logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 14 Calon Istri

Max mengusap pipi pucat Gabriella. Hatinya berdesir menyambut perasaan yang tak terdeskripsikan.
“Gadis ini pasti sangat membenciku. Apakah aku bisa menghadapi seorang istri yang menyimpan dendam?”
Tangan sang CEO kini beralih menggenggam jemari lentik yang sempat terancam.
“Untung saja Sharp Khife masih memiliki hati dan akal sehat yang cemerlang,” desahnya seraya tertunduk. “Berkatnya, aku masih memiliki harapan.”
Dengan lembut, Max menarik Gabriella ke dalam dekapan. Tanpa ragu, ia memejamkan mata sambil mengelus rambut gadis itu hingga tangannya berhenti bergerak.
Keesokan harinya, sang CEO membuka mata dan menemukan bahwa dirinya sama sekali tidak bergerak sepanjang malam.
Setelah memastikan gadis dalam dekapannya masih terlelap, ia mengendurkan pelukan dan membetulkan posisi berbaring Gabriella.
“Semoga hari ini adalah hari yang baik untuk kita,” bisik Max sebelum beranjak dari ranjang.
Dengan perasaan yang lebih ringan, pria itu masuk ke kamar mandi dan menyalakan shower. Tanpa ia ketahui, seorang wanita baru saja membuka pintu kamarnya dengan kasar.
Begitu sosok itu melihat Gabriella, darahnya langsung naik menggelapkan mata. Kunci serep yang semula berada dalam genggamannya langsung terlempar ke sembarang arah.
“Siapa perempuan ini?” pekik wanita itu di puncak suara.
Seorang pelayan yang berdiri di belakangnya pun meringis.
“Maaf, Nona Amber. Tuan Max melarang siapa pun masuk ke kamar ini.”
Tanpa menghiraukan peringatan si pelayan, wanita muda itu menghampiri gadis yang baru saja mengedip-ngedipkan mata.
“Beraninya kau tidur di sini?”
Amber menjambak rambut Gabriella tanpa ampun lalu menyeretnya turun dari ranjang. Sang gadis spontan memegangi tangan berkuku panjang itu dan meringis menahan sakit pada kulit kepalanya.
“Engh .... Lepaskan! Apa salahku?” rintih gadis yang sudah mendapatkan akal sehat kembali. Malangnya, ia harus langsung berhadapan dengan Amber.
“Dasar perempuan tak tahu diri! Tidak seorang pun boleh menggoda calon suamiku!”
Amber terus menyeret si gadis malang keluar dari kamar.
“Aku tidak menggoda akh!” Gabriella terpejam dan mulai mengeluarkan air mata. Sentakan tangan perempuan kejam itu terasa hingga ke pusat sarafnya.
“Jangan pernah kau datang ke rumah ini lagi!” seru Amber seraya membawa sang gadis menuju lantai dasar.
Wanita itu tidak peduli jika Gabriella nanti terguling saat menuruni tangga. Ia malah senang jika sang gadis mendapatkan ganjaran atas kelancangannya.
Sadar akan bahaya, si kepala pelayan memberanikan diri menghalangi langkah si wanita muda.
“Tolong, Nona, kasihani gadis ini! Dia sama sekali tidak bersalah,” terang wanita ringkih itu sambil merapatkan tangan di depan dada. Permohonannya terdengar tulus selagi matanya sesekali memandang iba ke arah Gabriella.
“Menyingkirlah, Bi! Jangan menghalangiku! Gadis ini tidak pantas dibela. Dia sudah lancang merebut posisiku.”
“Tapi, Nona—“
Amber mendorong pundak si pelayan dengan kasar. Wanita paruh baya itu pun terpaksa menyingkir dan menyaksikan Gabriella jatuh bangun.
Hingga mereka tiba di tangga, ia tidak bisa lagi tinggal diam. Tanpa memedulikan mata sinis si wanita muda, ia memapah Gabriella menuruni tangga.
“Menyingkirlah, Bi! Gadis ini tidak memerlukan bantuan.” Amber menepis tangan sang pelayan dari siku Gabriella.
“Jangan begitu, Nona. Kalau gadis ini jatuh lalu celaka, Nona bisa terlibat masalah.”
Amber pun mendengus dan membiarkan sang pelayan memapah Gabriella. Akan tetapi, tangannya masih enggan membebaskan rambut sang gadis.
“Tolong lepaskan!” rintih Gabriella ketika gemuruh napasnya sudah agak mereda.
“Jangan harap!”
Amber mempercepat langkah menuruni tangga. Begitu tiba di lantai datar, ia mendorong Gabriella dengan sekuat tenaga. Gadis malang itu langsung tersungkur tanpa sempat menyangga bobotnya dengan tangan.
“Akh!” erang Gabriella saat tubuhnya membentur lantai.
Dengan gerakan lemah, gadis itu mencoba bangkit. Jika bukan karena bantuan sang pelayan, ia tidak akan mampu duduk menegakkan punggungnya.
Tiba-tiba, tangan Amber mencengkeram dagu sang gadis. Dengan tatapan tajam, ia meneliti wajah Gabriella dari segala sisi.
Beberapa saat kemudian, wanita kasar itu mendengus dan mengakhiri cengkeraman dengan dorongan kasar.
“Kau tidak lebih cantik dariku. Katakan, dengan cara apa kau menggoda Max?” Amber menaikkan alis seolah menantang.
“Aku tidak menggodanya,” jawab Gabriella di sela desah napas yang memprihatinkan.
“Kau pikir aku percaya?”
Lagi-lagi, Amber menjambak rambut sang gadis dan memaksanya berdiri.
“Dengar! Jangan pernah kau menapakkan kaki di rumah ini lagi! Aku tidak akan memberi maaf untuk yang kedua kali.”
Begitu keluar dari pintu, si wanita muda mendorong Gabriella hingga gadis itu kembali mendarat dengan kedua lututnya.
Sambil terisak, perempuan yang tak berdaya itu menahan kekesalan.
“Apa salahku ... apa salahku sampai semua orang memperlakukanku dengan semena-mena?” gumamnya dengan suara bergetar.
Wanita yang melipat tangan di depan dada pun mengerutkan alis mendengar kata-kata yang tak jelas itu.
"Ternyata kau memang tidak tahu malu, hah? Sudah menggoda calon suamiku, masih saja tidak mau mengaku."
Gabriella kini menegakkan kepala, memperlihatkan guratan merah di sekitar lensa matanya.
“Sudah kubilang, aku tidak menggodanya! Laki-laki itulah yang mengambil keuntungan dariku!”
Sebelah sudut bibir Amber mulai berkedut karena geram.
“Beraninya kau memfitnah Max! Calon suamiku tidak mungkin tertarik dengan perempuan rendahan sepertimu.”
“Tapi, itulah kenyataannya! Kau tanyakan saja kepadanya, berapa kali dia meniduriku saat aku sedang mabuk.”
Sebuah tamparan sontak membungkam mulut Gabriella. Sang pelayan pun terbelalak dan spontan berlutut di samping si gadis. Tatapan memelasnya tertuju kepada si wanita muda.
“Tolong, Nona, jangan sakiti gadis ini lagi! Kasihanilah dia!”
“Kenapa kau terus membela gadis ini? Apakah kalian bersekongkol agar Max berpaling dariku?”
“Bukan begitu, Nona.”
“Aaargh! Aku muak melihat kalian. Sekarang juga, cepat pergi dari rumah ini! Dan, kau ....” Telunjuk runcing Amber terarah pada Gabriella. “Jangan sekali-sekali mencoba untuk kembali ke sini!”
Sang pelayan pun bergegas bangkit dan bersiap membantu gadis malang itu berdiri.
“Ayo, Nona, kita pergi dari sini,” bisik wanita paruh baya yang penuh iba.
Gabriella sontak menyeka air mata dan menelan ludah. Gadis itu memang ingin keluar dari rumah sang CEO, tetapi tidak dengan cara demikian. Karena itu, alih-alih beranjak, ia malah melempar tatapan tajam.
“Kau akan mendapat ganjaran karena telah memperlakukanku seperti ini,” desahnya terdengar seperti sebuah kutukan.
Embusan napas tak percaya spontan berembus dari mulut Amber. Mata wanita muda itu telah sebulat kebenciannya.
“Ternyata, kau ini memang tidak sadar diri, hm?”
Tanpa kenal ampun, Amber kembali menjambak Gabriella dan menariknya menuju pekarangan. Gadis yang masih duduk di lantai itu sampai terseret karena berpegangan pada tangannya.
“Mohon berhentilah, Nona! Biar saya saja yang membawa gadis ini keluar,” cegah pelayan yang ikut menangis membayangkan penderitaan Gabriella.
Ia sadar bahwa tidak ada yang mau menolong sang gadis selain dirinya. Rekannya yang lebih muda hanya berani menonton dari kejauhan.
“Jangan menghalangiku! Gadis ini harus dilempar ke jalanan.”
Amber menarik sang gadis dengan tenaga ekstra. Namun, sedetik kemudian, tubuhnya mematung. Seseorang telah mencengkeram lengannya dengan kekuatan yang jauh lebih besar.
“Lepaskan atau kau yang kulempar ke jalanan!”
Mata Amber seketika terbuka lebar. Saat ia menoleh, tatapan mengerikan sang CEO menyambutnya. Laki-laki itu tampak jelas sedang menggertakkan geraham. Mau tidak mau, Amber membebaskan kepala Gabriella.
“Max? Aku sedang membantumu menyingkirkan gadis yang tak tahu malu ini,” ujar wanita itu dengan senyum kaku.
“Kaulah yang tak tahu malu! Jika gadis ini mengalami cedera serius karena ulahmu, kau akan menyesal seumur hidup.”
Bibir Amber sontak bergetar tak menyangka. Meskipun begitu, ia tetap mempertahankan tampang manisnya.
“Kenapa kau membela gadis ini, Honey? Dia sudah lancang tidur di kamarmu.”  
“Dia calon istriku!”
Semua yang mendengar sontak terkesiap, terutama wanita muda yang tak bisa lagi menaikkan sudut bibirnya.
“Mulai detik ini, siapa pun yang menyakiti Gabriella harus angkat kaki dari rumah ini!” seru sang CEO lantang. Amber langsung menggeleng-geleng tak terima.
“Tidak mungkin! Akulah calon istrimu.”
“Omong kosong! Aku tidak pernah melamar ataupun menerima lamaranmu. Sekarang, pergilah dari sini! Aku muak melihatmu.”
Max memutar tumpuan menghadap Gabriella, tetapi si wanita muda menarik lengannya meminta perhatian.
“Apa maksudmu, Max? Bukankah kau sudah sepakat untuk menikah denganku?”
Sang pria menggeleng dengan senyum miring.
“Kau bermimpi,” ucapnya pelan tetapi sangat menusuk. Amber spontan mengepalkan tangan menahan sakit hatinya.
“Kau tidak bisa mengabaikanku begitu saja, Max.”
Si wanita muda masih berusaha mengubah keputusan sang CEO. Akan tetapi, laki-laki itu sudah menekuk lutut dan memegang pundak si gadis malang.
“Apa kau terluka?” tanyanya sembari membelai pipi merah sang gadis.
Gabriella hanya mengatupkan mulut. Mata sembapnya memandang dengan penuh kemarahan dan kecurigaan.

Book Comment (242)

  • avatar
    Katrin Chaka Khan

    bagus banget aku suka aku suka... lanjut terus y semoga karyanya semakin banyak lagi...

    26/01/2022

      2
  • avatar
    Susan Utami

    Cerita yg bagus,,, menarik, gak bosan,,happy ending,, the best author good job 👍👍😊

    22/12/2021

      5
  • avatar
    DiasAna

    maravilha

    28d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters