logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 13 Menebus Kesalahan

Setibanya di rumah, hal pertama yang ditanyakan oleh Max adalah Gabriella.
“Perempuan itu sudah bangun, Tuan. Tapi, dia tampak seperti orang yang tidak waras. Dia terus menangis dan berteriak mendesak saya untuk keluar. Jadi, saya terpaksa menguncinya di kamar,” jelas si kepala pelayan gelisah.
“Jadi, dia belum makan?” tanya Max dengan kerutan kecil di pangkal alisnya.
“Belum, Tuan,” geleng si pelayan sambil merendahkan sudut wajah.
“Kalau begitu, tolong siapkan makanan, Bi. Antarkan ke kamar sekitar 15 menit lagi.”
“Baik, Tuan.”
Sementara sang pelayan bergegas ke dapur, Max meluncur ke kamar.
Begitu pintu dibuka, gadis yang sedang memeluk diri di sudut kamar mulai bergetar ketakutan. Ia terus mendorong mundur tubuhnya meski telah tertahan oleh dinding.
Menyaksikan hal itu, hati Max terasa aneh. Ia belum pernah mengalami perasaan itu, perasaan yang mengoyak dada dan memaksa kedua tangannya terkepal erat.
Dengan langkah pelan, sang pria mendekati Gabriella.
“Jangan mendekat ... jangan mendekat!” pinta sang gadis dengan suara tercekik. Ia sama sekali tidak berani memandang ke arah Max. Kepalanya terus tertunduk menyembunyikan kerutan alis.
“Aku tidak tahu apa-apa. Tidak ada seorang pun yang membayarku,” ucapnya tanpa ditanya. Udara dalam paru-paru Max sontak bertambah berat.
“Gabriella?”
Pria itu berhenti tepat di hadapan sang gadis dan menekuk lutut. Gadis yang menjatuhkan air mata lebih deras itu pun semakin ciut.
“Aku benar-benar tidak tahu apa-apa. Tidak ada seorang pun yang membayarku,” tegasnya seraya mencengkeram jari-jarinya sendiri. Ia jelas masih dibayang-bayangi oleh ancaman sang interogator.
Sadar akan ketakutan Gabriella, tangan Max terulur hendak menyentuh pundak sang gadis. Akan tetapi, begitu melihat sosok lemah di depannya menggeleng cepat, niatnya terurung.
“Jangan sakiti aku! Kumohon ... jangan potong jariku!” desah Gabriella tak berdaya. Tangan Max spontan terkepal dan diletakkan di atas pangkuan.
“Aku tahu, Nona. Kau tidak bersalah. Karena itu, tenanglah! Tidak ada siapa pun yang ingin melukaimu.”
“Aku tidak tahu apa-apa. Tidak ada seorang pun yang membayarku,” ulang Gabriella seperti kaset rusak.
“Ya, aku tahu. Jadi sekarang, bangkitlah! Jangan memojokkan diri seperti ini,” bujuk Max dengan nada lembut. Akan tetapi, sang gadis tetap menggeleng. Tubuhnya malah meringkuk semakin kecil.
“Gabriella?” panggil Max berusaha mendapatkan kesadaran sang gadis. Tangannya terulur menggenggam lengan kurus itu.
Tidak ada respon yang ia dapat. Gadis itu masih terperangkap dalam kengerian yang menggetarkan sekujur tubuh.
Sadar bahwa usahanya sia-sia, Max pun pergi dan kembali dengan sebuah buku besar di tangannya.
“Apakah kamu mengenal album foto ini?”
Max menyodorkan buku ke depan mata sang gadis.
Dagu Gabriella akhirnya terangkat. Selang satu embusan napas, gadis itu merebut album foto dan memeluknya erat.
“Benar. Itu milikmu,” ucap sang CEO dengan lengkung bibir getir. “Apakah kamu mau melihat isinya bersama-sama?”
Gabriella menggeleng cepat dan mengeratkan dekapan. Penolakan itu terasa seperti tamparan bagi sang pria. Entah bagaimana ia mampu membuat gadis itu membuka diri kepadanya.
Tanpa bicara, Max berdiri dan melangkah mundur. Ia berharap dapat melihat Gabriella melakukan sesuatu. Akan tetapi, sampai ia tiba di pintu, gadis itu tetap meringkuk. Dengan sangat terpaksa, sang CEO keluar memberi ruang kepada Gabriella untuk memulihkan keberanian.
“Ah, apa yang telah kulakukan kepada gadis itu?” sesalnya sembari menggeleng samar. Sayang sekali, waktu tak dapat diulang.
Selang beberapa detik, Max membuka pintu tanpa suara. Dari celah yang sangat sempit, ia mengintip. Gabriella telah meletakkan album di atas lantai. Tangannya yang bergetar hebat berusaha keras untuk membalikkan halaman.
Meskipun berkali-kali gagal, gadis itu terus mencoba. Ia tidak peduli selengket apa lembaran dalam album itu, ia sangat ingin melihat wajah orang tuanya. Hingga tiba-tiba, tangan Max sudah menggenggam jemarinya. Gabriella tersentak dan menarik tangannya.
“Tidak, kumohon ... jangan takut! Aku tidak bermaksud menyakitimu. Lihat ini!”
Max membalikkan satu halaman. Foto seorang gadis kecil yang diapit oleh kedua orang tuanya pun terlihat.
Air mata Gabriella seketika meluncur deras. Dengan jemarinya yang gemetar hebat, ia menyentuh wajah sang ibu lalu beralih ke wajah sang ayah.
Sang CEO tak mampu menghilangkan kerutan di alis. Beban berat pada kedua pundaknya seakan tertarik oleh gravitasi yang lebih besar.
Setelah membiarkan Gabriella tenang beberapa saat, laki-laki itu nekat menggeser posisinya ke samping sang gadis, mengambil album, lalu menempatkannya di atas pangkuan.
“Kamu mau melihat foto-foto ini, bukan? Biar kubantu,” bujuknya sambil mengangguk meyakinkan.
Gadis yang terimpit di sudut ruang pun memandangnya ragu.
“Lihat ini! Apakah ini pesta ulang tahunmu yang ke-10? Terlihat menyenangkan,” ujar Max sambil mengalihkan tatapan pada foto yang ditunjuknya.
“Lalu, boneka ini pasti kado dari orang tuamu. Lucu sekali.”
Perlahan-lahan, Gabriella mulai memberi perhatian pada foto-foto di pangkuan sang pria. Kerinduan telah mengalahkan rasa takut. Tanpa sadar, ia kini mencondongkan tubuh mendekati Max.
Melihat kemajuan sang gadis, sang CEO diam-diam tersenyum pahit. Ia pun memindahkan album ke atas pangkuan sang gadis dan membalikkan halamannya.
“Wah, ini foto kalian sedang liburan? Menyenangkan sekali!”
Max terus melanjutkan komentar pada masing-masing foto. Dalam beberapa menit, mereka telah sampai pada halaman terakhir. Getar pada tubuh Gabriella mendadak kembali liar.
“Apakah kamu mau melihatnya dari awal lagi?” tanya Max khawatir jika gadis itu menutup diri.
Tanpa menunggu jawaban, sang pria membalikkan album kembali pada halaman pertama. Tepat pada saat itu, terdengar suara ketukan pintu.
“Ah, itu pasti makan malam Gabriella,” pikir Max segera beranjak membuka pintu.
Dugaannya benar. Si kepala pelayan membawakan troli yang berisi penuh makanan.
“Terima kasih, Bi. Biar aku saja yang membawa ini masuk.”
"Bagaimana keadaan gadis itu, Tuan?" tanya sang pelayan dengan suara pelan.
Sudut bibir Max spontan terangkat paksa. "Dia sudah lebih baik."
"Ah, syukurlah. Kalau begitu, saya permisi, Tuan."
"Ck, kenapa semua orang seakan memperbesar rasa bersalahku?" gumam sang pria sebelum menutup pintu.
Selang satu embusan napas, Max kembali ke sisi Gabriella. Pria itu terdiam sejenak, memikirkan cara untuk membujuk gadis itu.
“Gabriella, sekarang sudah waktunya makan. Bagaimana kalau kita menutup album ini sebentar? Setelah selesai makan, kita lanjutkan lagi?”
Gadis itu tidak menggubris. Tatapannya terus tertuju pada foto-foto secara bergantian.
“Ck, bagaimana ini?”
Setelah menggaruk pelipis, Max mengambil mangkuk dan membawanya ke hadapan Gabriella. Dengan gerak canggung, ia mendekatkan sesendok bubur ke mulut sang gadis.
“Gabriella, buka mulutmu,” bujuk pria itu lembut. Namun, sang gadis tidak mau menurut.
Kehabisan akal, Max tega merebut album foto itu lalu mendudukinya. Isak tangis yang sempat berhenti otomatis kembali berlanjut.
Dengan napas pendek dan mata merah, gadis itu menyampaikan protes. Terlihat jelas bahwa ia ingin melawan tetapi tidak memiliki cukup keberanian.
“Kalau kamu mau melihat foto-foto ini lagi, habiskan makan siangmu!” ancam sang CEO dengan sorot mata ditegaskan. “Sekarang, buka mulutmu!”
Ajaibnya, begitu Max mendekatkan sendok, Gabriella membuka mulutnya walau hanya satu sentimeter.
Tak ingin kehilangan kesempatan, sang pria mendesak bubur untuk masuk. Suapan pertama berhasil dengan sempurna.
“Telan atau album foto ini kubuang!”
Mau tidak mau, Gabriella mengunyah ditemani air mata. Ia benar-benar mirip dengan anak kecil yang diancam oleh ibunya.
Seperempat jam kemudian, mangkuk di tangan Max telah kosong. Namun, begitu Gabriella hendak merebut album fotonya, ancaman kembali diluncurkan.
“Sekarang, telan pil ini kalau mau melihat album foto lagi!”
Bola mata sang gadis bergetar melihat beberapa butir obat di tangan sang pria. Setelah sempat bergeming, gadis itu akhirnya membuka mulut, membiarkan Max memasukkan pil dan memberinya air minum. Gabriella terlalu lelah untuk melawan.
Usai menuntaskan misi, sang CEO mengangkat sang gadis dan memindahkannya ke atas ranjang.
“Ini ... bermainlah dengan foto-fotomu! Aku tidak bisa mengurusmu seharian.”
Setelah memberikan album, Max keluar kamar. Akhirnya, ia merasa sedikit tenang untuk menangani pekerjaan.
“Bagaimana keadaan perusahaan hari ini, Bas?” tanya sang CEO via telepon.
“Aman terkendali. Tidak ada kejadian luar biasa. Bagaimana dengan gadis itu? Apakah interogasimu berhasil? Kau belum menceritakan hasilnya kepadaku sama sekali.”
Max tertunduk dan mendesah lelah. “Dia bersih, Bas. Dia tidak bersalah.”
Embusan napas Sebastian terdengar oleh Max.
“Malang sekali gadis itu,” gumam sang sekretaris sukses meruntuhkan ketenangan bosnya.
“Kau jangan membuatku semakin merasa bersalah, Bas.”
“Kau sudah meniduri gadis itu tanpa ampun, Max. Kau juga yang mendatangkan Sharp Knife untuk menginterogasinya.”
“Ya, ya, aku tahu! Karena itu, sepanjang hari, hatiku tak tenang. Aku kehilangan fokus untuk mencari penjahat sebenarnya.” Suara sang CEO tampak jelas membunyikan keresahan.
“Apa yang akan kau lakukan kalau gagal mendapatkan kepercayaan dewan direksi?” tanya Sebastian datar.
“Aku belum sempat memikirkannya. Aku meneleponmu karena berharap ada informasi mengenai hal itu.”
“Sejauh ini, tidak ada yang baru, Max. Jika memang mereka ingin menurunkanmu, mereka seharusnya sudah mulai menyinggung soal pengganti.”
Sang CEO pun mengangguk-angguk. “Terima kasih, Bas. Segera hubungi aku jika ada kabar terbaru.”
Setelah meletakkan ponsel, pandangan Max tertuju pada miniatur pembangunan yang ia rancang.
“Apa yang harus kulakukan untuk mempertahankan proyek ini? Jangan sampai rumah Gabriella hancur sia-sia,” batinnya sambil mendengus samar.
Setelah lelah berpikir, Max kembali ke kamar. Melihat Gabriella yang tertidur sambil memeluk album, fokusnya langsung teralihkan.
Dengan hati-hati, pria itu mengamankan album foto lalu naik ke ranjang. Tangannya bergerak sendiri membelai rambut sang gadis.
“Haruskah aku menjadikan gadis ini istriku? Terlalu banyak kesalahan yang harus kutebus kepadanya.”

Book Comment (242)

  • avatar
    Katrin Chaka Khan

    bagus banget aku suka aku suka... lanjut terus y semoga karyanya semakin banyak lagi...

    26/01/2022

      2
  • avatar
    Susan Utami

    Cerita yg bagus,,, menarik, gak bosan,,happy ending,, the best author good job 👍👍😊

    22/12/2021

      5
  • avatar
    DiasAna

    maravilha

    28d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters