pada niat semalam.
“Apa kau keberatan menjadi istriku?” tanya pria itu dengan nada serius.
Tidak ada penekanan dalam bicaranya, tetapi sang gadis merasa terancam. Dengan gelengan samar, Gabriella menolak.
“Aku tidak mau menjadi istrimu.”
Max spontan menarik napas panjang lalu memiringkan kepala. “Kenapa? Bukankah kau meminta pertanggungjawaban dariku?”
“Aku hanya ingin keluar dari rumah ini,” ucap Gabriella sambil menunduk.
“Memangnya, apa yang akan kau lakukan begitu keluar dari sini?”
Sang gadis terdiam. Ia belum memiliki rencana. Yang ada dalam otaknya hanyalah menjauh dari sang CEO dan segala siksaan dari laki-laki itu.
“Kau tenang saja, Nona. Aku tidak akan menyakitimu lagi. Aku sudah tahu bahwa kecurigaanku terhadapmu tidaklah benar.”
Kedipan mata Gabriella sontak tertahan. Perlahan-lahan, ia memberanikan diri untuk membalas tatapan sang pria.
Sadar bahwa sang gadis mulai memberi perhatian, Max memperjelas maksudnya.
“Karena itu, aku ingin menikahimu. Aku perlu menebus kesalahanku padamu.”
Gabriella pun menelan ludah membasahi kerongkongannya yang gersang. Ia tidak yakin apakah ucapan sang CEO itu sebuah kejujuran atau jebakan. Namun, dirinya tidak bisa menyangkal bahwa harapan kecil baru saja tumbuh dalam hatinya.
“Kau sudah tahu?” tanyanya ragu.
Sang pria mengangguk.
“Kalau begitu, kenapa kau tidak membebaskan aku?”
Mata sang pria otomatis menyipit.
“Kau tampaknya sangat ingin keluar dari sini, hm? Sudah kubilang, aku ingin menebus kesalahan. Aku tidak mungkin membiarkanmu pergi.”
Alis Gabriella spontan mengerut tak mengerti.
“Tapi, kau sudah tidak membutuhkanku lagi. Aku tidak bisa memberimu informasi apa-apa.”
“Aku membutuhkan kehadiranmu untuk ketenanganku. Aku harus memastikan bahwa kau baik-baik saja. Karena itu, menikahlah denganku!”
“Tapi, aku tidak mencintaimu.”
Sang CEO mendenguskan tawa. “Apa kau pikir aku mencintaimu? Yang kulakukan ini murni karena rasa tanggung jawab.”
Gabriella mengernyitkan dahi dan kembali tertunduk. “Bukankah kau bilang akan memberiku uang dan kebebasan?”
Max terdiam memperhatikan gadis yang keras kepala. Setelah menimbang-nimbang sejenak, ia pun berkata, “Aku akan memberikan itu kepadamu asalkan kau bisa kembali seperti sediakala.”
“Apa maksudmu?”
“Kalau kau berhasil melewati ronde kedua dalam kompetisi itu, kau boleh pergi dari sini dengan uang yang kujanjikan. Tapi, kalau kau gagal, kau harus menjadi istriku.”
Bola mata Gabriella seketika bergetar menatap jemarinya yang masih belum stabil.
“Bagaimana mungkin? Memegang pena saja aku masih belum sanggup,” batin gadis itu khawatir.
“Jadi, apakah kau setuju? Kalau kau mundur sekarang, aku akan langsung mengatur upacara pernikahan.”
Setelah sempat ragu, Gabriella akhirnya terpaksa mengangguk. Setidaknya, ia masih memiliki harapan walau sangat kecil.
“Bagus! Kalau begitu, aku harus pergi membeli piano untukmu.”
***
Hanya dalam waktu dua jam, sebuah piano sudah berdiri di dalam kamar sang CEO. Gabriella sampai tercengang dengan keseriusan pria itu. 
“Kau punya waktu tiga hari untuk berlatih. Sepulang dari kompetisi, jika kau gagal, kita langsung menikah.”
Gabriella terpelongo menatap senyum miring Max. Bisa-bisanya pria itu begitu santai membahas soal pernikahan.
“Hei, jangan melamun seperti itu! Mulailah berlatih! Waktumu tidak banyak. Saat aku pulang nanti, akan kuuji kesiapanmu.”
Tanpa menunggu respon dari sang gadis, pria itu keluar kamar dan menutup pintu rapat-rapat. Gabriella kini hanya berdua bersama piano yang terasa asing baginya.
“Apakah aku bisa?” gumamnya seraya berjalan terseok-seok menuju kursi piano.
Ketika duduk di sana, perhatiannya langsung teralihkan oleh buku catatan lusuh di atas alat musik itu.
“Buku laguku?” desah Gabriella dengan mata berkaca-kaca. Tanpa sadar, senyum kecil telah menghiasi wajahnya.
Beberapa saat kemudian, pandangannya beralih pada sebuah map berisi kertas notasi musik. Hati Gabriella mendadak cair karenanya. Tanpa membuang waktu, ia menempatkan map transparan itu pada penyangga.
Setelah menarik napas panjang dan memejamkan mata sesaat, sang gadis menempatkan jemarinya di atas tuts piano. Selama beberapa detik, tidak ada bunyi yang terdengar. Perempuan itu sedang terjebak di antara keraguan dan keresahan.
“Apakah aku bisa?”
Mata Gabriella terpaku pada tangannya yang gemetar. Selang keheningan sesaat, barulah ia mulai memainkan alat musik itu.
Tanpa sang gadis ketahui, seorang pria sedang tersenyum di luar pintu. Kepalanya mengangguk-angguk ketika nada pertama masuk ke telinganya.
“Baguslah,” batinnya sebelum benar-benar melangkah pergi.
***
“Bagaimana hasil latihanmu?” tanya Max membuat sang pianis berhenti menekan tuts. Gadis itu tidak sadar kapan sang CEO membuka pintu.
“Coba mainkan lagu yang akan kau bawakan nanti!” pinta sang pria seraya bersandar pada dinding di samping piano.
Alih-alih menurut, Gabriella menggeleng. “Aku belum bisa,” ucapnya dengan kepala tertunduk.
“Tanganmu masih bergetar?” terka sang CEO sembari memperhatikan bagaimana gadis itu menyembunyikan jemarinya di atas pangkuan.
Sedetik kemudian, Gabriella mengangguk.
“Ck, haruskah aku memanggil dokter lagi?” gumam Max seraya memiringkan kepala.
Selang satu kedipan, pria itu menegakkan punggung lalu bertanya, “Apakah kau sudah makan malam?”
“Sudah.”
“Bagus. Kalau begitu, ikutlah denganku!”
Sang gadis pun berkedip heran. “Ke mana?”
“Ikut saja!”
Meski sempat ragu, Gabriella akhirnya membuntuti sang CEO menuju ruang kerja. Hamparan kertas, karton, dan papan tipis di atas meja langsung menarik perhatiannya.
“Apa kau bisa menggambar?” tanya Max sukses membuat Gabriella menaikkan alis. “Kupikir, ini bisa menjadi latihan untuk menghilangkan getaran pada tanganmu.”
“Apa maksudmu?”
“Jiplaklah pola-pola itu!”
Sang gadis mengamati beragam bentuk karton tebal yang diletakkan dalam sebuah kotak.
“Apa ini?”
“Percayalah, mengerjakan maket bisa membantumu menghilangkan tremor.”
Gabriella termenung sesaat. Sambil menyembunyikan keresahan, ia melihat jemari dan pola-pola itu secara bergantian.
“Kau memanfaatkanku,” gumam gadis itu sontak melebarkan mata sang CEO. Desah tak percaya pun mengiringi keterkejutan laki-laki itu.
“Kau terlalu percaya diri. Apa kau pikir, aku tidak mampu mengerjakannya sendiri?”
Max mengangkat sebelah alis dan menunjukkan sebuah maket yang sudah setengah jadi. Bibir Gabriella otomatis terkatup menelan kecurigaan.
“Sekarang, jangan memprotesku lagi! Cepat kerjakan atau kau terima akibatnya malam ini!”
Mau tidak mau, sang gadis menurut. Dengan setengah hati, ia mulai memfokuskan tangannya untuk menggerakkan spidol mengikuti pola.
Diam-diam, sang CEO tersenyum memperhatikan Gabriella. Gadis itu tampak manis saat sedang mengerutkan alis dan mengerucutkan bibir. Begitu sadar dengan arah perhatiannya, sang pria pun mengerjap.
“Astaga .... Apa yang salah denganku? Kenapa aku melihatnya seperti itu?”
Sambil menggeleng-gelengkan kepala, Max kembali fokus dengan pekerjaannya.

Book Comment (242)

  • avatar
    Katrin Chaka Khan

    bagus banget aku suka aku suka... lanjut terus y semoga karyanya semakin banyak lagi...

    26/01/2022

      2
  • avatar
    Susan Utami

    Cerita yg bagus,,, menarik, gak bosan,,happy ending,, the best author good job 👍👍😊

    22/12/2021

      5
  • avatar
    DiasAna

    maravilha

    28d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters